Konten dari Pengguna

Ancaman MK Runtuh, Hakim Lumpuh

Endrianto Bayu Setiawan
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum FH UB, Peneliti Pusat Studi Hukum FH UB, dan Asisten Peneliti Pusat Riset Sistem Peradilan Pidana Universitas Brawijaya
13 Februari 2025 11:01 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Endrianto Bayu Setiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gedung DPR (atas) dan Gedung MK (bawah). Sumber: Endrianto Bayu Setiawan
zoom-in-whitePerbesar
Gedung DPR (atas) dan Gedung MK (bawah). Sumber: Endrianto Bayu Setiawan
ADVERTISEMENT
Sudah kesekian kalinya DPR membuat kebijakan kontroversial dan menjadi sasaran kritik keras masyarakat. Kali ini terdapat kebijakan DPR yang mengesahkan revisi Peraturan DPR No. 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib . Salah satu poin revisi tersebut terletak dalam Pasal 228A ayat (1) yang mengatur pelaksanaan fungsi pengawasan DPR melalui evaluasi secara berkala terhadap calon yang telah ditetapkan dalam rapat paripurna DPR.
ADVERTISEMENT
Pengaturan baru dalam Tatib DPR itu memang tidak menyebut spesifik lembaga negara yang dimaksud. Tapi dapat diketahui beberapa lembaga negara yang pemilihan pimpinannya melibatkan fit and proper test di DPR dan memerlukan persetujuan paripurna, seperti pemilihan tiga hakim MK, persetujuan pengangkatan hakim MA, persetujuan anggota KPU dan Bawaslu, serta persetujuan pimpinan KPK. Terlihat bahwa lembaga tersebut berada di luar rumpun kekuasaan yang berbeda-beda. Bukankah hal ini sangat ironis?
Meskipun tidak disebut eksplisit, revisi Tatib DPR membuka peluang bagi DPR untuk tmengawasi dan mengevaluasi tiga hakim konstitusi yang telah mereka pilih. Padahal, jabatan hakim konstitusi tidak bisa diawasi oleh DPR, karena di internal MK sudah terdapat Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang berfungsi menegakkan kode etik hakim MK. Meski MK bukan satu-satunya lembaga, tapi terlihat ada sasaran yang bertubi-tubi terhadap lembaga penjaga konstitusi tersebut. Kondisi ini jelas membahayakan demokrasi konstitusional.
ADVERTISEMENT
Revisi Tatib DPR tentu menimbulkan persoalan serius yang mengancam kemerdekaan hakim MK. Jika DPR memiliki kewenangan untuk mengevaluasi hakim MK, maka kekuasaan yudikatif yang seharusnya bebas dari intervensi politik justru berada dalam bayang-bayang legislatif. Ini bukan sekadar pelanggaran prinsip pemisahan kekuasaan, tetapi juga ancaman nyata terhadap kredibilitas MK sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution) dan pengawal demokrasi (the guardian of the democracy).
Masalah Kultural di DPR
Alih-alih memperkuat prinsip negara hukum dan demokrasi, berbagai keputusan yang dibuat DPR selama ini lebih menunjukkan kualitas DPR yang bermasalah secara struktural, substansial, dan kultural.
Masalah struktural, karena kelembagaan DPR layaknya lebih merasa superior yang membawahi lembaga-lembaga lain—yang kedudukannya bersifat sederajat, seperti MK. Setidaknya hal itu bisa dicermati dari pengaturan dalam revisi Tatib DPR yang mengingkan adanya “evaluasi rutin” hakim MK. Padahal secara konstitusional, kedudukan DPR dan MK adalah sederajat dan berasal dari cabang kekuasaan yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Masalah substansial, karena revisi Tatib DPR menunjukkan ada ketidakpahaman pembentuk regulasi (in casu DPR) bahwa hakim konstitusi merupakan officium nobile dan tergolong jabatan yang tidak boleh mendapat intervensi dari manapun. Oleh sebab itu dalam menjalankan tugasnya, hakim konstitusi harus bersifat independen dan imparsial. Bahkan dalam konteks sejarah munculnya kekuasaan kehakiman itu sendiri, hakim haruslah menyuarakan kepentingan hukum dan keadilan berdasarkan prinsip hak asasi manusia.
Kemudian terkait masalah kultural DPR, lembaga ini banyak sekali melahirkan persoalan hukum dan politik yang acapkali tidak sejalan dengan logika membangun kekuasaan negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat). Setidaknya dalam kurun tujuh tahun terakhir, DPR banyak menghasilkan undang-undang (legislative product) yang problematik, hingga pada akhirnya menjadi objek judicial review di MK. Sedikit contoh revisi UU seperti UU Minerba, UU KPK, UU MK, dan UU Cipta Kerja.
ADVERTISEMENT
Autocratic Legalism Sedang Menyasar MK
Banyaknya produk legislasi bermasalah yang dihasilkan Pembentuk Undang-Undang (Presiden dan DPR) tidak menjadikan publik seolah-olah diam mematung. Harus disyukuri bahwa masih banyak kalangan masyarakat—seperti mahasiswa, akademisi, peneliti, dan NGO—yang sadar bahwa praktik penyalahgunaan kekuasaan memang harus dilawan menggunakan jalur kekuasaan pula. Dalam hal ini perlawanan dilakukan melalui kekuasaan yudikatif di Mahkamah Konstitusi, termasuk pula Mahkamah Agung. Caranya dengan melakukan judicial review.
Banyaknya pengajuan judicial review mengakibatkan MK menjadi sasaran pemangku kekuasaan untuk dilemahkan secara struktural, bahkan independensinya terus dipreteli. Keadaan semacam ini semakin menjustifikasi keadaan bahwa Negara Republik ini kian bermasalah. Ibarat telur sedang di ujung tanduk.
Menarik ke belakang, pernah ada kejadian ketika hakim konstitusi dicopot secara sewenang-wenang, dan kemudian diangkat hakim pengganti yang proses pemilihannya sarat dengan kepentingan terselubung. Harus diakui bahwa pencopotan Aswanto yang kemudian digantikan Guntur Hamzah menunjukkan ada praktik autocratic legalism yang terjadi terang benderang. Dan ternyata benar, sesaat kemudian Guntur Hamzah dijatuhi sanksi etik karena melakukan pengubahan putusan.
ADVERTISEMENT
Bahkan dalam proses peradilan di MK, cawe-cawe kekuasaan tak bisa dihindari. Ini terlihat ketika Anwar Usman menjadi hakim yang mendalangi berubahnya konsistensi MK terhadap perkara batas usia calon wakil presiden. Pada saat itulah terlihat ada inkonsistensi putusan MK dalam waktu yang sangat cepat antara satu perkara dengan perkara lainnya. Pergeseran ratio decidendi putusan yang sangat cepat ini tentu sangat tidak lazim dalam sejarah berdirinya MK.
Keberadaan MK nampaknya menjadi ancaman nyata bagi penguasa, utamanya bagi anggota DPR. Misalnya seperti perkataan Bambang Wuryanto di awal tahun 2023, bahwa undang-undang yang dibentuk DPR acapkali dibatalkan putusan MK. Pada saat itu pun, ia bersama Komisi III sempat mewacanakan revisi UU MK. Dan ternyata, perkataan Bambang Wuryanto itu benar diaktualisasikan di awal tahun 2025. Jalannya bukan dengan cara merevisi UU MK, tapi melalui revisi Tatib DPR yang dimaksudkan untuk mengevaluasi hakim MK.
ADVERTISEMENT
Langkah DPR tersebut jelas menunjukkan kegagalan paham mengenai konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) serta pelaksanaan fungsi checks and balances. Keadaan ini semakin mengafirmasi bahwa MK sedang menjadi sasaran autocratic legalism yang dilakukan penguasa.
Autocratic legalism tidak hanya mencederai independensi MK, tetapi juga menunjukkan ambisi DPR untuk mengontrol lembaga yang seharusnya menjadi penjaga konstitusi. Apabila autocratic legalism ini dibiarkan, MK akan kehilangan perannya sebagai benteng terakhir keadilan akibat menjadi sekadar perpanjangan tangan kepentingan politik.
Keruntuhan dan Kelumpuhan Institusi
Pada awal reformasi, MK lahir sebagai respons terhadap pertanyaan mendasar dalam ketatanegaraan: “Bagaimana mewujudkan negara hukum yang demokratis dan berdasarkan prinsip konstitusi?
Pertanyaan ini dijawab melalui amendemen UUD 1945 yang menghadirkan mekanisme konstitusional seperti judicial review, impeachment, serta penyelesaian perselisihan hasil pemilu dan pilkada. Tujuannya adalah memastikan tegaknya prinsip-prinsip negara hukum yang demokratis. Oleh karena itu, hasil amendemen tersebut menginginkan supaya MK berperan sebagai lembaga yang menjaga konstitusi.
ADVERTISEMENT
Sebelum MK berdiri, berbagai persoalan ketatanegaraan diselesaikan sepenuhnya melalui jalur politik tanpa mekanisme peradilan yang independen. Dengan lahirnya MK pasca-reformasi, dapat dikatakan lembaga ini merupakan anak kandung reformasi yang bertanggungjawab mengawal prinsip-prinsip konstitusionalisme.
Namun, setelah lebih dari dua dekade berdiri, independensi MK menghadapi ancaman serius akibat tekanan politik yang semakin menguat, terutama dari legislatif dan eksekutif. Revisi Tatib DPR menjadi bagian dari rangkaian upaya yang perlahan melemahkan MK.
Kehadiran mekanisme evaluasi dan rekomendasi penghentian dalam Tatib DPR seolah-olah memberikan kewenangan bagi legislatif untuk menilai kinerja hakim MK, padahal tidak ada ketentuan dalam undang-undang yang mengatur hak DPR untuk melakukan evaluasi tersebut. Dengan kata lain, DPR menambah kewenangannya sendiri melalui revisi tatib, bukan melalui UUD 1945 ataupun undang-undang.
ADVERTISEMENT
Jika revisi Tatib DPR ini terus dibiarkan, hal ini berisiko merusak prinsip dasar konstitusionalisme dan menurunkan independensi kekuasaan kehakiman. Pendek kata, langkah DPR ini merusak logika kekuasaan dan prinsip negara demokrasi konstitusional.
Dalam proses judicial review, misalnya, terdapat potensi kuat bahwa hakim konstitusi hanya akan berperan sebagai legitimasi formal bagi kebijakan legislatif dan eksekutif, alih-alih menjalankan fungsi korektif terhadap norma yang bermasalah dalam suatu undang-undang. Padahal, judicial review seharusnya menjadi instrumen yang memastikan kepatuhan terhadap konstitusi secara objektif dan imparsial. Jika kondisi ini terus berlanjut, MK tidak lagi berfungsi sebagai benteng terakhir keadilan konstitusional, melainkan sekadar perpanjangan tangan kepentingan politik.
Saat ini, diperlukan perlawanan dari berbagai pihak untuk menghentikan revisi Tatib DPR yang berpotensi melemahkan independensi MK. Akademisi, organisasi masyarakat sipil (NGO), mahasiswa, dan elemen masyarakat lainnya harus berperan aktif dalam mengkritisi praktik penyalahgunaan kekuasaan yang semakin tidak terkendali dan telah kehilangan legitimasi publik. Jika dibiarkan, hal ini akan semakin menggerus prinsip negara hukum dan merusak keseimbangan antar lembaga negara yang harusnya mengedepankan checks and balances.
ADVERTISEMENT
Lebih dari sekadar ancaman prosedural, kooptasi politik terhadap MK adalah ancaman terhadap pondasi demokrasi itu sendiri. Ibarat pilar rumah, ketika salah satu pilar utama runtuh, maka seluruh bangunan akan ikut hancur. Dalam lanskap politik yang semakin korup dan oportunis saat ini, MK seharusnya tetap menjadi benteng terakhir dalam menjaga supremasi hukum dan melindungi hak konstitusional warga negara.
Oleh karena itu, semua elemen masyarakat sipil harus bersatu untuk menjaga independensi dan imparsialitas MK. Jika pengikisan terhadap lembaga ini terus berlanjut hingga berujung pada kehancurannya, maka pertanyaannya bukan lagi sekadar bagaimana mempertahankan konstitusi, tetapi ke mana rakyat harus mencari keadilan ketika hak-hak mereka dilanggar?