Konten dari Pengguna

Pendidikan Perempuan di Papua

Engellia, SST
Statistisi Ahli Muda Fungsi Statistik Sosial BPS Kabupaten Mimika Provinsi Papua
1 Februari 2022 21:27 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Engellia, SST tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kampung Poumako Distrik Mimika Timur Kabupaten Mimika Provinsi Papua. Foto: Engellia
zoom-in-whitePerbesar
Kampung Poumako Distrik Mimika Timur Kabupaten Mimika Provinsi Papua. Foto: Engellia
ADVERTISEMENT
Pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia memiliki lima sila dan empat di antaranya menggambarkan mengenai pembangunan kehidupan warga negara Indonesia yang adil, beradab, bersatu, hingga pada keadilan bagi seluruh rakyat.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut tentu juga berhubungan pada keadilan serta kesetaraan bagi semua gender. Dan pada UUD 1945 juga termuat ketentuan dasar mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) atas kehidupan dan kemerdekaan dari perlakuan yang bersifat diskriminatif. Hal ini juga sejalan dengan salah satu agenda SDGs (Sustainable Development Goals) yang telah disepakati oleh seluruh negara anggota PBB, yaitu mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan dan anak perempuan.
Begitupun provinsi Papua. Provinsi juga berusaha dalam membantu mewujudkan harapan tersebut. Bila kita lihat penduduk perempuan hasil sensus penduduk tahun 2020 di provinsi Papua, yaitu sebesar 46,68 persen, yang artinya hampir setengah penduduk Papua merupakan perempuan yang punya peran dalam mewujudkan Papua yang lebih maju.
Dalam mencapai kemajuan Papua tentu tidak lepas dari dunia pendidikan. Dengan adanya ilmu pengetahuan yang luas maka dapat dilakukan berbagai inovasi yang tepat, yaitu dari, oleh, dan bagi masyarakat Papua.
ADVERTISEMENT
Dalam berbagai jurnal nasional dihasilkan kesimpulan bahwa makin tinggi pendidikan perempuan (ibu), maka dapat menurunkan tingkat kematian bayi, menurunkan angka stunting, meningkatkan tingkat kesehatan bayi, membantu pembangunan dalam berbagai bidang, dan lain sebagainya. Hal ini dapat terjadi karena pendidikan bukan hanya kewajiban formal tapi juga membentuk pola pikir kritis seseorang.
Kondisi Pendidikan Perempuan di Papua
Indeks Pembangunan Gender (IPG) Provinsi Papua tahun 2020 sebesar 79,59 persen atau mengalami penurunan sebesar 0,46 persen dari tahun sebelumnya. Hal ini berarti terdapat perbedaan yang semakin besar pada pembangunan manusia antara perempuan dan laki-laki di Papua. Bila kita secara lebih mendalam, salah satu penentuan angka IPG dapat dilihat pada bidang pendidikan.
Salah satu dasar pendidikan adalah dapat membaca dan menulis huruf abjad. Adapun untuk melihat hal tersebut berdasarkan indikator Angka Melek Huruf (AMH).
ADVERTISEMENT
AMH perempuan di Papua tahun 2020 hanya sebesar 72,66 persen. Nilai ini masih jauh di bawah angka nasional yang sudah mencapai 94,55 persen. Salah satu penyebabnya adalah wilayah Papua yang masih termasuk dalam kategori 3 T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Sehingga mengakibatkan sulitnya pencapaian akses pendidikan dan pemenuhan tenaga pendidik pada wilayah-wilayah tersebut. Bahkan, bila kita melihat sampai tingkat kabupaten masih terdapat 5 kabupaten yang memiliki AMH penduduk perempuan di bawah 50 persen.
Kemudian, pada indikator ijazah pendidikan tertinggi yang dimiliki pada kategori SD dan SMP, perempuan Papua mempunyai persentase yang lebih tinggi, yaitu sebesar 65,90 persen dari penduduk laki-laki sebesar 60,89 persen pada kategori yang sama. Tentu hal ini bukanlah sesuatu yang baik, sebab angka ini menjelaskan bahwa penduduk perempuan lebih banyak yang tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
ADVERTISEMENT
Sebab Akibat Rendahnya Pendidikan Perempuan di Papua
Salah satu penyebabnya adalah tingkat kemiskinan Papua yang masih tertinggi di Indonesia yaitu mencapai 26,86 persen pada Maret 2021 dan karena mengalami peningkatan persentase penduduk miskin dari tahun 2020 yang sebesar 26,64 persen.
Sehingga, hal tersebut mengakibatkan tingginya angka putus sekolah penduduk perempuan karena perempuan hanya diharapkan membantu keluarganya dalam membantu pekerjaan rumah tangga atau membantu orang tua bekerja, seperti pada sektor pertanian. Hal tersebut sejalan karena lebih dari setengah penduduk Papua masih mengandalkan sektor pertanian sebagai lapangan pekerjaan utama.
Adapun hal lainnya yang menjadi penyebab rendahnya tingkat pendidikan perempuan di Papua adalah tingginya tingkat perkawinan perempuan di bawah umur.
Berdasarkan data BPS Provinsi Papua terdapat 51,20 persen penduduk perempuan yang melangsungkan pernikahan pertama sebelum genap berusia 21 tahun. Hal ini bertentangan dengan kampanye dari BKKBN yang menganjurkan usia perkawinan pertama di atas 21 tahun. Dan juga terdapat 7 persen penduduk perempuan mengalami perceraian baik cerai hidup maupun cerai mati. Akibat dari pernikahan pada usia yang cukup muda tentu saja belum matang secara tingkat kesehatan dan psikologis.
ADVERTISEMENT
Hal ini berakibat pada umur hamil pertama perempuan di Papua sebelum berumur 21 tahun sebesar 43,11 persen. Hal ini tentu sangat berakibat pada bidang kesehatan, di mana permasalahan gizi di Papua untuk status gizi kurang (6,2 persen) dan status gizi buruk (2,8 persen). Angka tersebut di bawah angka nasional yang hanya gizi kurang (4,3 persen) dan gizi buruk (1,1 persen). Serta angka bayi stunting di Papua cukup besar yaitu 11,9 persen di mana batas maksimal WHO adalah 20 persen.
Pemerintah pusat hingga daerah sudah berusaha dalam mewujudkan kesetaraan gender dari segala bidang dengan berbagai instrumen yuridis, walaupun belum terlihat hasilnya secara maksimal tapi sudah ada gerakan dalam mencapai hal tersebut.
ADVERTISEMENT
Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah dengan melibatkan perempuan pada berbagai posisi strategis baik ekonomi, politis dan lainnya. Sehingga dapat mengubah paradigma terkait perempuan.
Untuk dapat mewujudkannya perlu peningkatan akses perempuan di bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, politik dan berbagai bidang lainnya. Dan juga perlu adanya diseminasi informasi kepada masyarakat luas karena ketidaksetaraan gender ini dapat dilakukan oleh negara, masyarakat bahkan lingkaran terkecil seperti keluarga.