Perebutan Hak Kuasa Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pertambangan

Endrianto Bayu Setiawan
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum FH UB, Peneliti Pusat Studi Hukum FH UB, dan Asisten Peneliti Pusat Riset Sistem Peradilan Pidana Universitas Brawijaya
Konten dari Pengguna
8 April 2024 15:09 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Endrianto Bayu Setiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Aktivitas pertambangan di Tumpang Pitu, Banyuwangi, Jawa Timur, yang berdampak buruk terhadap ekosistem lingkungan di wilayah laut dan pegunungan (Sumber: Dokumentasi Pribadi Penulis)
zoom-in-whitePerbesar
Aktivitas pertambangan di Tumpang Pitu, Banyuwangi, Jawa Timur, yang berdampak buruk terhadap ekosistem lingkungan di wilayah laut dan pegunungan (Sumber: Dokumentasi Pribadi Penulis)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bangsa Indonesia perlu bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas pemberian anugerah berupa sumber daya alam dengan jumlah yang sangat melimpah. Hampir semua jenis sumber daya alam yang bersifat strategis dan bernilai jual tinggi ada di Indonesia, mulai dari hasil perkebunan, pertanian, sumber daya laut, bahkan sumber daya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources) dan tidak diperbaharui (unrenewable resources) semuanya ada di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Belum lagi sumber daya alam yang berasal dari dalam perut bumi seperti bahan tambang mineral, batu bara, nikel, bauksit, minyak, dan gas bumi semuanya dimiliki Indonesia dengan jumlah yang melimpah. Oleh karena itulah bangsa Indonesia tidak hanya menjadi bangsa yang besar karena wilayahnya yang luas serta jumlah penduduk yang plural saja, melainkan juga menjadi bangsa besar karena nikmat Tuhan atas keragaman dan kekayaan sumber daya alam yang begitu luar biasa melimpah. Tentu tidak banyak negara-negara di dunia yang memiliki kekayaan sumber daya dalam sebanyak Indonesia.
Dibanding dengan kebanyakan negara-negara di dunia yang memiliki sumber daya alam terbatas, mestinya Indonesia dapat menjadi negara yang berdikari dan mandiri atas semua kekayaan sumber daya alam yang dimiliki. Mestinya pula, Indonesia bisa menjadi negara yang ‘berdaulat’ atas sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidup rakyat Indonesia serta mampu menjamin kesejahteraan mereka. Karena sejatinya Tuhan sudah memberikan ‘modal’ dengan nilai yang sangat besar. Oleh karena itulah kekayaan sumber daya alam itu harus dimanfaatkan dan dikelola secara optimal guna memberikan kesejahteraan seluruh rakyat secara adil.
ADVERTISEMENT
Untuk menjamin optimalisasi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam tersebut, hukum merupakan salah satu instrumen yang sangat penting dalam memastikan terpenuhinya hak-hak rakyat atas pengelolaan sumber daya alam secara berkeadilan yang dilakukan oleh negara. Mengapa harus rakyat? Sebab dalam kehidupan bernegara rakyat adalah entitas yang menjadi objek sekaligus subjek dari kesejahteraan. Sekalipun negara memiliki sumber daya alam melimpah tetapi rakyatnya sengsara maka kekayaan itu sesungguhnya menjadi tidak ternilai.
Projek Tambang dan Kriminalisasi Masyarakat
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, sumber daya pertambangan adalah salah satu kekayaan yang dimiliki Indonesia dengan jumlah yang melimpah. Apabila disebutkan, Indonesia merupakan negara dengan jumlah nikel terbanyak ketiga di tingkat global. Selain itu, Indonesia mencatatkan kontribusi sebesar 39% untuk produk emas, berada di posisi kedua setelah China.
ADVERTISEMENT
Indonesia juga termasuk negara dengan cadangan batu bara terbesar ketujuh di dunia, serta menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara penghasil minyak bumi terbesar di dunia dengan total produksi per hari mencapai 692 ribu barel. Apabila disebutkan lagi, tulisan singkat ini tentu tidak akan cukup untuk menjelaskan semua kekayaan sumber daya alam yang dimiliki Indonesia karena saking melimpahnya.
Semestinya, sumber daya tambang harus bisa meningkatkan perekonomian masyarakat serta mewujudkan kesejahteraan mereka, khususnya mereka yang hidup dan tinggal di wilayah pertambangan. Hal itu sejalan dengan dimensi filosofis pengelolaan sumber daya alam yang mesti mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai amanat Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 yang mengatur bahwa:
ADVERTISEMENT
Dalam UU No. 4 Tahun 2009 juncto UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara juga sudah ditegaskan bahwa masyarakat sudah dijamin untuk memperoleh perekonomian yang layak atas hasil usaha tambang yang dikelola, utamanya bagi masyarakat yang hidup di area tambang. Hal itulah yang dikenal dengan konsep Corporate Social Responsibility (CSR) atau pertanggung jawaban sosial korporasi selaku pemegang izin usaha pertambangan.
Untuk memastikan bahwa pengelolaan sumber daya tambang berdampak pada kemakmuran rakyat, tentu harus ada ‘persetujuan dari rakyat’, bukan hanya ‘persetujuan dari pemerintah’ saja. Karenanya rakyatlah yang akan merasakan dampaknya secara langsung atas aktivitas tambang yang ada di wilayah mereka.
Apabila rakyat menolak, maka semestinya pemerintah tidak memberikan izin usaha pertambangan kepada korporasi sebagai calon pengelola. Karena pada dasarnya rakyat sekitar wilayah tambanglah yang betul-betul tahu dan paham akan kebutuhan mereka, termasuk potensi bahaya yang akan mereka hadapi kelak. Oleh karenanya ‘persetujuan rakyat’ adalah entitas kunci yang tidak boleh diabaikan, apalagi dilawan.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi tujuan filosofis Pasal 33 UUD NRI 1945 nampaknya hanya sebagai law in the books saja, yang artinya kebijakan pemerintah banyak yang tidak sejalan dengan tujuan pengelolaan sumber daya alam sebagaimana digariskan konstitusi untuk mewujudkan kemakmuran rakyat. Dari sekian banyak permasalahan pengelolaan sumber daya alam, perlu diakui bahwa wilayah tambang adalah klaster yang paling banyak melahirkan konflik antara korporasi dan pemerintah versus rakyat.
Apabila rakyat tidak setuju dengan kebijakan pemerintah maka yang terjadi adalah kriminalisasi, mereka ditodong senjata, mereka berhadapan dengan polisi dan tentara, dan justru mereka yang menjadi korban atas kriminalisasi yang dilakukan negara. Padahal rakyat adalah ‘tuan’ atas sumber daya alam, mereka merawat dan menjaga supaya lingkungan mereka tidak dirusak oleh para penambang.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi ternyata negara lebih banyak berpihak kepada investor, pengusaha, dan korporasi yang jelas-jelas menjadi musuh rakyat. Kondisi tersebut betul-betul nyata karena terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia yang memperlihatkan bahwa rakyat berada pada kondisi rentan karena harus berhadapan dengan korporasi tambang dan pemerintah. Misalnya di Sangihe, Tumpang Pitu, Tambang Timah Bangka Barat, dan masih banyak lagi.
Tentu masih lekat diingatan mengenai kasus Wadas di Jawa Tengah, kriminalisasi Budi Pego di Banyuwangi, penolakan warga atas tambang di daerah Kendeng, konflik tambang nikel di Halmahera Timur, konflik pertambangan di Sangihe, dan masih banyak lagi. Lebih ironis lagi, data Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) pada tahun 2020 menunjukkan ada 45 konflik tambang yang mengakibatkan 69 orang mengalami kriminalisasi dan lebih dari 700.000 hektar lahan mengalami kerusakan.
ADVERTISEMENT
Kondisi itu menunjukkan bahwa area tambang rawan menimbulkan konflik. Tentu sebab dari konflik itu adalah rendahnya kebijakan perlindungan yang dilakukan pemerintah yang tidak pro rakyat. Padahal pemerintah memiliki peralatan yang lengkap untuk mampu memberikan perlindungan kepada rakyat.
Yang perlu di-highlight adalah, mengelola sumber daya alam dari sektor tambang tidaklah melanggar hukum. Akan tetapi pemerintah yang mengkriminalisasi rakyat penolak tambang maka dengan sendirinya pemerintah itu melanggar hukum dan pengelolaannya tentu tidak sejalan dengan yang diharapkan konstitusi. Padahal berbagai undang-undang mereka sendiri yang menciptakan, dan mereka sendiri yang melanggarnya. Kondisi ini tentu sangatlah ironis karena menunjukkan adanya ketidakberpihakan dari pemerintah terhadap rakyat.
Masalah Serius dan Membahayakan Rakyat
Mengelola sumber daya alam khususnya sektor tambang memang bukan perkara mudah, terlebih lagi sektor strategis wilayah pertambangan tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, baik di pulau besar, pulau kecil, dan pulau terluar. Akan tetapi, itulah tantangan mengelola sumber daya alam yang sangat besar dan kaya raya. Untuk memastikan pengelolaannya memberikan dampak positif bagi rakyat, tentu hukum harus dibuat dan ditegakkan secara bijak dan tidak boleh dimanipulasi untuk kepentingan korporasi semata atau bahkan oligarki.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana dituliskan oleh Rachmad Safa’at dalam bukunya berjudul “Advokasi dan Alternatif Penyelesaian Sengketa”, paradigma pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan pemerintah selama ini menimbulkan berbagai permasalahan, antara lain: semakin meningkatnya konflik, kerusakan lingkungan dan tingkat kemiskinan masyarakat yang belum berubah, serta mengabaikan sistem nilai, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat lokal. Hal itulah yang menjadi realitas kebijakan pengelolaan sumber daya tambang saat ini.
Masih banyaknya masyarakat miskin yang tinggal di wilayah tambang karena selama ini kebijakan pengelolaan itu belum memberikan dampak yang signifikan dalam mengangkat tingkat kesejahteraan masyararkat. Bukan kesejahteraan dan kemakmuran yang mereka dapatkan, justru kerugian dan ketidakadilan. Hal itu tergambar dari pengelolaan sumber daya tambang yang masih terjadi hingga saat ini.
ADVERTISEMENT
Tidak jarang, masyarakat adat juga mengalami dampak yang cukup serius. Mereka harus kehilangan tempat hidup yang selama ini mereka rawat dan menjadi korban atas kriminalisasi negara melalui aparatnya yang bertindak sewenang-wenang. Entah sudah ada berapa korban yang berjatuhan dan berapa yang masuk jeruji besi.
Yang jelas pengelolaan sumber daya tambang saat ini sedang tidak baik-baik saja. Ada permasalahan yang sangat kompleks dan berkepanjangan. Beragam regulasi yang dikeluarkan pemerintah juga belum mampu mengatasi masalah ini. Sampai-sampai isu terbaru menunjukkan bahwa penambangan timah ilegal di Bangka Belitung merugikan negara sampai 271 Triliun. Angka kerugian itu sangatlah fantastis dan dianggap sebagai kerugian terbesar negara akibat korupsi yang berasal dari tambang ilegal. Penambangan ilegal itu menunjukkan kebijakan tata kelola tambang di Indonesia masih sangat berantakan dan cenderung merugikan negara dan rakyat.
ADVERTISEMENT
Dalam menghadapi konflik sosial, konflik ekonomi, dan konflik keadilan dalam industri pertambangan, penting untuk mencari solusi yang tepat dan menguntungkan bagi semua pihak yang terlibat. Kerja sama antara pemerintah, perusahaan tambang, dan masyarakat (terutama masyarakat adat) sangat diperlukan untuk mencapai tujuan bersama dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup dan hak-hak masyarakat.
Selain itu, penanganan konflik sosial juga harus melibatkan pihak-pihak yang terkait, seperti perusahaan tambang, masyarakat adat, pemerintah, dan lembaga-lembaga yang terkait dengan masalah ini. Apabila konflik melibatkan korporasi maka harusnya negara mengambil posisi dominan untuk menyelesaikan konflik dan berpihak terhadap rakyat. Namun dalam praktiknya memang itu sulit dilakukan pemerintah karena orientasinya yang berkutat pada hitung-hitung ekonomi negara saja.
ADVERTISEMENT