Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.87.1
Konten Media Partner
Tuhan, Keyakinan, dan Pemikiran Rasional
18 Maret 2018 13:55 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:19 WIB
ADVERTISEMENT
Mengapa kita percaya adanya Tuhan?
Mengapa kita memiliki agama sebagai keyakinan?
ADVERTISEMENT
Pertanyaan ini sebenarnya dapat dijawab dengan sederhana: karena kita yakin.
Keyakinan tersebut yang membuat kita percaya akan adanya Tuhan, menjalankan perintah Tuhan, dan meyakini bahwa agama yang dianut adalah benar.
Bagaimana pendapat sains tentang ini?
Penelitian Terbaru
Penelitian sebelumnya mengatakan bahwa orang-orang yang memiliki keyakinan agama yang kuat cenderung lebih intuitif dan kurang analitis. Sementara ketika mereka berpikir lebih analitis, keyakinan agama mereka menurun.
Namun, menurut penelitian terbaru oleh Universitas Coventry dan Oxford mengatakan bahwa keyakinan agama tidak terkait dengan intuisi atau pemikiran rasional. Para akademisi dari Ilmu Perilaku di Universitas Conventry dan ilmuwan saraf di Universitas Oxford, menunjukkan bahwa kita (manusia) tidak terlahir sebagai ‘orang beriman’.
Dengan kata lain, ketika kita lahir, kita tidak membawa keyakinan apapun--hanya akal dan sel-sel otak yang saling terkoneksi.
Penelitian tersebut--yang mencakup tes terhadap peziarah yang mengambil bagian dalam Camino de Santiago (di utara Spanyol) dan eksperimen stimulasi otak yang terkenal--tidak menemukan kaitan antara pemikiran analitis dan hambatan kognitif (kemampuan untuk menekan pikiran dan tindakan yang tidak diinginkan) dengan keyakinan adikodrati (supernatural).
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, para akademisi menyimpulkan bahwa faktor lain, seperti proses asuhan dan sosio-kultural, lebih cenderung memainkan peran lebih besar dalam keyakinan agama.
Studi--yang diterbitkan dalam Scientific Reports--adalah yang pertama untuk menantang tren yang berkembang di kalangan psikolog kognitif selama 20 tahun terakhir yang telah berusaha menunjukkan bahwa percaya pada hal adikodrati adalah sesuatu yang datang kepada kita 'secara alami’.
Dalam penyelidikan pertama terhadap peziarah Camino de Santiago de Compostela, tim bertanya kepada mereka tentang kekuatan keyakinan mereka dan menilai tingkat pemikiran intuitif mereka dengan tes probabilitas--di mana para peserta harus memilih di antara pilihan logis atau 'firasat'.
Hasilnya, tidak menyarankan hubungan antara kekuatan keyakinan dan intuisi adikodrati.
Dalam studi kedua, tim menggunakan teka-teki matematika untuk meningkatkan intuisi. Hasilnya sama. Mereka juga tidak menemukan hubungan antara tingkat pemikiran intuitif dan kepercayaan adikodrati.
ADVERTISEMENT
Pada bagian terakhir dari penelitian, tim menggunakan stimulasi otak untuk meningkatkan tingkat penghambatan kognitif, yang diperkirakan mengatur pemikiran analitis.
Sebuah penelitian pencitraan otak sebelumnya telah menunjukkan bahwa ateis menggunakan area otak yang mengendalikan hambatan kognitif ini lebih banyak lagi ketika mereka ingin menekan gagasan terkait hal-hal adikodrati.
Hasilnya menunjukkan bahwa stimulasi otak ini meningkatkan tingkat penghambatan kognitif. Hal tersebut tidak mengubah tingkat kepercayaan adikodrat, menunjukkan bahwa tidak ada hubungan langsung antara keduanya.
Para akademisi mengatakan bahwa terlalu "prematur" jika menjelaskan kepercayaan pada Tuhan sebagai intuitif atau alami.
Sebaliknya, mereka mengatakan penelitian mereka mendukung teori bahwa agama adalah proses berbasis ‘nurture’ dan berkembang karena proses sosio-budaya, termasuk pengasuhan dan pendidikan.
Penutup
Maraknya aksi terorisme yang dilancarkan segelintir orang dari kaum agama tertentu tidak bisa menjadi patokan untuk menggeneralisasikan agama tersebut. Sejatinya, agama atau keyakinan bisa menjadi pedoman hidup yang baik untuk selalu berbuat kebaikan.
ADVERTISEMENT
Hanya saja, interpretasi yang salah, yang dilancarkan ‘pemuka agama’ tertentu yang tak bertanggung jawab dengan dalih ‘membela Tuhan’ bisa menjadi bahaya besar. Inilah ‘wrong number’ terbesar dari umat manusia, kata PK dalam film PK (2014).
Intinya, pengasuhan dan pendidikan yang tepat terhadap keyakinan beragama sangat diperlukan untuk menciptakan kedamaian dan kerukunan dalam perbedaan.
Tuhan ada, agama perlu. Namun, toleransi adalah yang utama.