Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Kontroversi Prosesi Wisuda bagi PAUD/SD/SMP/SMA, Siapa yang Salah?
3 Juli 2023 18:47 WIB
·
waktu baca 7 menitDiperbarui 3 Juli 2023 18:47 WIB
Tulisan dari Eneng Rahmi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kontroversi prosesi wisuda sedang hangat diperbincangkan. Sekitar bulan Mei hingga Juli ini, banyak sekali gedung pertemuan maupun hotel yang disewa untuk acara prosesi wisuda. Namun wisudawan bukanlah jenjang S1/S2/S3 melainkan para wisudawan cilik mulai dari tingkat PAUD, SD, SMP dan SMA.
ADVERTISEMENT
Demikian pula dengan status berbagai media sosial baik itu Whatsapp, Instagram, Facebook hingga tiktok diramaikan oleh status wisudawan. Para orang tua terlihat sangat bangga atas pencapaian anaknya, dan ini hal yang lumrah karena tidak ada orang tua yang akan tidak bangga atas pencapaian anaknya.
Dalam menjalankan kegiatan tersebut, hal mendasar yang menjadi kontroversi prosesi wisuda adalah permasalahan biaya. Acara tersebut tentunya memerlukan biaya yang tidak sedikit, apalagi jika prosesi itu dilaksanakan di hotel berbintang, resort atau gedung pertemuan.
Selain kebutuhan dana untuk lokasi prosesi, biaya lain yang perlu dikeluarkan adalah kostum anak baik bagi penampilan maupun kostum yang sifatnya dresscode berikut dengan aksesori dan makeup-nya. Tidak hanya kebutuhan anak, antusiasme orang tua juga terlihat dari dresscode yang digunakannya.
ADVERTISEMENT
Dalam acara tersebut terlihat bahwa ada banyak orang tua yang sengaja membeli baju seragam dengan orang tua lainnya untuk kepentingan acara tersebut. Secara ekonomi makro ini hal yang positif karena memutar roda perekonomian atas pembelanjaan baju dan perlengkapan kosmetik lainnya. Namun apakah hal ini tidak berlebihan?
Kontroversi atas prosesi wisuda dengan seluruh rangkaian acara pun mulai bergulir baik secara online di media sosial atau timbul gap antar orang tua sendiri. Sebagian orang tua menjawab ini demi kebahagiaan anak. Sebagian orang tua lainnya menjawab ini demi kebersamaan dan eksistensi. Tidak sedikit pula orang tua yang merasa keberatan atas kondisi tersebut.
Lalu siapakah yang patut disalahkan atas bergulirnya program prosesi wisuda? Apakah sekolah, komite sekolah, para siswa atau pihak lainnya?
ADVERTISEMENT
Disini saya sebagai orang tua yang mengalami 4 kali prosesi wisuda karena anak saya berada dalam seluruh jenjang pendidikan mulai dari TK, SD, SMP dan SMA. Hal ini merupakan sebuah kejadian yang luar biasa karena harus menyediakan biaya sekolah lanjutannya sekaligus harus menyisihkan biaya untuk prosesi wisuda.
Anak yang berada di TK akan melanjutkan ke SD. Demikian juga yang SD akan melanjutkan ke jenjang SMP. Untuk anak kedua yang berada di jenjang SMP akan melanjutkan ke SMA. Dan anak sulung yang berada di SMA juga melanjutkan ke perguruan tinggi.
Biaya dobel untuk prosesi wisuda, pembagian rapor khusus dan biaya pendaftaran yang dikeluarkan dinilai cukup besar. Jika dilihat dari proses kejadiannya mungkin ini adalah kesepakatan multipihak baik sekolah, komite, dan juga keinginan siswa bagi jenjang SMA.
ADVERTISEMENT
Kegaduhan demi kegaduhan di media sosial cukup menggelitik. Ungkapan emak-emak kepada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi untuk melarang prosesi wisuda. Demikian pula dengan tanggapan dari pihak kementerian, yang menyatakan bahwa prosesi wisuda diserahkan kepada sekolah dan komite.
Lantas siapakah yang menginginkan adanya prosesi wisuda jika orang tua murid melayangkan protes atas adanya acara tersebut? Apakah pihak sekolah memiliki kepentingan secara ekonomi atas penyelenggaraannya?
Reaksi Pihak Sekolah Terhadap Kontroversi Prosesi Wisuda
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap beberapa tingkatan sekolah, dapat disimpulkan bahwa pihak sekolah hanya berperan sebagai fasilitator. Beberapa keinginan adanya proses kegiatan akhir tahun dengan menampilkan karya seni timbul karena sebuah tradisi.
Namun prosesi wisuda merupakan sebuah ide yang muncul atas kesepakatan sekolah dengan komite sekolah. Dalam hal ini komite sekolah adalah perwakilan dari seluruh orang tua murid.
ADVERTISEMENT
Dari seluruh kejadian protes wisuda sekolah, nampaknya ada komunikasi yang kurang lancar antara pengurus komite dengan seluruh orang tua murid. Ada beberapa orang tua murid yang berkelompok dan memaksakan aspirasinya untuk disetujui oleh komite sekolah.
Ada juga orang tua murid yang sama sekali tidak tahu menahu tentang hasil rapat baik karena kesibukan maupun karena tidak ada informasi awal. Kondisi demikianlah yang menjadikan timbulnya ketidakpuasan orang tua murid atas penyelenggaraan prosesi wisuda.
Selain itu, untuk sekolah menengah di mana siswa sudah memiliki keinginan sehingga acara akhir tahun dan prosesi wisuda memang diinisiasi oleh siswa. Adapun keinginan tersebut menjadi ajang eksistensi dan pencapaiannya setelah berhasil melewati masa pembelajaran di bangku sekolah.
ADVERTISEMENT
Komunikasi yang kurang begitu lancar antara komite dengan seluruh orang tua murid atau antara siswa dengan orang tuanya memicu acanya konflik atas kegiatan tersebut. Selain itu, ada juga orang tua yang menyetujui dengan alasan rasa tidak enak jika tidak berpartisipasi atau mengikuti walaupun terpaksa.
Apakah Prosesi Wisudawan Cilik Ini Baru?
Prosesi ajang seni akhir tahun ajaran merupakan tradisi yang biasa dilakukan sejak lama. Ajang tersebut biasanya dilakukan di sekolah dengan menampilkan karya seni baik tarian, puisi maupun nyanyian. Pentas tersebut yang semula sederhana dan mengutamakan kepiawaian dalam menampilkan karyanya perlahan bergeser menjadi ajang eksistensi sosial.
Dahulu, anak yang benar-benar layak untuk tampil dan piawai dalam menari, memainkan alat musik atau menyanyi selalu ditampilkan dalam panggung pentas. Adapun pakaian yang digunakan oleh siswa relatif sederhana dan disesuaikan dengan tema cara. Sedangkan orang tua siswa hadir untuk menyaksikan acara tersebut tanpa adanya dresscode tertentu sehingga tampil natural.
ADVERTISEMENT
Kini pergeseran nilai tersebut telah terjadi, anak-anak tampil dengan kemampuan yang seadanya. Dalam beberapa acara anak penampilan anak yang kurang seperti tampil tapi tidak hafal tarian atau tampil bernyanyi dengan suara yang fals, namun berpenampilan kostum yang cukup wah.
Jadi di sini peran sekolah dalam membina anak masih kurang optimal. Kalau dikenal istilah, mengutamakan gaya daripada keterampilan. Dengan baju yang bagus namun penampilan keterampilan yang kurang cukup membuat penonton tidak terlalu menikmati acaranya, jika yang tampil itu bukan anaknya.
Secara psikologi, untuk anak generasi Z dan generasi alpha yang memiliki orang tua generasi X dan Y, dididik dengan pola asuh yang relatif manja. Penghargaan yang cenderung berlebihan, mengakibatkan usaha yang dikeluarkan pun tidak optimal. Hal ini cukup menggelitik di mana dengan pakaian sebagus itu namun penampilannya tidak optimal.
ADVERTISEMENT
Selain masalah tampilan, prosesi wisuda dan pentas akhir tahun ini juga cukup menjadi ajang eksistensi sosial orang tua. Dalam hal ini, dresscode yang digunakan ditetapkan oleh ketua dari masing-masing perwakilan komite kelas.
Ada juga orang tua yang menyelam sambil minum air yaitu orang tua yang memiliki bisnis pakaian dan aksesorinya turut serta mengambil peranan dalam kegiatan ini. Hal ini tidak menjadi masalah jika tidak ada pihak yang merasa keberatan.
Namun, pada kenyataannya budaya "tidak enakan" menyebabkan mau tidak mau suka tidak suka akhirnya seluruh orang tua mengikuti aturan ketua komite kelasnya. Dan akhirnya timbullah proses besar-besaran setelah terjadinya acara.
Solusi untuk Kontroversi Prosesi Wisuda Dini
Untuk menghindari hal tersebut, pihak kementerian pendidikan, kebudayaan, ristek dan teknologi pun sebaiknya itu mengambil peran karena hal ini tidak dapat diserahkan kepada pihak sekolah saja. S
ADVERTISEMENT
ama seperti halnya program wajib belajar 12 tahun yang meniadakan pungutan bagi sekolah negeri, sebaiknya prosesi wisuda dini untuk tingkat PAUD, SD, SMP, dan SMA pun ditiadakan. Namun untuk ajang eksistensi siswa perlu diadakan pentas akhir tahun dan diadakan di sekolah saja.
Pentas akhir tahun kelulusan memang hal yang memorial bagi para siswa dan juga orang tua. Untuk meningkatkan tingkat kenangan sehingga lebih berkesan ada baiknya pentas siswa dipersiapkan sebaik mungkin. Selain itu persiapan kostum juga harus dilakukan dengan rencana yang baik sehingga tidak menimbulkan biaya dadakan.
Untuk tempat pelaksanaan acara sebaiknya dilakukan di sekolah. Hal ini menjadi penting karena siswa siswi tersebut akan meninggalkan sekolah dan tidak lagi belajar di sekolah tersebut. Tentunya tidak ada salahnya dan menjadi sebuah keutamaan Ketika menampilkan hal terbaiknya di akhir waktu sekolahnya dengan tempat di sekolah.
ADVERTISEMENT
Selain itu jenis acara pentas sebaiknya lebih beragam dan tidak hanya pada acara seni karena seluruh anak tidak selalu memiliki bakat menyanyi, menari atau berpuisi. Sains juga merupakan seni jika dipahami, seperti merangkai tanaman dengan terrarium, hidroponik, menggambar luar angkasa, dan lainnya.
Demikian juga dengan kemampuan jurnalistik dan olahraga lainnya juga layak ditampilkan dalam pentas akhir tahun. Beragam jenis pelajaran yang menjadi unggulan siswa siswi dapat dijadikan bahan untuk pentas akhir tahun tanpa perlu mengeluarkan biaya yang besar.
Untuk itu menjadi tugas Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Ristek dan Teknologi untuk merumuskan pengembangan keahlian sesuai dengan kurikulum merdeka saat ini.
Selanjutnya, tugas sekolah dalam menetapkan hal prioritas untuk prosesi akhir tahun tanpa wisuda namun tetap meriah. Sedangkan komite sekolah adalah pihak paling penting untuk dikomunikasikan oleh sekolah mengenai arah pendidikan dan target akhir tahun yang lebih bermanfaat.
ADVERTISEMENT
Dengan pesta akhir tahun prosesi pelepasan siswa siswi diharapkan akan lebih membekas dengan prestasi dan keahlian masing-masing. Sederhana namun memiliki kenangan yang sangat mendalam bagi siswa, sekolah dan juga orang tua murid.