Menanti Putusan Revolusioner Mahkamah Konstitusi

Endrianto Bayu Setiawan
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum FH UB, Peneliti Pusat Studi Hukum FH UB, dan Asisten Peneliti Pusat Riset Sistem Peradilan Pidana Universitas Brawijaya
Konten dari Pengguna
7 April 2024 9:22 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Endrianto Bayu Setiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: Aditia Noviansyah
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: Aditia Noviansyah
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pada 5 April 2024 lalu Mahkamah Konstitusi (MK) telah usai menyelenggarakan sidang pemeriksaan dan pembuktian dalam perkara perselisihan hasil pemilu presiden dan wakil presiden (PHPU). Artinya, agenda selanjutnya adalah penyelenggaraan Rapat Permusyawaratan Hakim Konstitusi (RPH) yang digelar secara tertutup untuk membahas dan merumuskan putusan akhir.
ADVERTISEMENT
Dibandingkan dengan perkara PHPU 2014 dan 2019, dalam PHPU 2024 terdapat sejumlah keunikan. Sebab kompleksitas perkara dan hal-hal diluar agenda formal pemilu juga turut diperkarakan dalam persidangan PHPU 2024. Misalnya terkait bagi-bagi bansos dan cawe-cawe presiden yang banyak disinggung dalam permohonan PHPU. Sampai-sampai membuat MK harus memanggil sejumlah menteri dan DKPP untuk mengkonfirmasi pelanggaran pemilu dan penyalahgunaan kekuasaan. Ditambah lagi isu penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) yang tidak independen juga dijadikan sebagai dalil permohonan PHPU.

Kegaduhan Pilpres

Hal berbeda dalam gelaran pilpres 2024 karena sejak awal pendaftaran capres/cawapres sudah diwarnai perdebatan masalah etik terhadap paslon Prabowo-Gibran. Sebab majunya Gibran sebagai cawapres Prabowo mengandung dua masalah utama. Pertama, Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 yang dinyatakan cacat etik. Kedua, adanya konflik kepentingan karena kedudukan Gibran sebagai anak kandung Presiden Jokowi.
ADVERTISEMENT
Sesungguhnya dua permasalahan itu belum pernah terjadi dalam gelaran pilpres sebelumnya, sehingga perkara inilah yang menjadikan pilpres 2024 mengandung hiruk pikuk dan problematika hukum yang akan terus dipermasalahkan. Meski kedua permasalahan itu cenderung kental dengan unsur “formal” penyelenggaraan pilpres, tetapi pastinya berdampak terhadap aspek “substansial” karena menandakan lemahnya konsolidasi demokrasi di Indonesia. Padahal, gelaran pemilu adalah momentum mengkonsolidasikan demokrasi menjadi lebih baik.
Hujan kecaman terhadap Putusan No. 90/PUU-XXI/2023 pada kenyataannya tidak bisa menghentikan langkah Gibran menjadi cawapres Prabowo. Meski upaya untuk menggugurkan Amar Putusan No. 90/PUU-XXI/2023 juga dilakukan melalui mekanisme judicial review, akan tetapi nyatanya MK konsisten mempertahankan norma yang sebelumnya sudah diputus.
Permasalahan serupa juga terjadi ketika KPU tidak mengubah Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 yang mengatur syarat pencalonan capres/cawapres. Tidak berubahnya Peraturan KPU tersebut pada akhirnya menjadikan Gibran tetap mengikuti laga pilpres sampai ia dinyatakan memperoleh suara terbanyak.
ADVERTISEMENT
Perdebatan demi perdebatan itu ternyata terus berlanjut hingga persidangan PHPU di MK. Sampai-sampai problematika pencalonan Gibran menjadi dalil yang paling utama dan dijadikan dasar permohonan untuk mendiskualifikasi Prabowo-Gibran dan melakukan pemilu ulang.

Mungkinkah MK Menembus Batas Kewajaran Putusan PHPU?

Dalam tiap gelaran persidangan PHPU, selalu saja yang menjadi polemik adalah soal kewenangan MK. Meski dalam Pasal 24C UUD NRI 1945 beserta aturan turunannya telah menegaskan bahwa MK mengadili perselisihan hasil. Akan tetapi banyak pihak yang memberikan tafsir baru supaya MK tidak sekadar memutus perselisihan hasil dari angka-angka saja, melainkan harus berani menembus batas-batas formalitas angka-angka. Artinya, kalau merunut dari tafsir itu, MK didesak untuk membuat putusan revolusioner yang memutus konstitusionalitas seluruh rangkaian pilpres. Tidak hanya terkait perolehan hasil pilpres tetapi juga rangkaian proses yang berdampak terhadap hasil.
ADVERTISEMENT
Sesungguhnya apabila mencermati UU Pemilu sudah ada pemetaan lembaga yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus apabila terjadi sengketa proses, perselisihan hasil, pelanggaran administrasi, dan tindak pidana pemilu. Lembaga itu adalah Bawaslu, DKPP, PTUN, Pengadilan Negeri, dan MK.
Secara normatif, apabila nantinya MK mengadili perkara di luar kewenangan yang sudah ditentukan menurut UUD NRI 1945 dan aturan turunannya, maka sesungguhnya akan menimbulkan persoalan baru karena memutus hal-hal diluar yang sudah dinormakan dalam perundang-undangan. Suka atau tidak suka, memang begitulah bunyi rumusan norma yang membatasi supaya MK hanya mengadili perselisihan hasil pemilu. Sejauh ini pun belum ada perkara pilpres yang mengharuskan MK melampaui batas kewenangan mengadili di luar perselisihan hasil.
Andai kata MK benar-benar memutus perkara diluar perselisihan hasil maka tentu akan mengacaukan kelaziman penyelesaian sengketa, dan hal itu berdampak terhadap legitimasi putusan. Untuk mengubah kelaziman penyelesaian sengketa itu sebetulnya bisa dilakukan ketika MK berpandangan ada persoalan ketatanegaraan yang sangat luar biasa terjadi dan harus diselesaikan oleh MK.
ADVERTISEMENT
Kewenangan MK yang sekadar memutus perselisihan hasil pilpres memang sangat dilematis. Sekalipun MK menyadari ada potensi penyalahgunaan kekuasaan, akan tetapi ruang gerak MK untuk menilai konstitusionalitas seluruh rangkaian pemilu sebetulnya tertutup secara yuridis sebagaimana norma perundang-undangan.
Kecuali, MK dengan langkah beraninya melakukan judicial activism dan menembus batas dimensi kewajaran dan norma perundang-undangan karena adanya persoalan ketatanegaraan yang luar biasa. Artinya MK dengan inisiatifnya sendiri bisa saja menilai konstitusionalitas seluruh rangkaian pilpres yang tidak terbatas pada perselisihan hasil.
Apabila keberanian MK tersebut benar-benar dilakukan, maka MK juga harus memproyeksikan potensi permasalahan serta solusi untuk mengatasinya. Sebab karakteristik putusan MK terkait pilpres bersifat final and binding sehingga tidak ada upaya hukum untuk mengubahnya. Dengan konsep final and binding itu, MK bisa menerapkan judicial activism untuk memutus perkara secara revolusioner guna mengatasi persoalan pilpres yang teramat kacau.
ADVERTISEMENT

Tantangan Terberat Hakim Konstitusi

Setelah mencermati alat bukti dalam persidangan PHPU yang disampaikan para pemohon, agaknya menjadi tantangan yang sangat berat nan dilematis bagi Hakim Konstitusi untuk mengabulkan perkara ini. Sekalipun berbagai pelanggaran dan penyalahgunaan kekuasaan itu nyata terjadi dan disadari oleh Hakim Konstitusi, akan tetapi ketika menuangkan dalam bentuk amar putusan menjadi tantangan tersendiri. Sebab ada dinding kewenangan yang membatasi ruang gerak MK secara terbatas.
Terlebih lagi apabila melihat petitum yang dimohonkan supaya mendiskualifikasi paslon Prabowo-Gibran dan mengadakan pemilu ulang agaknya petitum itu dalam batas penalaran yang wajar mustahil dilakukan. Baik dalam UU Pemilu, UU MK, dan Peraturan MK tidak ada ketentuan dilakukannya “diskualifikasi” maupun “pemilu ulang”. Sebab yang berwenang melakukan diskualifikasi seharusnya KPU dengan alasan paslon yang tidak memenuhi syarat menurut undang-undang.
ADVERTISEMENT
Kalaupun MK berkeinginan mendiskualifikasi paslon dan membatalkan hasil pilpres, MK harus benar-benar yakin adanya pelanggaran TSM dan secara nyata berdampak terhadap perolehan hasil secara signifikan. Apabila mencermati sidang pembuktian, agaknya sulit bagi MK melakukan diskualifikasi terhadap salah satu paslon ataupun melakukan pemilu ulang. Sekalipun yang didalilkan pemohon karena adanya bansos dan cawe-cawe presiden.
Dalam berbagai putusan PHPU, MK sangatlah hati-hati dalam memutus perkara. Sekalipun ada desakan publik supaya MK mengabulkan permohonan, tetapi dalam sejarahnya belum pernah ada putusan MK yang mengabulkan permohonan PHPU, baik untuk sebagian maupun seluruhnya.
Meski MK tidak pernah mengabulkan perkara PHPU, akan tetapi dalam ratio decidendi dapat dimungkinkan apabila MK melahirkan rumusan konstitusionalitas baru (yurisprudensi) berkenaan dengan pilpres. Tidak menutup peluang ratio decidendi putusan MK nantinya menetapkan larangan adanya benturan kepentingan (conflict of interest) antara peserta pemilu dengan pemangku jabatan eksekutif (presiden/wapres yang sedang menjabat).
ADVERTISEMENT
Apabila merunut putusan MK berkenaan dengan benturan kepentingan sebetulnya pernah diadili dalam judicial review UU Pilkada yang melarang adanya konflik kepentingan peserta pilkada dengan petahana (vide Putusan No. 33/PUU-XIII/2015). Akan tetapi ketentuan konflik kepentingan tersebut sudah dinyatakan inkonstitusional oleh MK karena dianggap diskriminatif. Apabila logika hukum Putusan No. 33/PUU-XIII/2015 tersebut konsekuen diterapkan dalam PHPU 2024, maka dimungkinkan apabila MK akan menolak permohonan PHPU 2024 untuk mendiskualifikasi paslon Prabowo-Gibran karena relasinya dengan Presiden Jokowi.
Terlebih lagi sebetulnya, lolosnya Gibran menjadi cawapres Prabowo juga akibat adanya Putusan No. 90/PUU-XXI/2023. Sehingga dalam PHPU 2024 secara tidak langsung MK juga berhadapan dengan putusan yang pernah dibuatnya sendiri. Meski di kemudian hari tidak menutup peluang apabila MK akan berubah haluan yang tidak lagi sejalan dengan Putusan No. 90/PUU-XXI/2023 akibat adanya permasalahan ketatanegaraan yang dianggapnya luar biasa.
ADVERTISEMENT

Harapan Publik Terhadap Amar Putusan

Andai kata MK mengabulkan petitum untuk mendiskualifikasi Prabowo-Gibran atau mengabulkan pemilu ulang, maka akibat hukum dari pengabulan itu juga harus ditentukan MK secara expressive verbis dalam putusan guna menghindari adanya penyalahgunaan kebijakan serta mengantisipasi terjadinya konflik yang “berulang”. Sekalipun putusan semacam itu dimungkinkan, akan tetapi lagi-lagi butuh judicial activism dan keberanian yang kuat supaya MK memutus perkara itu diluar kelaziman yang selama ini sudah dipraktikkan serta menembus batas norma dalam undang-undang.
Meski saat ini terdapat perubahan komposisi Hakim Konstitusi dibanding saat mengadili Putusan No. 90/PUU-XXI/2023, akan tetapi hal itu sepertinya tidak serta merta menjamin dikabulkannya perkara PHPU. Sebab lagi-lagi dikatakan bahwa MK juga sedang berhadapan dengan konsistensi putusannya sendiri. Dan untuk mengubahnya butuh keadaan conditio sine qua non sehingga berpengaruh terhadap pendirian MK.
ADVERTISEMENT
Satu hal yang pasti, supaya MK memutus perkara ini dengan bijak dan seadil-adilnya. Berbagai pelanggaran dan penyalahgunaan kekuasaan harus sudah dihentikan dan tidak menganggapnya sebagai suatu normalisasi politik dalam pemilu. Karena itu putusan MK adalah jalan terakhir yang dinanti publik mengenai nasib bangsa ini ke depannya.
Apabila nantinya putusan MK menyatakan menolak sebagian atau seluruh petitum pemohon, setidaknya ratio decidendi dalam putusan MK akan memberikan warna baru supaya gelaran pilpres selanjutnya tidak ada lagi konflik kepentingan antara paslon yang memiliki hubungan keluarga dengan pejabat negara lainnya (in casu presiden/wapres). Oleh sebab itu, meski putusannya menolak masih ada peluang bagi MK untuk bermain pada bagian ratio decidendi yang menjadi dasar konstitusional untuk memperbaiki gelaran pemilu di masa mendatang.
ADVERTISEMENT
Melalui putusan PHPU ini pula menjadi kesempatan bagi MK untuk mengembalikan kepercayaan publik yang berada pada titik terendah pasca Putusan No. 90/PUU-XXI/2023. Publik saat ini benar-benar menantikan keberanian MK supaya memutus perkara ini seadil-adilnya tanpa ada intervensi dari penguasa. Karena itulah MK sebagai garda terakhir pelindung demokrasi konstitusional (the guardian of constitutional democracy). Tanpa melalui MK, lantas ke mana lagi publik harus berharap?