Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten Media Partner
‘Barnum Effect’ di Balik Kedok Para Peramal
1 Februari 2018 19:49 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:19 WIB

ADVERTISEMENT
Rasa penasaran manusia tidak pernah berujung. Apalagi kalau menyangkut masa depan. Masa itu belum terjadi, tapi demi memuaskan rasa ingin tahu, ada yang coba meraba-raba nasibnya di kemudian hari lewat garis tangan, kartu tarot, primbon, dan zodiak. Metode-metode ini banyak dijumpai pada praktik para peramal, atau kerap disebut dukun.
ADVERTISEMENT
Meskipun kebenarannya tidak pernah terbukti secara ilmiah, banyak yang masih percaya bahwa masa depan seseorang bisa diprediksi lewat sekumpulan kartu atau posisi benda-benda langit saat ia lahir.
Penjelasan yang paling mungkin yaitu jawaban-jawaban para peramal yang kerap ambigu dan bersifat terlalu umum. Mereka tidak pernah berani menjawab “iya” dan “tidak”. Jika klien datang bertanya, “Apakah saya akan bisa membeli mobil tahun ini?” Jawaban yang didapat tidak akan pernah pasti. Peramal akan bermain-main dengan jawaban sejenis “Tergantung kamu, kalau bisa mengatur keuangan, mobil itu bisa terbeli.” Suatu hal yang sangat umum dan bisa terjadi pada siapapun.
Sesungguhnya hal itu jauh dari tujuan untuk apa mereka menyebut diri mereka “pembaca masa depan”. Masa depan menyimpan hal-hal spesifik, beda individu beda peristiwanya.

Selama puluhan dekade, kalangan psikolog meneliti suatu fenomena yang disebut “Barnum effect”, kadang juga disebut “Forer effect”, dinamai sesuai pengembang teori ini yaitu Forer, psikolog asal Amerika. Barnum effect merupakan kondisi psikologis ketika variabel yang sebenarnya berlaku pada semua orang dibuat seolah-olah berlaku secara khusus hanya pada individu atau kondisi tertentu. Dengan kata lain, Barnum effect merupakan suatu bentuk manipulasi psikologis.
ADVERTISEMENT
Dikutip dari Psychology Today, 60 tahun lalu, seorang psikolog bernama Stagner pernah melakukan penelitian dengan responden para manajer personalia di suatu perusahaan. Grup manajer personalia itu diberikan tes kepribadian. Namun, bukannya memberikan skor dan menilai hasil tes tersebut, Stagner malah memberikan hasil palsu kepada responden dalam bentuk pernyataan yang lazim ditemukan pada horoskop, analisa tulisan tangan (grafologi), dan lain-lain.
Kemudian masing-masing manajer diminta untuk membaca "hasil tes kepribadian" mereka dan menilai seberapa akurat dengan kenyataan. Hasilnya, lebih dari setengah responden merasa hasil tes mereka sangat akurat dan sesuai, hampir tidak ada satupun berpendapat bahwa mereka mendapatkan hasil tes yang keliru.
Pada tahun berikutnya, Stagner menguji teori yang sama kepada mahasiwanya. Dengan tanpa membaca sama sekali jawaban dari tes tersebut, Stagner memberikan "evaluasi" acak dan asal kepada tiap mahasiswanya. Tiga item pertama dari hasil tes tersebut yang merupakan karangannya sendiri yaitu: "Kamu mempunyai hasrat yang besar agar orang menyukai dan mengagumimu", "Kamu cenderung kritis terhadap dirimu sendiri", dan "Kamu punya potensi besar dalam dirimu yang belum kamu gunakan".
ADVERTISEMENT
Para mahasiswa itu lantas diminta untuk menilai seberapa valid hasil tes dari skala 1 sampai 5, dengan skor 5 menunjukkan deskripsi dalam hasil tes "sangat bagus", sedangkan skor 4 berarti "bagus". Evaluasi seluruh mahasiswa sekelas menghasilkan rata-rata 4,26.
Riset yang dilakukan tersebut menunjukkan bahwa ada beberapa faktor yang memengaruhi mengapa hasil tes palsu itu tetap dipercaya. Bisa dari pihak penerima (recipient/client) atau pemberi (giver/consultant), terkait karakter kepribadian semisal: naif. Bisa juga karena kondisi dari tes yang diberikan. Semakin detail pertanyaan yang diberikan dalam tes, semakin klien merasa yakin atas hasil yang diterima. Hal ini diterapkan dalam ilmu perbintangan atau horoskop, yang mana terdapat spesifikasi kepribadian berdasarkan tanggal dan bulan lahir.
ADVERTISEMENT
Penjelasan dari Forer sendiri atas teori Barnum effect-nya adalah bahwa ada kaitan erat dengan "human gullibility", atau sifat manusia yang mudah tertipu. Manusia cenderung menerima klaim yang sesuai dengan keinginan mereka dibandingkan dengan kenyataan yang ada. Dan klaim yang lebih berpeluang untuk mereka terima adalah jika klaim tersebut positif.
Pilihanmu, apakah masih mau percaya dengan klaim para peramal?