Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.97.1
Konten dari Pengguna
Efisiensi Brutal Pangkas APBN
13 Februari 2025 11:02 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Endrianto Bayu Setiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![Ilustrasi uang rupiah terpotong. Sumber: Endrianto Bayu Setiawan](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01jkxgb0hk236m07k61yy8nzqv.png)
ADVERTISEMENT
Kebijakan Prabowo Subianto yang memangkas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai langkah efisiensi awalnya disambut baik oleh masyarakat. Efisiensi APBN itu dilakukan dengan cara memotong anggaran di berbagai kementerian dan lembaga yang menyasar aspek operasional lembaga yang dinilai tidak urgen dan cenderung menghabiskan anggaran.
ADVERTISEMENT
Namun, mengacu pada Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2025 yang memerintahkan efisiensi APBN sebanyak Rp306 triliun, secara perlahan muncul banyak permasalahan keuangan di banyak kementerian dan lembaga negara. Efisiensi ini tidak hanya terjadi di lingkup lembaga pemerintahan saja, namun juga menyasar lembaga tinggi negara dan lembaga independen. Seperti MK, MA, KY, Komnas HAM, dan lainnya.
Persoalan demi persoalan yang muncul akibat efisiensi anggaran menimbulkan pertanyaan: Apakah kebijakan ini benar-benar langkah yang tepat? Dan apakah pemerintah telah mempertimbangkan dampaknya secara menyeluruh?
Pertanyaan ini penting untuk dijawab, mengingat dampaknya sangat signifikan. Pemangkasan anggaran sebesar Rp306 triliun bukanlah angka kecil, karena setara dengan 11,8% dari total APBN. Pengurangan sebesar itu berpotensi menghambat berbagai program prioritas pemerintah, mulai dari pendidikan, kesehatan, hingga infrastruktur. Jika tidak dikelola dengan tepat, efisiensi anggaran yang berlebihan justru dapat melemahkan efektivitas pelayanan publik dan mengganggu stabilitas pembangunan nasional.
ADVERTISEMENT
Minim Perencanaan dan Transparansi
Kebijakan penganggaran dalam APBN 2025 yang hendak dipangkas Rp306 triliun dengan dalih efisiensi menandakan buruknya sistem perencanaan keuangan negara yang dilakukan pemerintah. Padahal saat diberlakukannya UU APBN 2025 telah melewati proses pembahasan yang cukup ketat antara pemerintah dan DPR.
Di era transisi pemerintahan dari Jokowi ke Prabowo pun sering dilakukan komunikasi antara pihak Pemerintah (Kementerian Keuangan) dengan Tim Transisi Prabowo. Bahkan program dan visi misi Prabowo-Gibran telah dimasukkan ke dalam APBN 2025 yang disahkan di era Jokowi. Sudah jelas, komunikasi transisi tersebut telah berjalan. Secara kepentingan politik pun gamblang terlihat, bahwa masuknya Thomas Djiwandono dilantik Jokowi sebagai Wakil Menteri Keuangan di akhir masa jabatannya—dan menjadi tanda bahwa komunikasi politik transisional kekuasaan telah dilakukan jauh-jauh hari.
ADVERTISEMENT
Pertanyaannya, mengapa masih perlu dilakukan efisiensi anggaran? Adakah titik celah yang terlewat saat komunikasi penganggaran RAPBN 2025? Apakah dalam proses transisional terdapat “ketidaksepahaman” antara Pemerintahan Jokowi dan tim transisi Prabowo? Atau kondisi saat ini merupakan bentuk kegagalan perencanaan keuangan antara kedua rezim tersebut?
Tidak ada jawaban yang begitu jelas dari klarifikasi pemerintah. Bahkan tidak ada bentuk sosialisasi atau klarifikasi apapun yang benar-benar menjawab tujuan efisiensi keuangan, dan akan digunakan untuk apa hasil dari efisiensi APBN itu. Tidak adanya perencanaan yang memadai serta kosongnya transparansi justru memunculkan tanda tanya.
Asumsi yang terus bermunculan terhadap efisiensi APBN 2025 yaitu anggaran hasil efisiensi akan dialihkan untuk membiayai Makan Bergizi Gratis (MBG). Publik pun tahu, pelaksanaan MBG membutuhkan anggaran yang begitu besar lebih dari Rp450 triliun.
ADVERTISEMENT
Asumsi publik terhadap MBG ini bukanlah asumsi liar karena memang menjadi program andalan prioritas Prabowo-Gibran saat masa kampanye Capres 2024. Bahkan sebagaimana informasi beredar, di satu sisi MBG menjadi program prioritas unggulan, dan di lain sisi menjadikan pendidikan dan kesehatan sebagai program pendukung. Bukankah kebijakan ini semakin ironis karena menjadikan pendidikan dan kesehatan menjadi sektor yang dinomorduakan?
Meski belum ada klarifikasi dari pemerintah, akan tetapi publik pastinya sudah bisa membaca arah kebijakan politik pemerintah yang lebih memprioritaskan MBG ketimbang menggratiskan pendidikan, layanan kesehatan yang aksesibel dan inklusif, serta membuka lapangan pekerjaan padat karya yang menyejahterakan masyarakat.
Harus diakui, MBG adalah program populis yang tidak perlu diterapkan. Masih ada waktu untuk menghentikan program MBG yang cenderung buang-buang anggaran. Namun sepertinya Prabowo-Gibran sedang menjaga nama baik supaya dianggap konsisten dan memenuhi janji kampanyenya—sekalipun programnya dianggap tidak rasional dan tidak berdampak signifikan baik terhadap sektor pendidikan maupun kesehatan. Tapi, inilah resiko dari pemimpin populis, yang pastinya program-programnya juga berkarakter populis.
ADVERTISEMENT
Menganggu Operasionalisasi
Efisiensi anggaran memang sangat diperlukan untuk memastikan pengelolaan APBN tepat sasaran dan sesuai dengan peruntukannya, bukan untuk program tidak perlu yang tidak memiliki output jelas dan berdampak positif bagi masyarakat.
Pemangkasan anggaran berdampak terhadap penyelenggaraan fungsi pemerintahan di banyak kementerian dan lembaga negara. Banyaknya lembaga yang terdampak efisiensi anggaran pastinya akan memengaruhi kinerja dan operasionalisasi, termasuk juga layanan publik yang terhambat. Program-program prioritas yang jelas-jelas dibutuhkan masyarakat juga akan terganggu, seperti pendidikan, kesehatan, pembangunan infrastruktur, layanan mitigasi bencana, dan lainnya.
Misalnya, anggaran BMKG yang dipotong pastinya berdampak terhadap disfungsi mitigasi bencana, bahkan alat deteksi bencana bisa terancam mati. Padahal di era cepatnya perubahan iklim dan ketidakpastian kondisi alam, perlu ada pendanaan besar terhadap modernisasi alat mitigasi bencana. Begitu pula anggaran Kementerian Pekerjaan Umum yang dipangkas Rp81,38 triliun (efisiensi 73%) menyisakan pagu Kementerian menjadi Rp29,57 triliun, akan ada dampak berkurangnya pembangunan infrastruktur.
ADVERTISEMENT
Sektor pendidikan yang secara penganggaran telah dijamin konstitusi (mandatory spending) pun menjadi sasaran efisiensi. Kementerian Dikdasmen dikurangi Rp8,03 (23,95%) triliun dari total awalnya Rp33,5 triliun. Kementerian Diktisaintek dipangkas Rp22,5 triliun (39%) dari total semula Rp57,6 triliun. Bahkan anggaran riset pun dipotong 20% dari total awalnya Rp1,1 triliun.
Anggaran pendidikan pasca efisiensi ini melanggar konstitusi karena tidak memenuhi mandatory spending minimal 20% dari APBN. Pasca efisiensi APBN 2025, alokasi pendidikan hanya Rp651,61 triliun atau sekitar 18% dari total APBN. Pemotongan anggaran pendidikan itu pastinya memiliki dampak serius terhadap kualitas pendidikan dan pembangunan manusia. Padahal, pendidikan adalah investasi jangka panjang yang menjadi fondasi utama kemajuan bangsa.
Andaikata anggaran MBG dimasukkan dalam mandatory spending, pastinya akan melebihi 20%. Tapi harus disadari bahwa MBG tidak tepat dimasukkan ke dalam sektor pendidikan, karena tujuan utama MBG bukanlah peningkatan kualitas pendidikan secara langsung melainkan pemenuhan kebutuhan dasar gizi bagi anak-anak.
ADVERTISEMENT
Apabila anggaran MBG masuk mandatory spending pendidikan, maka akan terjadi distorsi dalam alokasi anggaran. Porsi besar dana pendidikan akan sangat berat pada program kesejahteraan (in casu MBG) ketimbang peningkatan mutu pendidikan itu sendiri. Padahal faktanya, penyelenggaraan pendidikan masih dihadapkan pada banyak masalah yang belum mendapat solusi adil. Seperti gaji guru honorer, beasiswa, digitalisasi pendidikan, dan pembangunan infrastruktur sekolah di seluruh daerah.
Apabila dampak pemangkasan anggaran dengan dalih efisiensi tidak segera diantisipasi untuk jangka panjang ke depan, dapat dipastikan ada dampak lain yang akan membebani masyarakat. Dalam jangka panjang, tanpa ada perencanaan dan antisipasi yang jelas, efisiensi anggaran akan berdampak pada ketidakstabilan penyelenggaraan pemerintahan dan keberlanjutan program-program strategis.
Pemangkasan yang dilakukan tanpa kajian komprehensif justru akan menyebabkan “inefisiensi” dalam bentuk lain. Di lingkup perguruan tinggi negeri bisa jadi UKT yang akan semakin naik dan riset menjadi tidak berkembang, serta di lingkup ketenagakerjaan bisa saja meningkatkan PHK dan pengangguran. Tidak menutup peluang, justru akan ada banyak pungutan ke masyarakat untuk mendukung operasional layanan pemerintahan seperti di tingkat desa, kecamatan, dan kabupaten—yang memang dahulu hingga sekarang jamak terjadi.
ADVERTISEMENT
Langkah efisiensi anggaran yang terlalu agresif dapat berujung pada stagnasi pembangunan dan ketimpangan sosial yang semakin menganga dengan lebar. Infrastruktur dasar yang tidak terbangun akibat keterbatasan anggaran akan memperlambat pertumbuhan ekonomi, khususnya di daerah tertinggal.
Pada akhirnya, keberhasilan program pemerintah tidak hanya ditentukan oleh besaran anggaran yang dialokasikan, tetapi juga efektivitas penggunaannya. Namun, jika efisiensi dilakukan tanpa perhitungan yang matang, tidak ada perencanaan yang jelas, serta tidak mempertimbangkan konsekuensi terhadap stabilitas negara, maka tujuan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan justru semakin sulit tercapai. Oleh karena itu, kebijakan penghematan harus disertai dengan strategi mitigasi dampak, sehingga tidak mengorbankan sektor-sektor esensial yang menjadi pilar utama kesejahteraan masyarakat.