Konten dari Pengguna

Sebuah Tinjauan Al-Quran, Benarkah Penyakit Ain Itu Ada?

Ahmad Natsir
Staf pengajar di UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung, Member Waskita Jawi, Institut Kajian Agama dan Sosial Ponorogo, Alumni Pondok Modern Al-Islam Nganjuk, UIN Surabaya dan IAI Lirboyo.
28 Juni 2021 11:25 WIB
·
waktu baca 3 menit
clock
Diperbarui 13 Agustus 2021 13:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Natsir tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: freepik.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sebenarnya, sudah lama saya ingin mengulas tentang penyakit ain yang banyak berlalu-lalang di media sosial. Berbagai ulasan juga sudah begitu banyak di berbagai media, dari lokal hingga online nasional. Kesimpangsiuran penjelasan dan kabar berita membuat para sejawat banyak yang bertanya kepada saya bagaimana duduk perkara penyakit aneh ini. Saya diam tidak menjawab apa-apa. Saya memang belum benar-benar membaca tentangnya apalagi menulisnya.
ADVERTISEMENT
Akhirnya mood untuk menelaahnya datang juga. Saya mulai membaca sekali lagi berbagai informasi tentang ain yang bertebaran di media sosial. Saya cermati betul sumber-sumber yang mereka cantumkan baik dari Al-Quran maupun hadis. Saya berkesimpulan berbagai informasi itu mengerucut pada dua kata penjelasan, al-’ain haqq, (penyakit) ain itu benar-benar nyata.
Kemudian, informasi yang bertebaran tersebut menyebut bahwa ain adalah penyakit yang diderita seseorang yang memampang atau memamerkan sesuatu di wilayah publik yang kemudian memunculkan sikap dengki (hasad). Kedengkian yang muncul ini membawa petaka bagi yang memamerkannya. Bahkan petaka tersebut bisa berupa kematian. Sungguh mengerikan.
Setelah saya menyelesaikan pembacaan tentang ain. Saya baru memberanikan diri menulisnya. Tentu, saya tidak akan mengulasnya dari sudut medis karena itu bukan wilayah saya. Saya hanya akan mengulasnya secara dasar yaitu dari Al-Quran, sependek pengetahuan saya. Semampu yang saya bisa.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, pertama kali yang saya lakukan adalah melupakan sejenak penjelasan yang telah saya baca dan fokus kepada keterangan tentang ain yang terdapat dalam Al-Quran. Memulai pembahasan dari nol itu diperlukan agar pemahaman dalam bab ini tidak menjadi bias.
“Lho, kenapa harus Al-Quran, tidak hadis terlebih dahulu?”
Ini bisa dijawab dengan pedoman pertama kita sebagai umat Islam memang Al-Quran kalau di Al-Quran tidak ada, baru kemudian kita akan mencarinya dalam hadis. Bukankah itu urutan yang benar. Karena penjelasan dalam sisi Al-Quran saja sudah panjang, saya perlu memisahkan penjelasan dalam perspektif hadis di tulisan yang lain,
Ok. Saya mulai dengan mencari kata ain dalam Al-Quran. Dan Al-Quran banyak menyebut kata ain. Memang karena ain bisa berarti macam-macam. Contohnya Al-Baqarah ayat 60 yang menyebutnya untuk menggambarkan sumber air (mata air). Ain dengan arti organ manusia berupa mata tersebut dalam surat Al-Maidah ayat 45, Al-A’raf: 195, dan Yusuf: 84. Ain yang berarti pengawasan terdapat dalam surat Hud: 37. Ain yang berarti benda padat yang mencair terdapat di surat Al-Saba’: 12.
ADVERTISEMENT
Dan, sayangnya saya belum menemukan kata ain yang mempunyai makna penyakit dalam Al-Quran. Malah, kata qurratu ‘ain dalam Al-Quran yang sering kita bacakan saat berdoa kebaikan untuk anak keturunan kita malah mempunyai makna yang sangat positif, yaitu indah dipandang, atau membuat hati kita tentram saat memandangnya. Dari sinilah saya bertanya-tanya, dari mana sebenarnya ain yang mempunyai makna penyakit itu?
Saya kemudian mengulik kitab Lisan al-Arab sebuah kamus Arab tua karya Ibn Manzur yang menjadi referensi utama para pengkaji tafsir Al-Quran. Ibnu Manzur rupanya menyandarkan arti kata ‘ain yang berarti penyakit hanya bersumber dari hadis Nabi Muhammad. Sementara itu, di syair-syair yang banyak dibuat oleh para pujangga Arab terdahulu tidak ada satupun yang meletakkan kata ain sebagai sebuah penyakit.
ADVERTISEMENT
Saya kemudian kembali kepada berita-berita tentang penyakit ini di media sosial. Mereka menyandarkan pendapat tentang penyakit ini kepada surat al-Falaq ayat 5, “ …dan (aku berlindung pula) dari pendengki apabila mereka dengki.”
Benarkah itu ada hubungannya dengan penyakit ain yang kita sebut di atas?
Sebelum menjawabnya saya akan menyuguhkan tafsir dari Fakhruddin Al-Razi (w. 606 H) beliau memberikan penjelasan bahwa sihir dan kejahatan orang yang dengki ialah seburuk-buruknya kejahatan. Hal ini dibuktikan dengan tetap disebutkannya kedua kejahatan tersebut meskipun pada ayat sebelumnya sudah menyebut kita berlindung kepada Allah dari kejahatan seluruh makhluknya.
Al-Razi menambahkan bahwa, yang membuat para pendengki itu berbahaya ialah manakala mereka tidak berhenti pada bergumam di dalam hati mereka saja melainkan mereka sudah melakukan tindakan yang merefleksikan kedengkian mereka. Tindakan itu berupa menghilangkan nikmat dari orang yang mereka dengki. Hal ini bisa dilakukan dengan berbagai cara. Antara lain bullying baik secara langsung atau via komentar di media sosial, hingga bahkan mengirim sihir atau guna-guna untuk melenyapkan musuh yang dia dengki.
ADVERTISEMENT
Mufassir yang lain, Imam Suyuti memberikan gambaran agak gamblang, sebenarnya yang berbahaya itu bukan orang pendengki, namun pendengki yang sudah nyata-nyata memperlihatkan usahanya untuk menghilangkan anugerah musuh yang dia dengki. Ini gawat sekali.
Jadi, ayat tersebut memang benar ada hubungannya dengan penyakit ain yang kita ulas di atas. Namun ada suatu hal yang perlu didudukkan bersama yaitu kita sebenarnya tidak dilarang untuk mengunggah kenikmatan yang Allah berikan kepada kita di media sosial atau berpenampilan menarik, misalnya, karena kita tidak bisa menghindar untuk hidup kemudian tampil di dunia dengan segala konsekuensinya yang ada, yang dilarang dan menjadi kejahatan yang paling jahat adalah sikap dengki apalagi jika mewujudkannya dengan nyinyir di media sosial, hingga datang ke paranormal. Haiss, jangan!
ADVERTISEMENT
Sementara itu, yang paling banyak terjadi adalah sebaliknya, kita membenci orang yang mengunggah kesuksesannya di media sosial sementara kita diam manakala terjadi syarr al-asyrar, kejahatan yang paling jahat, dengki. Nggak banget kan?