Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menelisik Ancaman Terorisme Sebagai Upaya Preventif Mencegah Disintegrasi Bangsa
11 Desember 2020 5:26 WIB
Tulisan dari Endrianto Bayu Setiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada 27 November 2020 lalu masyarakat Sigi digemparkan dengan munculnya sekelompok teroris di Desa Lembatongoa, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Berdasarkan pernyataan yang disampaikan Kapolda Sulawesi Tengah, Irjen Pol Abdul Rakhman Baso, aksi terorisme tersebut diduga dilakukan oleh kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang dimotori Ali Kalora. Lebih lanjut dalam penjelasannya, diduga motif terorisme tersebut adalah sebagai wujud balas dendam karena dua anggota kelompok mereka berhasil dilumpuhkan kepolisian pada 17 November 2020 lalu.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan kronologi yang disampaikan Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah, aksi brutal para teroris bermula sekitar pukul 09.00 WITA dimana terdapat delapan Orang Tidak Dikenal (OTK) yang tiba-tiba memasuki rumah-rumah warga. Dalam aksinya, kelompok teroris tersebut melakukan perampokan dengan cara mengambil beras warga kurang lebih 40 kilogram. Pasca merampok, delapan OTK tersebut juga melakukan pembunuhan yang kemudian membakar empat rumah warga. Dalam kejadian ini, empat orang tewas karena dianiaya dan empat rumah terbakar.
Selain kasus di atas, aksi terorisme di Indonesia tidak hanya terjadi sekali ini saja. Fenomena terorisme telah banyak terjadi di berbagai penjuru wilayah di Indonesia. Sebagaimana yang telah disebutkan oleh peneliti ahli dari BNPT, Sidratahta Mukhtar pada 19 Januari 2016, telah ada sekitar 2,7 juta orang Indonesia terlibat dalam serangkaian serangan teror. Jumlah itu belum termasuk pengikut dan simpatisan jaringan teroris.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut dilansir dari tempo.co, data estimasi BNPT menyebutkan bahwa pada tahun 2016 terdapat sekitar 10-12 jaringan inti teroris yang berkembang di Indonesia. Jaringan teroris tersebut telah menyebar ke berbagai wilayah Indonesia, salah satu contohnya seperti jaringan Santoso yang bergerak di wilayah timur Indonesia. Apabila melihat perkembangan yang terjadi saat ini, tidak menutup kemungkinan jumlah tersebut akan terus bertambah.
Berdasarkan historis, pasca kemerdekaan perkembangan kasus terorisme di Indonesia dapat diamati ketika munculnya Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) sekitar tahun 1949. Kala itu, kelompok DI/TII melakukan aksi terorisme dan juga tindakan kriminal, seperti membakar rumah-rumah warga, membongkar rel kereta api, serta menyiksa dan merampok harta benda penduduk. Jumlaah korban akibat aksi tersebut diperkirakan memakan ratusan korban jiwa. Motif dari aksi tersebut yakni bermaksud menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam. Dalam beberapa tahun saja, DI/TII telah berhasil merambah jangkauannya ke beberapa wilayah di Indonesia, yakni mulai dari Jawa Barat sampai ke Aceh, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan Jawa Tengah.
ADVERTISEMENT
Meskipun pretelan dari kelompok teroris DI/TII berhasil ditangkap, namun tidak dipungkiri sisa-sisa pejuang tersebut masih berkeliaran di lapangan dengan paham ideologi yang sama. Di lain sisi juga masih dijumpai aksi brutal yang dilakukan oleh kelompok teroris lokal lainnya. Belum lagi, tidak menutup kemungkinan bahwa eksistensi kelompok teroris lokal di Indonesia memiliki afiliasi dengan organisasi teroris di luar negeri, seperti ISIS, Al-Qaeda, dan Abu Sayyaf.
Dalam berbagai aksi terorisme, motif yang melatarbelakangi tiap pelaku pun bermacam-macam, ada yang disebabkan karena faktor ideologi, pemahaman terhadap ajaran agama, aliran politik, sebagai bentuk protes atas kebijakan pemerintah, afiliasi dengan kelompok radikal, bahkan sampai bermotif untuk mendapat kekuasaan.
Apabila direlevansikan dengan kasus terorisme di Indonesia baru-baru ini, aksi terorisme tidak lagi mengenal jabatan yang disandang sasaran teror. Hal ini dapat diamati terkait tragedi penusukan mantan Menkopolhukam, Wiranto. Meskipun menyandang jabatan sekelas Menteri, aksi teror pun tidak kunjung dapat dicegah. Padahal orang sekelas pejabat negara masih mendapat pengawalan dari kepolisian/TNI. Apabila pihak yang mendapat pengawalan ketat saja masih kecolongan, maka yang menjadi pertanyaan, bagaimana dengan keselamatan rakyat yang bisa dibilang tidak mendapat akses pengawalan?
ADVERTISEMENT
Dalam kacamata NKRI, sudah tentu praktik radikalisme yang menggunakan jalan kekerasan dengan cara melakukan teror tidak dapat dibenarkan. Tindakan yang dilakukan secara brutal serta sewenang-wenang adalah perbuatan yang bertentangan dengan hukum serta nilai-nilai luhur ideologi negara, Pancasila. Sebagai negara yang menjunjung tinggi instrumentasi Hak Asasi Manusia (HAM), penghormatan, perlindungan, penegakan, dan pemajuan HAM harus senantiasa ditumbuhkembangkan. Termasuk dalam mencegak praktik terorisme dan radikalisme yang jelas-jelas membahayakan perlindungan dan penegakan HAM.
Kasus Sigi di atas hanyalah satu dari sekian banyak kejahatan terorisme yang pernah terjadi di Indonesia. Apabila tidak ada ketegasan sikap dari pemerintah, tentu kejahatan terorisme akan terus berkembang dan tidak menutup kemungkinan akan terjadi secara masif. Terdapat paribahasa mengatakan “lebih baik mencegah daripada mengobati.” Paribahasa tersebut selalu menjadi ungkapan relevan apabila dikaitkan dengan aksi terorisme yang tidak kunjung selesai. Artinya, tindakan pencegahan (preventif) akan lebih memberikan hasil guna yang efektif dalam meminimalisir dampak yang ditimbulkan akibat aksi terorisme.
ADVERTISEMENT
Apabila aksi terorisme yang beraliran paham radikal terus terjadi, tentu psikologi masyarakat akan semakin terganggu. Masyarakat menjadi ketakutan dan khawatir jiwanya terancam akibat situasi yang tidak sepenuhnya aman. Padahal, masyarakat memiliki hak untuk mendapat rasa aman dan juga hidup tenteram.
Kasus yang pernah terjadi di Sigi sudah semestinya dijadikan sebagai pembelajaran sekaligus refleksi bahwa kasus tersebut sangat membahayakan keamanan masyarakat dan juga negara. Momentum tersebut harus senantiasa menjadikan kita semua bersikap lebih waspada akan bahaya-bahaya terorisme maupun radikalisme.
Upaya preventif adalah upaya efektif yang dapat menjadi solusi alternatif. Meskipun telah terjadi banyak aksi terorisme, tidak ada kata terlambat bagi pemerintah beserta stakeholder terkait memberantas terorisme. Pemerintah dapat mengoptimalisasikan tugas dan peran dari lembaga atau badan-badan seperti Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Intelijen Negara (BIN), Tentara Nasional Indonesia (TNI), serta aparat penegak hukum seperti Kepolisian dan Kejaksaan. Badan-badan atau lembaga tersebut perlu bersinergi dalam berbagai aspek guna mencegah timbulnya kejahatan terorisme di masa mendatang.
ADVERTISEMENT
Kemudian dari sisi pemerintah, perlu ada kebijakan sosial yang mengedepankan rasa keadilan, sehingga kecemburuan sosial masyarakat dapat diminimalisir. Pemerintah harus menghindari adanya kebijakan yang dapat menimbulkan ketimpangan sosial. Apabila terjadi ketimpangan, tidak menutup kemungkinan akan menyebabkan masyarakat menuntut pemerintah dengan jalan yang ekstrem. Selain melalui peran badan-badan atau lembaga negara, kejahatan radikalisme dan terorisme dapat dicegah dengan mengoptimalkan peran tokoh agama atau tokoh masyarakat untuk memberikan edukasi nilai-nilai luhur agama dan adat masyarakat Indonesia yang menolak kekerasan.
Selain itu, peran lembaga pendidikan seperti sekolah dan pesantren dapat dimaksimalkan dengan cara mengenalkan ilmu pengetahuan yang baik dan benar. Kurikulum pembelajaran harus memuat substansi pembelajaran yang memberikan nilai edukasi dan informasi mengenai bahaya terorisme dan radikalisme. Kemudian, dalam kehidupan sehari-hari juga perlu dibiasakan untuk memfilter informasi yang beredar luas. Termasuk dari media sosial maupun informasi dari mulut ke mulut yang harus diketahui terlebih dahulu validitas informasinya.
ADVERTISEMENT