Kriminalisasi Berulang Para Aktivis Lingkungan

Endrianto Bayu Setiawan
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum FH UB, Peneliti Pusat Studi Hukum FH UB, dan Asisten Peneliti Pusat Riset Sistem Peradilan Pidana Universitas Brawijaya
Konten dari Pengguna
5 April 2024 18:22 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Endrianto Bayu Setiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Aktivis lingkungan Karimunjawa Daniel Frits Maurits Tangkilisan saat akan mengikuti sidang vonis terkait kasus UU ITE di Pengadilan Negeri Jepara, Jawa Tengah, Kamis (4/4/2024). Foto: Aji Styawan/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Aktivis lingkungan Karimunjawa Daniel Frits Maurits Tangkilisan saat akan mengikuti sidang vonis terkait kasus UU ITE di Pengadilan Negeri Jepara, Jawa Tengah, Kamis (4/4/2024). Foto: Aji Styawan/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dalam beberapa tahun terakhir kriminalisasi terhadap aktivis yang menjadi pembela lingkungan dan sumber daya alam terus terjadi. Hal itu disebabkan karena adanya benturan kepentingan, baik yang terjadi antara masyarakat dengan pemerintah, masyarakat dengan pihak pengelola, maupun melibatkan ketiganya. Tetapi yang jelas masyarakat selalu terlibat dan menjadi pihak yang paling terdampak atas benturan kepentingan yang berujung konflik tersebut.
ADVERTISEMENT
Salah satu kasus kriminalisasi yang dalam beberapa bulan terakhir menyita perhatian publik yaitu kriminalisasi terhadap Daniel Frits Maurits Tangkilisan (50) yang merupakan aktivis pembela lingkungan di wilayah Karimunjawa karena menolak keberadaan tambak udang ilegal di area Pantai Cemara, Kab. Jepara.
Kasus tersebut sebenarnya sudah bermula sejak November 2022 dan penyidikan dimulai pada Februari 2023, serta perkembangan kasusnya dalam berkas penyidikan dinyatakan lengkap (P-21) pada Desember 2023.
Sebetulnya pada kasus ini Daniel Frits bukan satu-satunya tersangka yang dilaporkan menggunakan UU ITE. Ia juga dikriminalisasi bersama tiga warga Karimunjawa lain yang menjadi penolak tambak udang, yaitu Abdul Rachim, Sumarto Rofiun, dan Hasanudin (Tempo, 3/4/2024).
Daniel Frits sebetulnya merupakan representasi masyarakat Karimunjawa yang merasa resah dengan aktivitas tambak udang ilegal di wilayah tempat tinggalnya. Sebab selain statusnya yang ilegal, aktivitas tambak juga tidak disertai Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) sehingga mencemari wilayah pantai dan laut (BBC, 4/4/2024). Padahal di wilayah itu pekerjaan utama masyarakat sebagai nelayan yang menggantungkan sumber perekonomiannya dari hasil laut.
ADVERTISEMENT
Kriminalisasi terhadap Daniel Frits yang menggunakan UU ITE terkait tuduhan ujaran kebencian (hate speech) yang dilakukan melalui media sosial Facebook berdasarkan Pasal 45A ayat (2) jo. Pasal 28 ayat (2) UU ITE telah menambah daftar panjang kriminalisasi aktivis yang vokal memperjuangkan kelestarian lingkungannya. Contohnya Daniel Frits yang oleh PN Jepara pada Kamis, 4 April 2023, diputus bersalah dan divonis pidana penjara 7 (tujuh) bulan dan denda Rp5 juta subsider 1 (satu) bulan penjara.
Selama ini implementasi Pasal 28 ayat (2) UU ITE memang bermasalah secara norma karena tolak ukur ujaran kebencian dinyatakan secara tidak jelas. Pasal 28 ayat (2) UU ITE tersebut memiliki konstruksi norma yang tidak mencerminkan prinsip kejelasan rumusan dan kepastian hukum, sehingga dalam praktiknya berpotensi besar tidak selaras dengan tujuan kebebasan berekspresi serta menyampaikan kritik dan pendapat (Permatasari dan Wijaya, 2019).
ADVERTISEMENT
Sebetulnya Pasal 28 ayat (2) UU ITE dimaksudkan untuk melindungi hak asasi masyarakat, akan tetapi karena normanya yang multitafsir sehingga dalam praktiknya jauh dari tujuan kepastian hukum yang berkeadilan.

Pentingnya Perlindungan Hukum Bagi Daniel Frits

Kriminalisasi terhadap aktivis lingkungan, salah satunya Daniel Frits, yang dijerat menggunakan UU ITE sebetulnya tidak terlalu mengagetkan. Sebab sejak awal UU ITE memang menjadi ancaman kebebasan berekspresi dan berpendapat, terutama bagi mereka yang kerapkali menyuarakan kebenaran dan memperjuangkan kepentingan hukum serta berseberangan dengan kepentingan penguasa dan pemilik modal.
Dalam kasus ini, kriminalisasi terhadap Daniel Frits bukanlah kasus pertama dan bukan pula satu-satunya kasus. Sehingga dapat dikatakan kriminalisasi itu telah menambah daftar panjang pembela lingkungan harus berhadapan dengan hukum sebagai bentuk pembungkaman.
ADVERTISEMENT
Terlebih terhitung sejak tahun 2016 Daniel Frits sudah aktif menyuarakan isu-isu lingkungan di wilayah Karimunjawa Jepara. Naasnya, perjuangan Daniel Frits tersebut terpaksa harus dihadapkan pada upaya pembungkaman dengan tuduhan melakukan ujaran kebencian terhadap masyarakat Karimunjawa.
Padahal apabila kita cermat melihat ketentuan Pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) sudah dinyatakan bahwa: “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.”
Ketentuan Pasal 66 tersebut menjadi jaminan perlindungan hukum bagi siapa pun yang merupakan Pembela HAM Lingkungan (environmental human rights defender) tidak bisa dikriminalisasi, baik dari segi pidana maupun perdata. Dalam konteks ini maka menjadi jelas bahwa Pasal 66 UU PPLH menjadi dasar “perlindungan hukum preventif” yang seharusnya mencegah adanya kriminalisasi terhadap Daniel Frits.
ADVERTISEMENT
Terlebih lagi apabila mencermati kalimat pernyataan Daniel Frits pada akun Facebook miliknya harusnya dipahami secara utuh terkait konteks pembicaraan yang sama sekali tidak ada tuduhan ujara kebencian terkait SARA sebagaimana yang dimaksudkan Pasal 28 ayat (2) UU ITE.
Setidaknya ada dua hal mendasar supaya proses peradilan pidana lanjutan di tingkat banding menyatakan kasus Daniel Frits bukan tindak pidana.
Pertama, karena ia merupakan pembela lingkungan yang dijamin Pasal 66 UU PPLH terkait anti-SLAPP. Kedua, selain UU PPLH, ada juga Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2023 yang menjadi dasar implementasi anti-SLAAP supaya hakim menjatuhkan putusan lepas terhadap pejuang lingkungan.
Kedua alasan itu menjadi raison d’etre bagi seluruh aparat penegak hukum (APH) terutama hakim karena perkara kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan Karimunjawa tidak layak untuk dilanjutkan.
ADVERTISEMENT
Adanya kriminalisasi berlanjut oleh APH kepolisian dan kejaksaan harus memandang persoalan yang menjerat Daniel Frits sebagai wujud partisipasinya dalam menjaga kelestarian lingkungan dari ancaman kerusakan sekaligus bentuk kebebasan berpendapat.
Apabila perkara ini benar-benar dilanjutkan maka semakin memperkuat keyakinan bahwa pemrosesan pidana terhadap Daniel Frits merupakan kriminalisasi yang dipaksakan. Persoalan ini harus dipandang serius karena bertentangan dengan ketentuan UU PPLH dan Peraturan Mahkamah Agung.
Apabila dibiarkan maka akan semakin membahayakan praktik perlindungan hukum ke depannya. Guna menyelesaikan perkara ini, pada saat berkas perkara penyidikan dilimpahkan dari Kepolisian ke Kejaksaan, maka menurut penulis Kejaksaan sesuai dengan wewenangnya harus menerapkan asas oportunitas, yakni supaya Jaksa Agung sebagai pengendali perkara (dominus litis principle) tidak melakukan penuntutan demi kepentingan umum.
ADVERTISEMENT
Kaidah dari asas oportunitas disebut deponering, yang artinya mengesampingkan perkara pidana demi kepentingan umum. Karena apabila perkara ini benar-benar dipaksakan maka akan mengganggu tujuan hukum yang tidak memberikan keadilan dan kemanfaatan. Lebih jauh dari itu harusnya sejak awal Kepolisian tidak melanjutkan perkara ini.

Ketidakjelasan Penerapan UU ITE Terhadap Daniel Frits

Sebetulnya ketentuan Pasal 28 ayat (2) UU ITE sudah mengalami perubahan dari UU No. 11 Tahun 2008 ke UU No. 1 Tahun 2024. Secara gramatikal ketentuan dalam UU No. 1 Tahun 2024 relatif memiliki kejelasan norma, akan tetapi secara substansial sebenarnya perbedaan itu tidak jauh berbeda karena tetap mempertahankan sebagian besar klausul yang sifat penafsirannya masih subjektif/karet dan hanya akan mudah dijelaskan secara kasuistis. Selengkapnya perbedaan sebelum dan setelah revisi UU ITE di antaranya:
ADVERTISEMENT
Pasal 28 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2008
Pasal 28 ayat (2) UU No. 1 Tahun 2024
Dari pasal di atas masih terlihat tidak ada perbedaan reformulasi pengaturan yang signifikan, hanya saja terdapat pengembangan norma berisikan batasan perbuatan yang sedikit lebih detail. Misalnya batasan perbuatan dalam Pasal 28 ayat (2) yang haruslah memenuhi lima unsur, yakni: (1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak; (2) mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik; (3) sifatnya menghasut, mengajak, atau memengaruhi orang lain; (4) menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu: (5) perbuatan itu berkaitan dengan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik.
ADVERTISEMENT
Oleh sebab itu dalam praktiknya APH melakukan kesalahan fatal karena menggunakan UU ITE secara tidak tepat. APH justru menggunakan UU No. 11 Tahun 2008 jo. UU No. 19 Tahun 2016. Padahal sesuai prinsip hukum pidana apabila terdapat dua ketentuan yang berbeda maka harus menggunakan ketentuan yang paling menguntungkan terdakwa, dalam hal ini harusnya UU No. 1 Tahun 2024.
Tetapi menurut penulis hal itu juga tidak bisa dilakukan karena sebetulnya kasus Daniel Frits tidak memenuhi unsur-unsur tindak pidana baik berdasarkan Pasal 27 ayat (3) maupun Pasal 28 ayat (2) UU ITE yang baru dan lama.
Langkah APH yang mengkriminalisasi Daniel Frits adalah kesalahan dan kesesatan penegakan hukum pidana. Sebab berdasarkan Pasal 27A UU No. 1 Tahun 2024 telah menyatakan secara tegas bahwa
ADVERTISEMENT
Ketentuan Pasal 27A tersebut telah menutup peluang untuk mengkriminalisasi Daniel Frits karena perbedaan “maksud” yang tidak menyerang kehormatan atau nama baik orang lain. Hal itu sebagaimana penulis katakan sebelumnya bahwa cuitan Daniel Frits di Facebook harus dibaca secara keseluruhan yang notabene merupakan kritik sekaligus bentuk kebebasan berpendapat dan berekspresi, bukan perbuatan menghina.
Apabila kriminalisasi Daniel Frits ini benar-benar dipaksakan maka ke depannya akan menjadi tren pembungkaman suara kritis masyarakat atas kerusakan lingkungan di wilayahnya. Tren itu setidaknya bisa dicermati dari beberapa tren pemidanaan aktivis lingkungan yang marak terjadi dalam beberapa tahun terakhir.
ADVERTISEMENT
Dalam perkara lingkungan setidaknya ada dua akibat hukum. Pertama, meningkatnya potensi kerusakan lingkungan yang semakin tidak terkontrol, sebab masyarakat pemerhati lingkungan yang cenderung vokal menyuarakan pembelaan diancam dengan kriminalisasi oleh APH. Kedua, terancamnya kebebasan berekspresi dan berpendapat bagi masyarakat. Padahal kebebasan itu merupakan manifestasi jaminan perlindungan HAM yang seharusnya dihormati dan dijunjung tinggi.
Terhadap Daniel Frits dan masyarakat Karimunjawa, harapannya di tingkat banding dapat dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan dari segala tuduhan yang tidak merupakan tindak pidana. Apabila putusan tingkat banding menyatakan sebaliknya, maka kasus ini akan menjadi preseden buruk bagi aktivisme perlindungan HAM dan lingkungan.