Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Menyongsong Tantangan Swasembada Pangan 2025: Perspektif atas Kebijakan
5 Februari 2025 11:51 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Eko Margana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tahun 2025 menjadi titik krusial bagi sektor pertanian Indonesia, terutama dalam produksi beras. Pemerintah telah memutuskan untuk menghentikan impor beras pada tahun ini, sebuah langkah yang berani namun sarat tantangan. Pasalnya, meski Badan Pusat Statistik (BPS) memproyeksikan produksi beras akan meningkat, masalah yang lebih kompleks, seperti iklim dan cuaca, dapat menjadi hambatan besar yang tidak bisa dianggap sepele.
ADVERTISEMENT
Keputusan untuk menghentikan impor beras ini jelas mencerminkan niat pemerintah untuk mencapai swasembada pangan, sebuah cita-cita yang sudah lama diidam-idamkan. Jika prediksi produksi beras pada awal 2025 mencapai 1,2 juta ton pada Januari dan 2,08 juta ton pada Februari, tentu optimisme itu patut disambut baik. Namun, tantangan terbesar datang dari ketidakpastian iklim yang mempengaruhi hasil pertanian secara langsung. Cuaca yang tak menentu, musim hujan yang berkepanjangan, atau fenomena alam seperti El Nino bisa merusak harapan dan merugikan petani.
Keberanian pemerintah dalam menghentikan impor beras tidak hanya perlu diapresiasi, tetapi juga harus disertai dengan langkah-langkah konkret untuk mengantisipasi potensi kekurangan pasokan beras domestik. Salah satunya adalah dengan memaksimalkan program deteksi dini terhadap perubahan iklim yang dapat mempengaruhi hasil pertanian. Pemerintah harus lebih proaktif dalam mengintegrasikan kebijakan produksi dengan kebijakan pasca-panen agar tidak ada kekosongan dalam rantai pasokan beras.
ADVERTISEMENT
Kritik terhadap kebijakan ini sering kali muncul, terutama terkait dengan potensi risiko yang dapat terjadi jika terjadi gagal panen. Meskipun produksi beras pada tahun 2024 menurun, keputusan untuk menghentikan impor harus dijalankan dengan perhitungan yang matang. Tidak ada yang lebih penting dari memastikan ketersediaan pangan bagi rakyat, terlebih saat situasi yang tidak dapat diprediksi bisa terjadi kapan saja. Jika kebijakan ini gagal, bukan hanya pangan yang menjadi masalah, tetapi juga stabilitas sosial dan ekonomi di masyarakat.
Membangun Ketahanan Pangan Bersama di ASEAN, Antisipasi Gejolak Harga Beras Global
Gejolak harga pangan global yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir semakin menunjukkan bahwa ketahanan pangan bukanlah isu yang bisa diselesaikan sendirian oleh setiap negara. Khususnya di kawasan ASEAN, yang sebagian besar penduduknya bergantung pada beras sebagai pangan pokok, krisis pangan yang terjadi di tingkat global kerap menjadi masalah serius. Dalam menghadapi tantangan ini, penting bagi negara-negara ASEAN untuk berpikir lebih luas, yaitu membangun ketahanan pangan kawasan yang tidak hanya menguntungkan satu negara, tetapi juga seluruh negara anggota ASEAN.
ADVERTISEMENT
Selama beberapa dekade terakhir, perubahan iklim, perang, dan pandemi telah menjadi pemicu utama dari gejolak harga pangan dunia. Tidak dapat dipungkiri, faktor-faktor ini sudah cukup meresahkan dunia pertanian, dan beras sebagai komoditas utama di kawasan ASEAN menjadi sangat rentan terhadap gejolak ini. Misalnya, dalam beberapa bulan terakhir, harga beras mengalami lonjakan signifikan akibat faktor cuaca ekstrem dan kebijakan larangan ekspor yang diambil oleh beberapa negara besar penghasil beras, seperti India. Dampaknya, negara-negara ASEAN yang selama ini menjadi pengimpor beras harus menghadapi kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pangan mereka.
Krisis pangan global bukanlah masalah yang bisa diatasi oleh satu negara saja. Kita membutuhkan pendekatan yang lebih luas, berbasis kerja sama regional. Ketahanan pangan ASEAN harus menjadi prioritas bersama, bukan hanya untuk kepentingan domestik, tetapi juga untuk memastikan kesejahteraan dan stabilitas ekonomi di seluruh kawasan. ASEAN, sebagai kawasan dengan potensi besar, harus memanfaatkan peluang ini untuk memperkuat kerjasama pangan guna menciptakan ketahanan pangan yang berkelanjutan dan inklusif bagi semua negara anggotanya.
ADVERTISEMENT
Namun, kita juga harus melihat kebijakan penghentian impor beras dari sisi positif, yang menunjukkan bahwa Indonesia mulai mengurangi ketergantungan pada pangan impor. Ini merupakan langkah besar menuju kemandirian pangan yang berkelanjutan. Pemerintah harus memastikan bahwa produksi beras dalam negeri benar-benar dapat memenuhi kebutuhan konsumsi nasional tanpa harus bergantung pada impor. Bahkan diharapkan Indonesia dapat menjadi pemasok utama beras di ASEAN.
Akhirnya, meskipun optimisme dalam mencapai swasembada pangan harus tetap ada, kita harus realistis dan siap menghadapi berbagai kemungkinan yang dapat mengganggu produksi beras domestik. Keterlibatan seluruh pemangku kepentingan, termasuk petani, pemerintah, dan masyarakat, menjadi kunci utama untuk menghadapi tantangan besar ini. Semoga langkah-langkah kebijakan yang diambil dapat mendukung tercapainya swasembada pangan yang sesungguhnya, bukan hanya dalam wacana, tetapi dalam realitas yang berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Ditulis oleh:
Eko Margana
(Pemerhati Pangan dan Pertanian Nasional)
Live Update