Konten dari Pengguna

Trump, Merkantilistik, & Pajak Impor

Ence Sopyan
Dosen Administrasi Publik UIM Lampung
20 April 2025 10:40 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ence Sopyan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi diskusi bersama Donald Trump mengenai pajak impor Amerika. Ilustrasi AI Generated/Dok. Pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi diskusi bersama Donald Trump mengenai pajak impor Amerika. Ilustrasi AI Generated/Dok. Pribadi.
ADVERTISEMENT
Kepemimpinan Merkantilistik: Antara Sejarah dan Relevansi
Konsep merkantilisme dalam diskursus ekonomi politik bukanlah gagasan baru. Ia lahir dari Eropa abad ke-17 sebagai respons terhadap semangat ekspansi dan dominasi pasar global. Dalam pandangan merkantilistik klasik, kekuatan sebuah negara diukur dari kemampuannya mengakumulasi kekayaan melalui ekspor, membatasi impor, dan memaksimalkan kendali negara atas sumber daya ekonomi. Negara dalam posisi ini bukan sekadar fasilitator, melainkan aktor dominan yang mengatur lalu lintas perdagangan demi menjaga supremasi nasional.
ADVERTISEMENT
Dalam praktik modern, merkantilisme tidak lagi berwujud penaklukan wilayah atau kolonialisme terbuka, melainkan dalam bentuk kebijakan proteksionistik dan nasionalisme ekonomi. Kepemimpinan merkantilistik muncul ketika seorang pemimpin membawa semangat ini ke dalam struktur pemerintahan dan menjadikan negara sebagai pengendali utama dalam hubungan ekonomi, baik di dalam maupun luar negeri. Gaya ini berpijak pada pandangan bahwa pasar global bukanlah arena kolaborasi, melainkan medan persaingan yang keras, di mana kemenangan satu pihak berarti kekalahan pihak lain (Chang, 2003).
Secara lebih spesifik, kepemimpinan merkantilistik ditandai oleh ketidakpercayaan terhadap pasar bebas, penguatan peran negara dalam intervensi ekonomi, serta keyakinan bahwa negara harus terus-menerus menyeimbangkan neraca dagangnya agar tetap dominan. Dalam kerangka tata kelola pemerintahan, model kepemimpinan ini mengarah pada konsentrasi kekuasaan pengambilan keputusan pada elit eksekutif dan minimnya proses deliberatif, sebagaimana diuraikan oleh Levi-Faur (2012) dalam gagasan regulatory state yang mengalami kemunduran fungsi partisipatif.
ADVERTISEMENT
Donald Trump, Presiden Amerika Serikat yang terpilih untuk kedua kalinya pada pemilu tahun 2024, setelah pada periode 2017–2021 Trump berkuasa pada periode pertamanya, adalah salah satu tokoh kontemporer yang menghidupkan kembali semangat merkantilisme tersebut dalam kebijakan publiknya. Ia membawa narasi besar tentang perlunya mengembalikan Amerika ke puncak kejayaan ekonomi dengan cara membatasi keterlibatan asing dan memperkuat industri dalam negeri. Slogan populernya, America First, tidak hanya menjadi alat kampanye, tetapi juga menjadi fondasi bagi arah kebijakan selama masa pemerintahannya.
Pajak Impor sebagai Instrumen Kekuasaan
Salah satu wujud paling nyata dari kebijakan merkantilistik Trump adalah penerapan pajak impor secara masif dan strategis. Trump menggunakan tarif—yang sejatinya merupakan pajak terhadap barang asing—sebagai senjata ekonomi untuk “menghukum” negara-negara yang dianggap merugikan Amerika. Produk-produk dari China, Kanada, Meksiko, hingga Uni Eropa dikenai bea masuk tinggi, dengan alasan melindungi industri lokal, mengurangi defisit perdagangan, dan mengoreksi ketimpangan dalam hubungan dagang.
ADVERTISEMENT
Penerapan tarif sebesar 25% terhadap baja dan aluminium, serta tambahan tarif terhadap produk teknologi, tekstil, dan pertanian dari China menjadi simbol bahwa pajak impor digunakan bukan sekadar sebagai sumber pendapatan negara, melainkan sebagai alat negosiasi geopolitik. Trump secara terang-terangan menyatakan bahwa negara-negara yang ingin mempertahankan akses ke pasar AS harus bersedia memberi “kesepakatan yang adil”—yakni dalam pengertian versi Amerika.
Setelah pada periode pertama melakukan pendekatan ekonomi yang proteksionis, pada tahun ini Trump melanjutkan kepemimpinan merkantilistiknya dengan meluncurkan kebijakan tarif impor yang agresif. Penerapan tarif yang sifatnya universal sebesar 10% untuk semua barang impor yang masuk ke Amerika, dan pajak tarif resiprokal yang lebih tinggi untuk 57 negara termasuk Indonesia. Pada perjalanannya Trump melakukan penangguhan sementara untuk kebijakan tarif resiprokal yang rencana awal mulai berlaku pada 9 April 2025, ditunda hingga 90 hari kedepan 8 Juli 2025. Hal ini berkaitan dengan adanya respon dari kebanyakan negara di dunia yang merasa keberatan dengan kebijakan tersebut. Negara-negara yang mendapatkan dampak dari kebijakan, sedang mengatur ulang posisi dan sikapnya untuk merespon sebaik mungkin atas pertaruhan ekonomi-politik negaranya.
ADVERTISEMENT
Pendekatan kepemimpinan Trump memperlihatkan bagaimana pajak, yang dalam sistem fiskal umumnya bersifat netral dan stabil, dapat diubah menjadi instrumen kekuasaan yang sangat politis. Dalam tata kelola pemerintahan suatu negara, perubahan fungsi fiskal seperti ini membawa dampak besar terhadap kepastian hukum, perencanaan kebijakan, dan relasi antarlembaga. Ketika tarif berubah secara sepihak, pelaku usaha menjadi gamang, birokrasi menjadi reaktif, dan pelayanan publik tidak berjalan optimal.
Perubahan dalam Tata Kelola Pemerintahan
Kepemimpinan merkantilistik seperti yang diusung Trump secara langsung mempengaruhi cara negara mengelola urusannya. Dalam kerangka good governance, tata kelola publik seharusnya berjalan secara partisipatif, terbuka, dan kolaboratif. Namun semangat merkantilistik mendorong negara untuk mengambil peran dominan dan mengurangi keterlibatan aktor-aktor non-negara. Negara kembali pada pola kendali lama yaitu top-down, sentralistik, dan eksklusif.
ADVERTISEMENT
Kebijakan pajak impor yang ditetapkan secara cepat dan sepihak menimbulkan gejolak di dalam negeri. Industri manufaktur yang mengandalkan bahan baku impor menghadapi lonjakan biaya produksi. Konsumen mengalami kenaikan harga barang. Sementara negara-negara mitra membalas dengan menerapkan tarif terhadap produk Amerika, seperti Cina dan Kanada yang melakukan perlawanan, sehingga menekan ekspor dan menimbulkan surplus palsu yang hanya berlangsung dalam angka statistik.
Hal ini menyebabkan gejala yang disebut Levi-Faur sebagai regulatory rollback, yakni kemunduran dalam peran institusi-institusi penyeimbang seperti parlemen, sektor swasta, dan masyarakat sipil. Keputusan tarif yang seharusnya melewati kajian mendalam justru diputuskan secara sentralistik tanpa mekanisme pertanggungjawaban publik. Akibatnya, negara bukan saja gagal mengelola ketimpangan ekonomi, tetapi juga menciptakan ketimpangan administratif.
ADVERTISEMENT
Konsekuensi terhadap Birokrasi dan Layanan Publik
Di tingkat implementasi, birokrasi yang bekerja di bawah kepemimpinan dengan orientasi merkantilistik menghadapi dilema antara loyalitas politik dan etika pelayanan publik. Mereka yang semula terbiasa bekerja berdasarkan pedoman teknokratik kini dituntut mengikuti irama kebijakan yang bersifat populistik dan konfrontatif. Hal ini merusak fondasi profesionalisme dalam manajemen publik.
Pajak impor yang tidak dirancang sebagai bagian dari kebijakan industri jangka panjang malah memukul rantai pasok dalam negeri sendiri. Industri otomotif, teknologi, hingga pertanian bisa saja ikut terganggu. Dalam waktu singkat, kebijakan ini memperlihatkan betapa rapuhnya sistem kebijakan publik ketika didasarkan bukan pada pertimbangan rasional, tetapi pada sentimen politik.
Lebih dari itu, gaya kepemimpinan seperti ini mengaburkan batas antara kebijakan nasional dan alat kampanye politik. Proses kebijakan menjadi bagian dari strategi elektoral, bukan respon terhadap persoalan publik yang riil. Birokrasi pun kehilangan daya geraknya sebagai institusi yang seharusnya menjaga keseimbangan antara kebijakan dan pelayanan.
ADVERTISEMENT
Refleksi untuk Tata Kelola Pemerintahan Indonesia
Kepemimpinan Donald Trump menawarkan banyak pelajaran penting, khususnya bagi negara berkembang seperti Indonesia. Dalam menghadapi tekanan global, ada godaan besar untuk menempuh jalan yang sama: menutup diri, membatasi keterlibatan asing, dan mengutamakan produk dalam negeri tanpa kesiapan struktural. Namun kita harus sadar bahwa proteksionisme tanpa perhitungan justru bisa menjadi bumerang.
Kebijakan pajak impor memang bisa menjadi alat perlindungan nasional. Namun penggunaannya harus terukur, berbasis kajian ekonomi, dan didukung sistem administrasi yang siap. Tanpa itu, pajak berubah dari alat pembangunan menjadi instrumen kegaduhan.
Tata kelola pemerintahan yang sehat adalah adanya sistem administrasi yang terbuka terhadap masukan, responsif terhadap perubahan, dan akuntabel terhadap hasil. Ia tidak boleh tunduk pada suara tunggal kekuasaan, melainkan menjadi ruang di mana berbagai kepentingan bisa dikelola secara adil dan rasional.
ADVERTISEMENT
Kepemimpinan merkantilistik ala Donald Trump menunjukkan bahwa kebijakan yang didorong oleh semangat proteksi dan dominasi negara bisa saja efektif dalam jangka pendek secara politik. Namun dalam jangka panjang, pendekatan seperti ini justru merusak struktur tata kelola pemerintahan dan menghambat respons negara terhadap dinamika global yang cepat berubah.
Mengelola negara bukan sekadar soal kebijakan, tetapi juga tentang nilai. Nilai keterbukaan, nilai keadilan, nilai efisiensi, dan nilai kolaborasi. Ketika nilai-nilai ini dikalahkan oleh agenda kekuasaan yang sempit, maka negara akan kehilangan kemampuannya untuk melayani dengan baik.