Konten dari Pengguna

16 Tahun Kasus Munir: Refleksi Penegakan HAM di Indonesia yang Masih Berantakan

Endrianto Bayu Setiawan
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum FH UB
11 September 2020 21:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Endrianto Bayu Setiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Munir Said Thalib lahir di Malang pada tanggal 8 Desember 1965. Ketika masih kecil, Munir dikenal sebagai sosok yang tegas, pemberani, dan suka menolong. Pada masa kuliah di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Munir dikenal sebagai mahasiswa yang aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan kampus. Selain itu, Munir juga aktif mengikuti kegiatan kemanusiaan, terutama dalam membela kaum rentan yang tertindas akibat kezaliman penguasa. Setelah menyelesaikan studi sarjana, Munir sempat mengabdi di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya dan gemar membantu masyarakat yang termarjinalkan akibat ketidakberpihakan kaum penguasa.
ADVERTISEMENT
Jejak Perjuangan
Keaktifan Munir sebagai seorang aktivis bermula ketika Ia mengenyam bangku perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (UB). Ketika itu, Munir memang dikenal sebagai aktivis kampus dan sering menghabiskan waktunya di berbagai organisasi kampus. Berkat ketekunan dan keaktifan di organisasi, Munir pernah menjadi Ketua Senat Mahasiswa di Fakultas Hukum UB dan menjadi Koordinator wilayah IV Asosiasi Mahasiswa Hukum Indonesia.
Tidak hanya itu, Munir juga aktif di beberapa organisasi lain seperti Forum Studi Mahasiswa untuk Pengembangan Berpikir, Sekretaris Dewan Perwakilan Mahasiswa Hukum Unibraw, anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dan masih banyak lagi. Sebagai seorang aktivis yang peduli dengan isu-isu sosial, Munir pernah menjadi Dewan Kontras (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan). Ketika menjadi Dewan Kontras, Munir sering mendapat laporan dari masyarakat terkait orang hilang akibat penculikan.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan penelusuran penulis, beberapa kasus yang sempat ditangani Munir antara lain:
ADVERTISEMENT
Perjalanan Kasus
Ketika hendak melanjutkan studi hukum di luar negeri, pada tanggal 6 September 2004, pukul 21.55 WIB, Munir terbang menuju Amsterdam, Belanda dengan menggunakan pesawat Garuda Indonesia. Setelah terbang dari Jakarta, pesawat dengan kode penerbangan GA-974 transit di Bandara Changi pada tanggal 7 September 2004 pukul 00.40 waktu Singapura. Setelah itu, penerbangan kembali dilanjutkan pukul 01.50 dan diperkirakan tiba di Bandara Schipol Amsterdam pukul 08.10 waktu setempat.
Ketika dalam perjalanan menuju Amsterdam, Munir sempat merasakan sakit dan sering keluar masuk toilet. Tidak lama kemudian, Munir dibantu oleh seorang dokter dan berpindah tempat duduk di dekat dokter tersebut. Setelah mendapat penanganan, Munir sempat tertidur dalam keadaan rileks. Dua jam sebelum mendarat di Bandara Schipol, Munir dinyatakan meninggal dunia. Setelah mendarat, jenazah Munir dan mendapat penanganan dari otoritas bandara dan dilakukan prosedur pemeriksaan untuk mengetahui penyebab kematiannya. Untuk mengetahui kematian Munir, pihak setempat melakukan otopsi yang dilakukan oleh Institut Forensik Belanda (NFI).
ADVERTISEMENT
Setelah beberapa hari, jenazah Munir diterbangkan ke Indonesia dan dimakamkan di Batu, Jawa Timur pada 12 September 2004. Berselang beberapa bulan, tanggal 11 November 2004 NFI mengumumkan hasil otopsi dan dinyatakan bahwa Munir meninggal dunia dikarenakan di dalam tubunya terdapat racun arsenik.
Berdasarkan hasil otopsi tersebut, berbagai dugaan mulai timbul bahwa kematian Munir bukan karena faktor alamiah, melainkan ada kesengajaan oleh orang tertentu yang memang ingin membunuh Munir.
Meskipun proses peradilan yang diduga tersangka pembunuhan Munir, sampai saat ini kasus Munir dianggap belum tuntas dan masih banyak kejanggalan. Dengan demikian, berbagai kalangan masyarakat terutama aktivis terus mendesak pemerintah untuk mengusut kasus pembunuhan Munir sampai dalang utama dan motif pembunuhan terselesaikan secara tuntas.
ADVERTISEMENT
Pada 23 November 2004, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah menetapkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 111 Tahun 2004 tentang “ Pembentukan Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir”. Setelah melakukan investigasi selama 6 bulan, TPF melaporkan hasil temuan-temuannya dalam bentuk dokumen kepada Presiden SBY pada 24 Juni 2005 di Istana Negara.
Setelah berlangsung lama pada 2016, beberapa ormas yang salah satunya KontraS geram atas sikap pemerintah yang tak kunjung mempublikasikan hasil temuan TPF, pada 10 Oktober 2016 KontraS menggugat pemerintah ke Komisi Informasi Publik (KIP). Hasilnya, KIP memutuskan bahwa pemerintah melalui Kemensetneg untuk segera mempublikasikan hasil temuan TPF kepada masyarakat luas. Namun, Kemensetneg pada waktu itu menyatakan tidak memiliki dokumen TPF Munir dan dinyatakan hilang.
ADVERTISEMENT
Problematika Penegakan HAM di Indonesia
Berdasarkan kasus Munir di atas, setidaknya kita dapat menggambarkan bagaimana sikap pemerintah yang tidak terlalu serius dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Menurut penulis, penegakan hukum dan HAM di Indonesia masih cenderung berorientasi pada eksekusi hukuman terhadap pelaku, dan masih mengabaikan kritik masyarakat akan hal-hal yang bersifat subtantif.
Selain kasus Munir, sebetulnya masih banyak kasus dengan narasi pelanggaran HAM yang masih belum terungkap dan terselesaikan. Di antara kasus tersebut, sampai saat ini masih banyak kasus pelanggaran HAM berat yang menyisakan tanda tanya. Berdasarkan catatan sejarah, kasus HAM berat yang masih belum sepenuhnya terselesaikan yakni peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S); penembakan empat mahasiswa trisakti 1998; penembakan misterius (petrus); peristiwa semanggi I dan II; penculikan dan penghilangan orang secara paksa (1997-1998); peristiwa talangsari; peristiwa Wamena dan Wasior 2001-2003; peristiwa Aceh-Jambo Keupok 2003; peristiwa Aceh-Simpang KKA 1998; peristiwa Aceh Rumoh Geudong 1989; peristiwa dukun santet di Jawa Timur 1998-1999; dan masih banyak lagi.
ADVERTISEMENT
Penuntasan kasus pelanggaran HAM di masa lalu sepertinya tidak lagi eksis dan menjadi perhatian serius pemerintah saat ini. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya kasus yang masih stagnan dan mangkrak belum terselesaikan. Pelanggaran HAM berat maupun ringan yang terjadi di masa lalu sepertinya dianggap sebagai kasus pelanggaran HAM biasa yang sama dengan kasus kriminal lainnya. Hal ini mungkin yang membuat pemerintah tidak memiliki dorongan yang lebih serius untuk menuntaskan kasus-kasus tersebut.
Di era sekarang, beberapa analis politik menyatakan bahwa penegakan hukum dan HAM oleh rezim saat ini mendapat rapor merah. Hal tersebut didasari atas meningkatnya pelanggaran HAM oleh masyarakat sipil maupun aparat penegak hukum dan tentara. Selain itu, rendahnya inisiasi dan juga komitmen pemerintah dalam menuntaskan pelanggaran HAM di masa lalu juga menjadi dasar bahwa pemerintah masih abai terhadap penegakan HAM.
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa kasus, maraknya pelanggaran HAM dengan berbagai kategori, apakah pelanggaran ringan, sedang, maupun berat juga banyak terkait dengan sikap aparat penegak hukum maupun tentara yang cenderung bertindak represif. Berbagai tindakan represif aparat seringkali diterjemahkan untuk menciptakan ketertiban umum dan juga stabilitas keamanan. Meskipun demikian, sikap tersebut cenderung menimbulkan kontroversi dan juga kecaman dari masyarakat. Dalam hal ini, institusi aparat penegak hukum merupakan tempat bagi masyarakat untuk mendapatkan perlindungan dan juga rasa keamanan. Oleh karena itu sikap aparat maupun tentara tidak boleh mengesampingkan hak-hak konstitusional dan tetap mengutamakan keselamatan masyarakat.
Sebagai negara yang menegakkan supremasi hukum, salah satu konsekuensi logisnya yakni menjadikan hukum sebagai sektor sentral untuk menjamin rasa adil dan juga hak-hak konstitusional masyarakat. Setelah amandemen konstitusi UUD NRI 1945, substansi pasal-pasal tentang HAM menjadi lebih luas dan lebih jelas dalam mengatur hak-hak masyarakat. Meskipun demikian, amanat konstitusi tersebut masih belum sepenuhnya diimplementasikan secara merata dan konsekuen.
ADVERTISEMENT
Jenuhnya masyarakat terhadap sikap pemerintah terhadap isu pelanggaran HAM merupakan hal yang wajar. Sikap pemerintah yang cenderung abai dalam mengusut berbagai pelanggaran HAM di masa lalu ternyata tidak menyurutkan semangat masyarakat dalam menyuarakan keadilan. Kegerahan masyarakat terhadap sikap pemerintah yang cenderung apatis dan semakin sewenang-wenang justru meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap berbagai isu HAM.
Penegakan HAM memang sangat konsekuen dan juga linier dengan status negara hukum dan negara demokrasi. Dalam hal ini, pemerintah perlu bersikap konsekuen terhadap aturan hukum yang telah disepakati. Selain pemerintah, aparat penegak hukum juga memegang peranan penting dalam menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum dan HAM. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan juga aparat penegak hukum saling bersinergi bersama-sama untuk memposisikan HAM sebagai pucuk kebebasan masyarakat dalam berdemokrasi.
ADVERTISEMENT
REFERENSI
https://nasional.tempo.co/read/1268805/perjalanan-kasus-hilangnya-dokumen-tpf-munir/full&view=ok
https://nasional.republika.co.id/berita/q0mm2f415/12-kasus-ham-berat-belum-selesai
https://news.detik.com/berita/d-204555/kronologi-kematian-munir-di-atas-pesawat-garuda-ga-974