Konten dari Pengguna

Toleransi Tanpa Tapi

Ahmad Natsir
Staf pengajar di UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung, Member Waskita Jawi, Institut Kajian Agama dan Sosial Ponorogo, Alumni Pondok Modern Al-Islam Nganjuk, UIN Surabaya dan IAI Lirboyo.
4 November 2024 11:34 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Natsir tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Toleransi Tanpa Tapi
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Sepanjang tiga dekade kehidupan saya, tahun 2022 adalah permulaan hidup yang cukup menarik bagi saya. Tahun tersebut adalah tahun di mana saya memulai hidup singgah di rumah milik sendiri sekalipun masih dalam tahap pelunasan yang cukup panjang. Tapi, ini bukan tentang tempat tinggal, ini tentang pengalaman saya hidup bersama pemeluk agama lain.
ADVERTISEMENT
Di media sosial, saya cukup banyak berteman dengan teman-teman nonmuslim, dari berbagai agama, dan kepercayaan. Saya tidak menemukan masalah yang berarti selama saya berinteraksi, saya memanggil seorang kawan yang juga seorang pendeta dengan sebutan Gus Pendeta. Dan tidak ada permasalahan apapun.
Namun, pengalaman bertetangga langsung dengan nonmuslim baru saya alami tahun 2022. Saya sangat ingat, bulan itu bulan puasa. Saya mengunjungi rumah baru saya yang belum selesai. Keadaan begitu panas, perumahan yang masih baru tidak memungkinkan adanya pohon yang rindang di wilayah perumahan.
Sebut saja namanya Pak Diki, tetangga depan rumah saya sedang sibuk memasukkan barang-barang. Pak Diki begitu bersemangat menata barang dan meletakkannya sesuai dengan tempatnya. Ayahnya juga terlihat membantunya dengan semangat yang sama.
ADVERTISEMENT
Tidak ada yang aneh selama saya melihat pemandangan itu kecuali saat Sang Ayah mengambil botol air kemudian meminumnya tanpa berpikir. Ada yang memberontak dalam hatiku melihat pemandangan itu, pertanyaan muncul berjibun, mulai dari apakah dia abangan? muslim KTP? atau bahkan nonmuslim?
Saya membiarkan saja pertanyaan-pertanyaan itu dan membiarkan waktu yang menjawabnya. Dan benar. Saya kemudian tahu bahwa Pak Diki adalah seorang Katolik taat. Taat karena beliau selalu berangkat ke Gejera di hari minggu. Saya terkesan, ini adalah pertama kali dalam hidup saya bergaul offline dengan nonmuslim sedekat ini.
Pernah saya dekat dengan seorang Mangku beragama Hindu tapi itu dalam rangka penelitian saya di ujung selatan Kabupaten Nganjuk. Dan saya begitu kagum dengan sikapnya yang begitu terbuka menerima saya.
ADVERTISEMENT
Pak Diki suatu hari membawakan kepada saya sebuah berkat. Normal berkat bagi orang jawa, berisi ayam dan nasi. Dalam tradisi agama saya selama ini, penyembelihan nonmuslim atau bahkan fasik itu tidak sah. Begitu ajaran yang selama ini saya ketahui. Saya menerima berkat itu, mengucapkan terima kasih dengan penuh senyum kemudian membawanya masuk ke rumah.
Saya tidak perlu banyak pertimbangan saat memutuskan saya memakannya atau tidak, karena pernah suatu masa saya membaca karya Nurcholish Madjid, Atas Nama Pengalaman Beragama dan Berbangsa menyatakan bahwa daging yang haram dimakan adalah daging yang dipersembahkan kepada selain Allah (wa ma uhilla bihi lighairillah), bukan binatang yang disembelih oleh orang selain muslim. Sungguh pemahaman baru yang mencerahkan waktu itu dan mengubah pemahaman saya yang lam. Kelak jika saya salah di hadapan Tuhan saya akan menunjuk langsung Cak Nur di alam sana. Hehe. Maaf, Prof.
ADVERTISEMENT
Saya sekeluarga pun menikmatinya, selanjutnya menikmati hubungan tetangga kami. Kami saling memberi dan menerima, entah makanan atau bingkisan dengan momen apapun. Pernah sekali dia memberi bingkisan lebaran kepada kami sekeluarga berisi aneka kue dan buah. Lagi-lagi tidak ada keraguan bagi kami menikmatinya. Dan kelak, saya akan memberikan kepada mereka hal yang sama di Natal akhir tahun yang akan datang.
Tentang pernyataan bahwa memperingati Natal bisa menggerus iman, saya akan mengurusnya belakangan. Yang paling utama sekarang ini adalah saya bisa hidup bersama, hidup saling menghormati dan saling berbagi buah-buahan. Barang kali inilah toleransi yang sebenarnya.
Dan kali ini saya memahami satu hal. Hidup toleransi itu hidup yang penuh merelakan. Misalnya: merelakan semangat dakwah dan amar makruf nahi munkar kita, merelakan mulut kita untuk diam daripada mempertanyakan keyakinan orang dan menuding orang lain masuk neraka.
ADVERTISEMENT
Saya menarik nafas dalam, panjang, dan akhirnya sungguh memahami mengapa kita cukup sulit untuk hidup bertoleransi.