Demokrasi Nir-Integritas

Endrianto Bayu Setiawan
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum FH UB, Peneliti Pusat Studi Hukum FH UB, dan Asisten Peneliti Pusat Riset Sistem Peradilan Pidana Universitas Brawijaya
Konten dari Pengguna
16 Desember 2023 21:33 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Endrianto Bayu Setiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Visualisasi Kota Suara Pemilihan Umum (Foto: Pexels.com)
zoom-in-whitePerbesar
Visualisasi Kota Suara Pemilihan Umum (Foto: Pexels.com)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) 2024 mendatang dihadapkan pada persoalan yang sangat kompleks. Pemilu 2024 mendatang adalah pemilu kelima, setelah sebelumnya diselenggarakan pada tahun 2004. Meski sudah diselenggarakan selama empat kali, tetapi penyelenggaraan pemilu kelima mendatang justru memiliki banyak persoalan, baik dari persoalan yuridis maupun non-yuridis.
ADVERTISEMENT
Malah yang terjadi, kemungkinan pemilu 2024 adalah pemilu yang sangat buruk. Hal itu ditandai dari banyaknya faktor penyebab yang menjadikan pemilu sangat kontraproduktif dan tidak sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Beberapa persoalan pemilu 2024 yang perlu diketahui di antaranya:
ADVERTISEMENT
Dari permasalahan di atas, ada faktor lainnya yang tentunya memengaruhi kredibilitas dan integritas penyelenggaraan pemilu yang demokratis. Misalnya yang selama ini dilakukan oleh Jokowi karena melakukan cawe-cawe (ikut campur/intervensi) dalam proses pemilu hingga anaknya masuk pada jajaran Cawapres.
Isu-isu kepemiluan selain sebagaimana di atas pada dasarnya masih sangat banyak sekali. Oleh sebab itu pemilu 2024 mendatang dibanjiri dengan dinamika isu-isu pemilu yang cukup menarik, tentunya sekaligus memprihatinkan. Bagaimana tidak, dinamika pemilu yang muncul justru mengarah pada pelemahan demokrasi yang berimplikasi pada nihilnya pemenuhan kedaulatan rakyat secara bermakna.
Mestinya, konstelasi pemilu 2024 haruslah dijalankan dengan mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi guna menghasilkan output yang dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Pemilu tidak sekadar memilih hingga melantik pemimpin terpilih, lebih jauh dari itu juga mengandung dimensi filosofis yang begitu erat kaitannya dengan tata kehidupan berbangsa dan bernegara, yakni hidup berdemokrasi.
ADVERTISEMENT
Namun, perlu disadari pula bahwa Lord Acton pernah menyinggung korupnya kekuasaan politik karena sistem kekuasaan yang absolut, yakni “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.”
Perlu diakui bahwa kekuasaan yang diterapkan saat ini memang cenderung korup, banyak manipulasi hukum, dan dipenuhi dengan konteks demokrasi prosedural saja.
Penyimpangan demi penyimpangan terhadap penyelenggaraan pemilu adalah bukti bahwa demokrasi yang dijalankan saat ini belum terkonsolidasikan dengan baik. Padahal, kita hidup berdemokrasi di era reformasi baru seperempat abad lamanya. Namun yang justru terjadi nuansa yuridis dan praktik demokrasi lebih kental dengan nuansa demokrasi prosedural yang cenderung korup.
Untuk mengubah tatanan kehidupan demokrasi menjadi lebih baik, apabila berkaca pada realitas kondisi saat ini nampaknya sangat sulit terwujud dalam waktu sekejap.
ADVERTISEMENT
Proses reformasi yang pernah terjadi di tahun 1998-1999 mengharapkan supaya demokrasi dipraktikkan dengan pemikiran yang dewasa, tetapi justru yang terjadi kini malah demokrasi yang saling berebut kepentingan dengan jalan merusak sistem secara ugal-ugalan. Misalnya kejadian pengubahan syarat usia capres/cawapres melalui jalan pengujian undang-undang dalam Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Apabila ingin memperbaiki tatanan demokrasi yang sudah korup tentu masih mungkin dilakukan, meski cenderung sulit untuk saat ini. Untuk memperbaikinya perlu ada pendekatan multiaspek, dan memerlukan kerja sama yang solid pula dari seluruh kalangan.
Beberapa di antaranya adalah partai politik, lembaga pemilu, lembaga sosial masyarakat yang menjalankan fungsi sebagai lembaga swadaya, hingga yang terpenting adalah partisipasi dari masyarakat yang saling terkonsolidasikan dengan baik.
ADVERTISEMENT

Butuh Gebrakan Generasi Muda

Pemilu 2024 dipenuhi dengan para voters yang sebagian besar adalah generasi muda (pemilih pemula dan pemilih di bawah 40 tahun) dengan persentase sebanyak 55 persen atau setara 114 juta pemilih. Jumlah itu mendominasi kategori voters dengan jumlah terbesar sepanjang gelaran pemilu sejak 2004 hingga 2024.
Oleh sebab itu, penentu berhasil tidaknya kenaikan angka partisipasi pemilih bergantung pada kemauan generasi muda. Begitu pula penentu kualitas kepemimpinan bangsa Indonesia ke depannya bergantung pada partisipasi politik generasi muda saat ini.
Menariknya, jumlah pemilih yang sebagian besar generasi muda juga ditandai dengan munculnya tren apatisme pemuda terhadap politik dan pemilu 2024. Meski tidak ada data pasti akan tetapi kemunculan narasi apatisme tersebut, akan tetapi perlu ada respons bijak dari para stakeholder supaya tidak membiarkan isu apatisme tersebut menjadi semakin liar.
ADVERTISEMENT
Faktor penyebab narasi apatisme terhadap pemilu 2024 tentu beragam, ada karena politik dinilai membosankan dan menakutkan, ada juga yang beranggapan bahwa praktik politik penuh dengan penyimpangan demokrasi, atau istilah kasarnya adalah politik kotor.
Tahun ini, pemilu memang pasti berkaitan erat dengan generasi muda, salah satu di antaranya adalah mahasiswa. Mereka yang menjadi bagian dari sivitas akademika dituntut supaya memiliki awareness terhadap pemilu. Mereka dituntut aktif untuk mengkritisi dan mengawal gagasan para pasangan calon yang menjadi peserta kontestan pemilu.
Tidak hanya capres dan cawapres saja, melainkan juga termasuk para caleg. Lebih jauh dari itu juga dituntut pula untuk mengkritisi prosedur penyelenggaraan pemilu yang mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi.