Tantangan Pemerataan Investasi Setelah Omnibus Law

Enggar Paskhalis Lahu
Mahasiswa MPKP UI
Konten dari Pengguna
17 Desember 2020 11:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Enggar Paskhalis Lahu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tantangan Pemerataan Investasi Setelah Omnibus Law
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dengan disahkannya Undang-undang Omnibus Law, Indonesia akan memasuki babak baru perjuangan menjemput cita-cita menjadi negara high income pada 2045. Beleid ini digadang-gadang mampu mengakselerasi pertumbuhan ekonomi Indonesia melalui kemudahan investasi dan berusaha. Selama ini investor enggan masuk karena dihantui ketidakpastian dan mahalnya biaya masuk. Penyebabnya adalah korupsi, birokrasi yang berbelit, dan produktivitas yang rendah. Ukurannya dapat terlihat dari nilai ICOR (incremental capital ouput ratio) yang terus meningkat dalam sepuluh tahun terakhir dan relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan negara di ASEAN. Tercatat nilai ICOR Indonesia saat ini bernilai enam, sedangkan rata-rata ICOR di ASEAN hanya bernilai empat. Ini menjadi sinyal negatif bagi investor asing yang ingin menanamkan modal di Indonesia. Karena untuk memproduksi satu output saja dibutuhkan enam kapital, sedangkan di negara lain hanya membutuhkan empat. Dari indeks kemudahan bisnis (Ease of Doing Business), data World Bank pada tahun 2020, menunjukkan Indonesia berada di peringkat tujuh puluh tiga. Walaupun peringkat ini terus mengalami perbaikan, tapi posisi kita masih berada di bawah Singapore, Malaysia, Thailand dan Vietnam. Artinya, dari kedua indikator tersebut negara kita masih kalah bersaing di mata para investor. Kehadiran Omnibus Law diharapkan akan mampu mendongkrak daya saing Indonesia. Pada level regional, tentunya ini menjadi angin segar bagi daerah-daerah yang selama ini masih sepi investasi. Aturan yang selama ini menyulitkan investasi masuk ke daerah akan dibuat lebih ramping dan pasti. Tumpang tindih aturan antara pemerintah pusat dan daerah diselaraskan dalam undang-undang ini. Harapannya, tidak ada lagi terdengar kabar gagalnya realisasi investasi masuk ke daerah karena terbentur birokrasi. Sebaliknya, kondisi yang diharapkan adalah penanaman modal akan semakin deras mengalir ke daerah-daerah, sehingga kesenjangan investasi antar wilayah dapat diatasi melalui penyatuan aturan ini.
ADVERTISEMENT
Namun bersamaan dengan itu, pekerjaan besar juga sedang membuntuti. Keran investasi yang semakin terbuka perlu diarahkan alirannya. Jangan sampai investasi yang masuk justru semakin terkonsentrasi di pulau Jawa saja. Sedangkan wilayah luar Jawa tidak mendapat porsi yang seimbang. Jika ini diabaikan, bukan tidak mungkin jurang ketimpangan ekonomi antar wilayah akan semakin lebar setelah bergulirnya Omnibus Law. Rilis data dari BKPM menunjukkan pada tahun 2019 investasi yang masuk ke wilayah Jawa sebesar 55%, disusul Sumatera 18,9%, Kalimantan 10,54%, Sulawesi 8,12%, Maluku & Papua 4,14% dan Bali & NTT 3,34 %. Data tersebut menyiratkan ada jurang yang sangat besar antara Jawa dan luar Jawa dalam menyerap investasi, di mana lebih dari setengah keseluruhan investasi yang masuk sepanjang tahun 2019 terpusat di wilayah Jawa. Oleh karena itu tugas pemerintah selanjutnya bukan hanya sebatas menghadirkan investasi sebanyak-banyaknya tapi terutama bagaimana mengatur aliran investasi tersebut agar merata ke seluruh wilayah Indonesia.
ADVERTISEMENT
Tentunya ini bukan pekerjaan mudah. Banyak faktor multidimensi yang terkait di dalamnya dan beberapa di antaranya perlu menjadi fokus pemerintah dalam upaya pemerataan investasi. Salah satunya adalah memastikan kesiapan daerah itu sendiri karena pada dasarnya, investor akan memilih lokasi yang dapat memberikan keuntungan terbesar bagi usahanya. Para ekonom mengklasifikasikan faktor lokasi yang secara signifikan dipertimbangkan oleh perusahaan dalam menempatkan investasi terdiri dari akses bahan baku, upah tenaga kerja, dan akses pasar. Salah satu artikel menarik yang ditulis oleh Omar (2016), menunjukkan bagaimana ketiga faktor ini berperan dalam pemerataan distribusi investasi di China. Sejak kebijakan “open-door” digulirkan pemerintah China, aliran investasi yang masuk hanya terpusat di wilayah khusus yang disediakan oleh pemerintah. Dampaknya, terjadi ketimpangan investasi antar daerah. Namun kemudian terjadi perpindahan dan peningkatan investasi ke daerah-daerah luar zona khusus seiring dengan peningkatan harga lahan dan kebijakan pemerintah yang fokus pada peningkatan kualitas infrastruktur serta sumber daya manusia. Investor memilih daerah yang mampu menyediakan tenaga kerja dengan produktivitas tinggi. Upah yang tinggi dapat dikompensasi dengan produktivitas dan efisiensi biaya logistik. Didapati juga bahwa investor pada sektor manufaktur cenderung menempatkan lokasi perusahaan pada wilayah dengan aglomerasi ekonomi yang akan membantu perusahaan memenuhi kebutuhan produksi serta akses pada pasar lebih mudah dan murah.
ADVERTISEMENT
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Akankah aliran investasi bisa lebih merata ke daerah-daerah luar Jawa setelah Omnibus Law bergulir? Strategi dan kebijakan apa yang perlu diambil? Di sini ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama, kondisi yang terjadi saat ini adalah perekonomian Indonesia berpusat di wilayah Jawa. Jumlah populasi Jawa adalah 57,5 % dari jumlah total penduduk Indonesia. Setidaknya ini menjadi daya tarik pasar yang kuat bagi investor untuk menanamkan modal. Aglomerasi ekonomi yang terbentuk di wilayah Jawa juga memiliki eksternalitas yang lebih besar di banding wilayah luar Jawa. Sebut saja Jabodetabek dan Gerbangkertosuila, yang secara ukuran dan keberagaman industri lebih besar dibandingkan wilayah lain. Demikian juga bagi industri manufaktur padat karya, wilayah Jawa sangat menguntungkan karena ketersediaan tenaga kerja yang berlimpah dengan upah yang relatif lebih rendah tapi dengan produktivitas yang lebih tinggi dibanding wilayah lain.
ADVERTISEMENT
Kemudian dari sisi infrastruktur, kondisi di Jawa juga jauh lebih unggul dibanding wilayah lain diluar Jawa. Infrastuktur transportasi di wilayah luar Jawa yang tidak memadai dan terintegrasi menyebabkan biaya logistik menjadi tidak efisien. Ditambah lagi pemadaman listrik di wilayah luar Jawa masih menjadi hal yang lumrah terjadi. Ini yang menyebabkan biaya distribusi dan operasional di wilayah luar Jawa bisa menjadi lebih mahal sehingga investor harus berpikir dua kali untuk berinvestasi di luar Jawa. Satu-satunya daya tawar daerah yang menarik bagi investor adalah potensi sumber daya alam yang dimiliki. Dalam kasus ini, investor memilih lokasi perusahaan murni karena faktor kedekatan dengan sumber bahan baku misalnya keberadaan PT. Freeport di Papua dan PT. Newmont di NTB.
ADVERTISEMENT
Kedua, belajar dari kisah China, kita harus mempersiapkan fasilitas memadai di daerah agar investasi terdistribusi merata. Prinsipnya adalah wadah penampungan harus dipersiapkan terlebih dahulu kemudian aliran investasi dapat tertampung dengan baik. Pembangunan infrastruktur adalah wajib karena ini terkait langsung dengan proses produksi, distribusi, dan pemasaran. Pembangunan infrastuktur yang saat ini masif dilakukan di daerah-daerah sudah menjadi langkah yang tepat sebagai penunjang efisiensi dan perekat konektivitas antar daerah. Tapi ini harus diselaraskan dengan pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas dan terampil. Infrastruktur sosial seperti pendidikan, kesehatan, dan jaminan sosial bagi masyarakat juga harus dijamin oleh pemerintah.
Ketiga, kekayaan sumber daya alam dan keberagaman potensi wilayah harus dijadikan basis kekuatan daerah untuk menarik minat investasi. Daerah harus didorong agar mampu secara mandiri memberdayakan masyarakat lokal untuk memanfaatkan potensi daerah agar tercipta spesialisasi. Kuncinya adalah bagaimana daerah dapat bertumbuh melalui inovasi dari masyarakat lokal. Ini sejalan dengan konsep TIM (Territorial Innovation Model) yang dikembangkan beberapa ekonom. Daerah pinggiran tidak lagi bergantung sepenuhnya pada daerah pusat untuk meningkatkan pertumbuhan. Apalagi di era kemajuan teknologi yang pesat dan tanpa sekat, besar kemungkinan lahir terobosan-terobosan baru dari daerah. Dari sini, daerah yang berdekatan dapat saling komplementer. Sehingga perlahan akan terbentuk aglomerasi ekonomi seiring dengan peningkatan nilai ekonomi antar daerah yang berdekatan. Aglomerasi ekonomi ini yang kemudian menjadi insentif bagi investor untuk masuk ke satu wilayah.
ADVERTISEMENT
Keempat, pemerintah perlu melakukan pemetaan terhadap investasi yang akan masuk dan memprioritaskan penanaman modal di wilayah-wilayah potensial luar Jawa. Wilayah seperti Sumatera dan Kalimantan misalnya, memiliki potensi untuk pengembangan industri teknologi dan kesehatan. Kedua industri saat ini memiliki pertumbuhan yang paling signifikan namun kemampuan kita masih minim untuk memenuhi permintaan sehingga untuk sektor kesehatan sendiri harus membelanjakan lebih dari Rp 7 triliun setiap tahunnya untuk mendapatkan alat kesehatan dan layanan jasa kesehatan berkualitas. Dengan letak wilayah yang strategis dan potensi sumber daya manusia yang dimiliki, pemerintah dapat memprioritaskan wilayah-wilayah ini untuk ditempati. Demikian pula jika dilihat dari perkembangan global saat ini di mana industri baru mulai bermunculan dari sektor energi terbarukan juga memberi peluang bagi wilayah luar Jawa khususnya bagian Indonesia timur karena input yang dibutuhkan untuk industri ini berada di wilayah-wilayah tersebut. Misalnya pusat energi panas bumi yang terbesar berada di Sulawesi Utara, energi angin berada di Sulawesi Selatan, NTT, dan Maluku. Sedangkan industri battery yang sedang ramai dibicarakan sumbernya berada di Morowali, Halmahera, dan Papua. Dari faktor lokasi, industri-industri ini hampir pasti akan ditempatkan di lokasi yang berdekatan dengan bahan baku. Sehingga ini berpotensi menciptakan kutub pertumbuhan baru di wilayah Indonesia timur jika dapat direalisasikan. Dengan keseriusan dan kesigapan pemerintah, bukan tidak mungkin, Indonesia dapat menjelma menjadi negara pusat industri energi terbarukan. Tentunya ini menjadi daya tawar menarik di mata dunia saat semua sedang berusaha beralih ke konsep green economy. Disini peran pemerintah pusat sebagai fasilitator harus bisa mengarahkan penempatan investasi dengan proporsional bersamaan dengan kemampuan pemerintah daerah menciptakan iklim investasi yang baik di wilayahnya.
ADVERTISEMENT
Ke depan, tantangan pemerataan investasi akan semakin berat. Tanpa perencanaan dan kebijakan yang tepat, Omnibus Law justru bisa memperburuk masalah ketimpangan serta menghambat target capaian Indonesia emas 2045. Beberapa poin di atas diharapkan dapat memberikan sedikit gambaran dalam mewujudkan pemerataan investasi di Indonesia.