Perempuan dalam Pusaran Pelindungan WNI di Oman

Eneng Siti Sondari
Seorang ASN sekaligus diplomat. Tertarik pada olah raga tepok bulu (sebatas penikmat, bukan pelaku).
Konten dari Pengguna
18 Mei 2022 16:21 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Eneng Siti Sondari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Terkadang Tuhan mengajari umatnya dengan cara yang tidak disangka-sangka. Pun demikian halnya dengan yang saya alami, saat ditugaskan pada Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Muscat, Kesultanan Oman, pada tahun 2017 sampai 2020.
ADVERTISEMENT
Bertugas sebagai diplomat junior perempuan di negara dengan sebaran Warga Negara Indonesia (WNI) yang saat itu mencapai 13 ribu, merupakan tantangan tersendiri bagi saya. Menjadi diplomat perempuan saja merupakan hal yang harus dibayar dengan banyak pengorbanan. Risiko pasangan tidak diperbolehkan bekerja saat mendampingi tugas di luar negeri adalah yang terberat.
Belum lagi harus jauh dari keluarga, khususnya orang tua, yang pada usia lanjut tentu lebih membutuhkan kehadiran anak di dekat mereka. Apalagi menjadi diplomat perempuan yang ditugaskan untuk misi pelindungan WNI di Timur Tengah, yang mayoritas pekerjaannya masih dilakukan oleh diplomat laki-laki. Tantangannya tentu terasa lebih berat.
Namun, Tuhan memang Maha Baik. Segala tantangan itu ternyata menjadi pembelajaran yang sangat berharga bagi saya.
Menyampaikan bantuan bahan makanan bagi ABK WNI yang terlantar di perairan Oman. Foto: Dokumentasi KBRI Muscat

Semua Demi Keluarga

Layaknya di negara-negara lain di Timur Tengah, WNI di Oman didominasi oleh WNI pekerja sektor domestik yang jumlahnya mencapai hampir 80% dari total WNI di Oman. Sementara sisanya adalah pekerja di sektor perhotelan, perminyakan, konstruksi, perkapalan, dan lain-lain. Dengan demografi WNI seperti ini, maka tak heran jika objek pelindungan WNI di Oman kebanyakan adalah perempuan paruh baya. Mereka rela meninggalkan kampung halaman, terpisah dari keluarga, dengan harapan mendapatkan hidup yang lebih baik untuk kesejahteraan keluarganya masing-masing.
ADVERTISEMENT
Saat pandemi melanda dan Oman mulai menerapkan pembatasan kegiatan masyarakat, maka mereka yang bekerja di sektor domestik pun tak lepas dari dampaknya. Yang paling terdampak adalah mereka yang bekerja paruh waktu, tidak tinggal di rumah majikan dan yang bekerja pada perusahaan cleaning service. Selain berkurangnya sumber pendapatan, pembatasan kegiatan juga telah mengurangi ruang gerak mereka sehingga kesulitan mengakses barang-barang kebutuhan pokok.
Merespons hal tersebut, sejak awal pandemi, KBRI Muscat telah menyalurkan bantuan sembako bagi mereka yang membutuhkan. WNI cukup mengirimkan pesan ke nomor hotline dan mengisi formulir data. Selanjutnya, tim KBRI akan mengantarkan paket sembako berisi makanan dan kebutuhan pokok lainnya sesuai alamat yang tercantum pada formulir data. Diaspora Indonesia di Oman juga ikut berperan aktif, bahu-membahu membantu KBRI melaksanakan program tersebut.
ADVERTISEMENT
Salah satu permohonan yang masuk berasal dari Narti, bukan nama sebenarnya, WNI yang tinggal di wilayah Ghoubrah. Saat tim KBRI menuju ke lokasi yang ia bagikan melalui pesan whatsapp, kami sempat kebingungan karena titik lokasi tersebut mengarah pada sebuah gedung sekolah yang jauh dari keramaian. Gedung itu kira-kira berjarak 2 km dari rumah penduduk terdekat. Karena curiga salah lokasi, kami pun menelepon Narti. Ternyata betul, Narti tinggal di gedung sekolah tersebut. Ia bekerja sebagai petugas cleaning service di sana sejak enam tahun lalu. Ia diminta perusahaannya untuk tinggal di sana bersama seorang petugas lain asal Bangladesh, selama libur panjang musim panas.
Sambil meminta temannya yang orang Bangladesh tersebut menggotong paket sembako, Narti bercerita selain gaji sebesar OMR 150 (1 OMR kira-kira setara dengan Rp 37.000) per bulan, ia juga diberikan makanan pokok seharga OMR 10 per minggu. Namun, belakangan, karena pembatasan kegiatan semakin ketat, pihak perusahaan tidak bisa datang mengantarkan bahan makanan tiap minggu secara rutin.
ADVERTISEMENT
Ia juga hampir tidak mungkin membeli sendiri kebutuhannya ke supermarket terdekat karena akses transportasi yang sulit dan mahal. Taksi jarang melintasi wilayah tersebut. Sementara berjalan kaki dalam kondisi panas terik ke supermarket terdekat dengan jarak ± 8 km pun dirasa tidak mungkin. Ia juga mengeluhkan sikap perusahaan yang tidak teratur dalam membayarkan gajinya selama pandemi.
Saat ditanya, apakah dengan kondisi tersebut ia berkeinginan untuk berhenti kerja dan pulang ke Indonesia, Narti menjawab, “Saya masih ada orang tua di kampung yang sakit-sakitan. Kalau berhenti kerja, siapa yang akan tanggung biaya pengobatan orang tua saya?”, ungkapnya. Bagi Narti, bekerja di tengah pandemi dan kekhawatiran gaji yang tidak dibayar, jauh lebih baik selama masih ada harapan menghasilkan uang, daripada pulang ke Indonesia tanpa kepastian pekerjaan. Ia bertekad untuk terus bekerja meskipun ada rasa khawatir terjangkit Covid-19.
Muttrah, Kesultanan Oman. Foto: Dokumentasi pribadi
Hal ini mengingatkan saya pada sosok seorang WNI pekerja domestik yang sudah sepuh yang pernah saya temui di suatu sore di Muttrah pertengahan 2019. Usianya 56 tahun, sedikit lebih muda dari ibu saya. Tangannya sudah keriput, meskipun secara fisik, ia terlihat masih sehat. Saya tergelitik untuk bertanya kepadanya tentang mengapa ia masih bertahan untuk bekerja di Oman meskipun sudah lanjut usia. Ia menjawab, “Saya mah Bu, kalau ngga ingat masih punya anak bungsu yang masih kuliah, mungkin udah pulang sejak dua tahun lalu. Anak bungsu saya sedang kuliah ambil perhotelan, Bu. Udah ngga kuat kerja berat-berat sebetulnya. Tapi kalau ingat si bungsu, saya serasa lupa kalau saya sudah tua.”
ADVERTISEMENT
Saya takjub mendengar jawabannya. Tak terbayang seorang perempuan yang seharusnya sudah menikmati usia pensiun, masih bersemangat untuk bekerja fisik, demi masa depan anaknya. Saya pun menyarankan agar ia mempertimbangkan kondisi kesehatannya dan berhenti bekerja jika kondisi sudah memungkinkan.
Lain cerita dengan Lala, bukan nama sebenarnya. Ia adalah seorang WNI pekerja domestik yang kabur dari majikan dan overstay di Oman. Ia datang menyerahkan diri ke KBRI Muscat bersama anaknya, Ibul, yang berusia lima tahun, untuk meminta bantuan proses pemulangan ke Indonesia. Ia mengaku merasa berat untuk berhenti kerja di Oman meskipun statusnya overstay karena gaji yang ia terima saat itu sudah di atas rata-rata gaji kebanyakan pekerja domestik lainnya. Tetapi, ia ingin agar Ibul dapat bersekolah karena tidak mungkin untuk bersekolah di Oman dengan statusnya yang ilegal. Oleh karenanya, ia membulatkan tekad untuk kembali ke Indonesia dan mencari sumber penghidupan lain, meski tanpa jaminan kepastian.
ADVERTISEMENT
Mirisnya, Ibul belum pernah bertemu ayah kandungnya sejak lahir. Meskipun begitu, Ibul tergolong anak yang cerdas. Ia bisa bicara tiga bahasa: Indonesia, Arab dan Inggris. Selama kurang lebih sebulan tinggal di shelter KBRI Muscat, ia juga telah mencuri perhatian semua orang karena tingkah manis dan lucunya. Maka, ketika ia dan ibunya berhasil dipulangkan bulan Agustus 2018 lalu, ada perasaan lega sekaligus kehilangan mendengar Ibul, ibu dan boneka macannya sudah tiba kembali di Jakarta dengan selamat. Pasti sangat berat bagi Lala untuk memulai hidup baru di Indonesia. Namun, ia meyakinkan diri bahwa pendidikan anaknya adalah yang utama.
Lala dan Ibul tiba di Jakarta dengan selamat. Foto: Dokumentasi KBRI Muscat

Kasih Ibu Sepanjang Masa

Kasus berikut adalah salah satu yang paling berkesan bagi saya. Sebutlah namanya Suniati, bukan nama sebenarnya. Pagi itu sekitar jam tujuh, saya mendapat panggilan telepon dari nomor tak dikenal di Indonesia. Rupanya itu adalah panggilan kedua, setelah yang pertama tidak terangkat. Saat diangkat, terdengarlah Suniati berbicara dari seberang telepon. Ia adalah eks WNI pekerja sektor domestik yang kabur dari majikannya hingga overstay dan menderita gangguan jiwa. Waktu itu kami menerima laporan mengenai Suniati dari Kementerian Ketenagakerjaan Oman.
ADVERTISEMENT
Sejak Oktober 2017, dengan bantuan KBRI Muscat, ia dirawat di sebuah rumah sakit jiwa di Oman. Namun, tidak seperti kebanyakan pasien psikiatri di bangsal yang sama dengannya, Suniati cenderung pendiam, tenang, lebih berwawasan dan memiliki kesadaran yang tinggi terhadap dokumen-dokumen pribadinya.
Misalnya, ia mengingat alamat kampung halamannya dengan baik serta menyimpan fotokopi semua dokumen tanda pengenal, surat-surat penting dan kartu nama orang-orang yang ia kenal. Kesadaran terhadap dokumen ini tergolong hal yang cukup langka ditemukan pada rata-rata WNI pekerja sektor domestik. Di lapangan, KBRI sering menemukan WNI yang jangankan nomor paspor, nama lengkap sendiri sesuai yang tercantum pada paspor saja tidak hafal.
Pemulangan WNI yang sakit keras bekerjasama dengan Kepolisian dan Kementerian Ketenagakerjaan Oman. Foto: Dokumentasi KBRI Muscat.
Hal yang aneh dari Suniati adalah pembicaraannya yang sering tidak logis dan tidak konsisten. Misalnya, hari ini ia mengaku sebagai seorang janda. Besok ia mengaku masih memiliki suami sah. Lusa ia mengaku sudah ditalak. Sempat juga ia mengaku sebagai Warga Negara Oman asli yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Sultan Qaboos, Sultan Oman pada saat itu. Ia juga pernah mengaku bahwa suaminya adalah mantan Perdana Menteri Malaysia. Bahkan, ia juga pernah berhalusinasi hingga jatuh pingsan karena mengaku melihat sosok besar berwarna hitam yang hendak menangkapnya.
ADVERTISEMENT
Satu hal yang konsisten dari pengakuannya adalah bahwa ia memiliki seorang anak laki-laki yang terpisah dengannya di Oman. Ia juga menyimpan dengan baik foto anaknya yang ia akui masih berada di Oman tersebut.
Singkat cerita, setelah dirawat selama tiga bulan, kondisi Suniati sudah mulai membaik meskipun belum sembuh total. Dokter menyatakan ia sudah bisa dipulangkan ke Indonesia, dengan syarat ia harus melanjutkan pengobatannya di sana. Ia pun berhasil dipulangkan pada bulan Januari 2018 lalu. Itupun setelah keberadaan keluarganya di Indonesia berhasil kami lacak, karena ia kehilangan seluruh nomor telepon keluarganya di telepon genggamnya.
Pagi itu, dengan semringah ia mengabarkan melalui telepon bahwa ia sudah sampai dan berkumpul dengan keluarganya di kampung halaman. Belum sampai satu menit, telepon terputus. Saya pun menelepon balik. Rupanya pulsanya habis. Selain berterimakasih, ia menitip pesan agar teman-temannya di shelter KBRI Muscat dibantu diurus kepulangannya.
ADVERTISEMENT
Di akhir pembicaraan, ia berpesan agar KBRI Muscat terus mencari keberadaan anaknya di Oman dan memulangkannya ke Indonesia. Seketika, tenggorokan saya tercekat, tidak sanggup berbicara karena saya tahu itu mustahil. Seminggu sebelum dipulangkan, kami berhasil menghubungi aparat desa tempat Suniati tinggal. Dari situ, jelaslah kisah hidupnya. Semua hal yang dikatakan Suniati boleh jadi adalah halusinasi, kecuali tentang anaknya. Rupanya anaknya sudah lama meninggal di Indonesia ketika berusia 13 tahun, saat Suniati bekerja di Oman. Setelah jeda hening yang cukup lama, saya pun menjawab, “Insyaallah Bu. Yang penting Ibu sehat di sana ya.”

Dari Mereka Saya Belajar

Kisah mereka mengingatkan saya tentang ketangguhan. Yaitu agar terus berjuang dan tidak mudah menyerah. Mereka adalah bukti bahwa perempuan bisa menjawab tantangan dengan tekad dan kasih sayang.
ADVERTISEMENT
Dari pengalaman-pengalaman tersebut saya belajar, bahwa esensi bekerja bukanlah melulu soal mengejar materi. Tetapi juga tentang pengorbanan untuk orang-orang yang terkasih, tentang kepuasan karena dapat membantu sesama dan tentang beribadah untuk mendapatkan ridho-Nya. Maka, bersyukurlah. Bahagiakanlah orang tua dan keluarga kita selagi kita dan mereka masih ada.