Pemberhentian Hakim Konstitusi Aswanto dan Imbasnya Terhadap Independensi Hakim

Endrianto Bayu Setiawan
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum FH UB, Peneliti Pusat Studi Hukum FH UB, dan Asisten Peneliti Pusat Riset Sistem Peradilan Pidana Universitas Brawijaya
Konten dari Pengguna
1 Oktober 2022 19:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Endrianto Bayu Setiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Cuplikan Aswanto pada saat menjadi Keynote Speaker dalam acara Constituonal Law Festival di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Foto: Dokumentasi Pribadi Penulis
zoom-in-whitePerbesar
Cuplikan Aswanto pada saat menjadi Keynote Speaker dalam acara Constituonal Law Festival di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Foto: Dokumentasi Pribadi Penulis
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pada 29 September 2022 Rapat Paripurna DPR RI membuat keputusan untuk memberhentikan Aswanto sebagai Hakim Mahkamah konstitusi (MK). Bambang Wuryanto selaku Ketua Komisi III mengatakan bahwa pemberhentian tersebut dikarenakan Aswanto tidak memiliki komitmen atau loyalitas terhadap DPR yang merupakan lembaga pengusul Aswanto menjadi Hakim MK. Bambang menyebut Aswanto sering menganulir atau membatalkan undang-undang yang telah dibuat DPR dan Presiden.
ADVERTISEMENT
Dalam kasus ini, Penulis tidak setuju dengan adanya pemberhentian terhadap Aswanto. Secara hukum, berdasarkan UU No. 7 Tahun 2020 Aswanto berhak menjadi Hakim MK hingga tahun 2029. Sedangkan apabila mengacu pada UU MK yang lama, Aswanto semestinya mengakhiri masa jabatannya pada tahun 2024.
Adanya pemberhentian Aswanto yang dilakukan secara sepihak oleh DPR tentunya akan menimbulkan efek domino di beberapa aspek, seperti potensi konflik kelembagaan DPR dan MK, mengentalnya nuansa politik dalam peradilan, hingga berdampak pada independensi Hakim MK dalam memutus perkara.
Dalam kasus ini Penulis sepakat dengan pernyataan Prof. Jimly Asshiddiqie bahwa pemberhentian Aswanto sama halnya dengan pemecatan atau pemberhentian tidak dengan hormat. Sepakatnya Penulis dengan pernyataan Prof. Jimly tersebut adalah melalui penafsiran alasan pemberhentian yang dilakukan DPR, yakni karena Aswanto dianggap tidak mempunyai komitmen terhadap DPR.
ADVERTISEMENT
Penulis beranggapan bahwa pemberhentian Aswanto tidak berdasarkan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 23 UU No. 7 Tahun 2020. Dalam Pasal 23 ayat (2) disebutkan bahwa pemberhentian tidak dengan hormat apabila dijatuhi pidana penjara, melakukan perbuatan tercela, tidak menghadiri persidangan sesuai kewajiban, melanggar sumpah atau janji jabatan, menghambat tugas MK sesuai Pasal 7B ayat (4) UUD NRI 1945, melanggar larangan rangkap jabatan, tidak lagi memenuhi syarat Hakim MK, dan melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi (KEPPHK).
Berdasarkan sejumlah ketentuan dalam Pasal 23 ayat (2) di atas, tidak ada satupun yang dapat menjadi dasar hukum dilakukannya pemberhentian . Pertimbangan DPR memberhentikan Aswanto dengan alasan tidak komitmen terhadap DPR adalah alasan yang terkesan dibuat-buat dan justru lebih kental dengan nuansa politik.
ADVERTISEMENT
Harus Dibedakan Antara Proses Politik dan Mekanisme Hukum
Dalam persoalan ini Penulis berpandangan bahwa perlu dipahami antara pengusulan jabatan Hakim MK yang merupakan proses politik dengan pemberhentian yang merupakan mekanisme hukum. Pengusulan Hakim MK adalah proses politik yang diajukan oleh tiga lembaga, yakni MA, DPR, dan Presiden. Pengajuan atau penunjukan seseorang menjadi Hakim MK adalah sebuah proses politik yang dilakukan tiga lembaga berbeda yang kemudian ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Tetapi, akan menjadi berbeda apabila terkait dengan pemberhentian, sekalipun pemberhentian dilakukan tidak dengan hormat, maka prosesnya haruslah berdasar atas hukum. Sehingga tidak bisa semata-mata Aswanto diberhentikan melalui proses politik formal di DPR secara sepihak.
Sekalipun apabila Aswanto dinilai melanggar KEPPHK maka penyelesaiannya haruslah dilakukan di Majelis Kehormatan MK. Oleh karenanya dapat dipahami bahwa pemberhentian Aswanto adalah tidak berdasarkan hukum dan merupakan kebijakan yang melawan hukum.
ADVERTISEMENT
Nalar Hukum yang Tidak Logis
Dalam pemberhentian Aswanto, logika hukum yang menjadi pertimbangan DPR jauh dari nalar akal sehat konstitusi. Perlu dipahami bahwa hakim-hakim MK yang diajukan oleh MA, DPR, dan Presiden tidaklah bertanggung jawab dan tunduk kepada ketiga lembaga tersebut. MA, DPR, dan Presiden hanya bertanggung jawab mengajukan hakim MK, bukan menganggap bahwa hakim-hakim MK harus tunduk dan mewakili kepentingan tiap lembaga pengusul tersebut dalam persidangan di MK.
Ketika hakim MK yang diusulkan tiap lembaga telah diangkat dan dilantik, maka hakim-hakim MK bekerja sebagai the guardian of constitution, bukan bekerja menuruti kehendak atau membela kepentingan para lembaga pengusul.
Apabila paradigma yang dibangun DPR bahwa hakim MK yang diajukan harus mewakili kepentingan DPR, maka sistem peradilan akan menjadi rusak dan MK bukan lagi menjadi lembaga untuk mencari keadilan, tetapi lembaga bertarung kepentingan.
ADVERTISEMENT
Dalam hal DPR menganggap bahwa pemberhentian Aswanto karena banyak menganulir UU yang dibentuk DPR bersama Presiden, maka semestinya DPR merefleksikan diri bahwa UU yang selama ini dibuat ternyata banyak yang tidak sejalan dengan kepentingan masyarakat dan bertentangan dengan konstitusi, bukan dengan mencopot Hakim MK yang telah diusulkan.
Bagaimana Dampaknya Terhadap Peradilan?
Berdasarkan Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945, kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menegakkan hukum dan keadilan. Dengan adanya kemerdekaan peradilan, maka hakim dalam mengadili perkara harus bersikap independen dan imparsial. Dengan adanya keharusan bersikap independen dan imparsial tersebut, maka lembaga peradilan–dalam hal ini MK–tidak boleh dicampuri dengan urusan lain yang akan memberikan dampak terhadap independensi dan imparsialitas.
ADVERTISEMENT
Dalam kacamata hukum, ketika DPR memberhentikanHakim MK sesuai dengan kemauannya sendiri maka hal tersebut bisa berdampak langsung pada sikap batin hakim-hakim MK yang tidak lagi mengedepankan independensi dan imparsialitas. Terlebih lagi keputusan pemberhentian dilakukan oleh DPR yang merupakan salah satu lembaga pengusul Hakim MK.
Dalam praktik di MK, DPR menjadi salah satu lembaga negara yang paling sering berperkara di MK dalam menghadapi judicial review yang diajukan masyarakat. Dengan demikian secara konstitusi terdapat tiga bentuk hubungan kausalitas antara MK dan DPR, yakni DPR berwenang membentuk UU bersama Presiden, MK menguji UU yang dibentuk DPR dan Presiden, dan tiga Hakim MK diajukan oleh DPR. Secara hukum konstruksi tersebut memang sangat dilematis serta sarat dengan berbagai kepentingan politik barter.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari kelemahan konstruksi hubungan kausalitas tersebut, dengan adanya kebijakan pemberhentian Aswanto bisa jadi akan menjadi kebiasaan buruk baru di masa mendatang. Hal tersebut tentu akan menimbulkan efek domino yakni lumpuhnya lembaga peradilan dan akan menutup ruang-ruang masyarakat pencari keadilan (justitiabelen).
Berdasarkan pandangan Penulis di atas, perlu dinyatakan secara tegas bahwa keputusan pemberhentian hakim MK Aswanto adalah bertentangan dengan UU dan logika hukum bernegara. Jangan sampai pencopotan Aswanto akan melahirkan praktik pemberhentian hakim-hakim yang lain karena dianggap tidak sejalan dengan kepentingan lembaga pengusul (MA, DPR, dan Presiden).
Apabila praktik politik kotor semacam ini terus dilakukan terhadap lembaga peradilan, bagaimana nasib masyarakat yang tertatih-tatih mencari keadilan di negeri sendiri kedepannya?
ADVERTISEMENT