Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Sorot Banjir Ibu Kota: Strategi Politik atau Kebijakan yang Tidak Logis?
27 Februari 2021 17:47 WIB
Tulisan dari Ennike Rahayu Lestari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bencana banjir di pengawal tahun sudah menjadi sebuah tradisi yang tiada berhenti, curah hujan yang tinggi hingga ekstrem sering mengakibatkan banjir di Ibukota dan parahnya hingga menelan korban jiwa.
ADVERTISEMENT
Menurut kepala BMKG ada empat faktor yang membuat curah hujan ekstrem; seruakan udara pada tanggal 18-19 Februari 2021 dari Asia yang cukup signifikan dan mengakibatkan peningkatan awan hujan di Indonesia bagian barat.
Kedua, adanya aktivitas gangguan atmosfer di zona ekuator. Ketiga, adanya tingkat labilitas dan tingkat kebasahan udara di sebagian besar wilayah Jawa bagian barat yang cukup tinggi, dan hal ini mengakibatkan peningkatan potensi pembentukan awan-awan hujan di wilayah Jabodetabek.
Terakhir, kondisi ekstrem ini juga disebabkan oleh adanya daerah pusat tekanan rendah di Australia bagian utara yang membentuk pola konvergensi di sebagian besar pulau Jawa.
Banjir di awal tahun ini telah menyerang beberapa daerah seperti DKI Jakarta, Bekasi, Semarang, Tangerang dan banyak lainnya. Dilansir dari kompas, menurut data BPBD, semenjak banjir yang melanda Bekasi pada sabtu, 20/02/2021 hingga pada Senin malam, total sudah 20.630 keluarga terdampak bencana banjir. Hingga parahnya: rel kereta rusak dan amblasnya jembatan di pantura menyebabkan terhentinya pengoperasian.
ADVERTISEMENT
Kemudian banjir sendiri masih menggenangi sejumlah wilayah seperti kelurahan Periuk, Kecamatan Periuk, Kota Tangerang dari sabtu, 20/2/2021 hingga selasa, 23/2/2021 silam. Banjir berada pada ketinggian dari 60 centimeter hingga pada ketinggian 3,5 meter mengakibatkan banyaknya warga yang harus mengungsi.
Sedangkan di Semarang sendiri terdapat banjir di beberapa ruas kota seperti jalan Babakan dan Mataram, Jalan Mutiharjo Lur, Kelurahan Muktiharjo Kidul, Kelurahan Genuksari, Kelurahan Kaligawe, Kelurahan Tambakrejo dan kelurahan Genom dengan ketinggian air sekitar 20 hingga 40 centimeter.
Namun, yang menjadi perhatian publik adalah bencana banjir yang tengah dihadapi oleh Jakarta. Persoalan banjir Jakarta sepertinya menjadi suatu fenomena yang sangat menarik perhatian dari masyarakat dalam maupun luar Jakarta dan para politisi yang kerap kali mengkritisi kebijakan dan progress pemerintah.
ADVERTISEMENT
Bahkan, bencana banjir Jakarta seperti menjadi sebuah ajang serang satu sama lain. Tak sedikit pula masyarakat yang membanding-bandingkan kinerja antara gubernur yang satu dan yang lainnya.
Jika merunut terhadap sejarah, Jabodetabek sendiri sudah menjadi langgaranan banjir bahkan sejak zaman kerajaan Tarumanegara tepatnya pada masa kepemimpinan Raja Punawarman pada abad ke-5 masehi yang di kala itu banjir sudah ada. Bahkan sejak abad ke-17, semenjak Jan Pieterszoon Coen mendirikan Batavia, ia telah membangun konsep kota di atas air seperti kanal-kanal air yang berada di Amsterdam Belanda.
Di dalam sejarah sendiri Batavia sudah mengalami kesulitan menangani banjir seperti pada tahun 1621, 1654, 1873, 1918 hingga 1909 dan di tahun 1918 banjir pernah melumpuhkan Batavia hingga menyebabkan sarana transportasi dan trem listrik tenggelam.
Pun juga setelah Belanda hengkang dari Indonesia banjir tetap saja melanda Jakarta hingga saat ini, contohnya seperti pada tahun 1979 dengan ironisnya terjadi banjir besar hingga mencapai 1.100 hektare yang membuat banyaknya warga harus mengungsi ke tempat yang lebih tinggi, banjir tersebut disebabkan oleh banjir lokal dan banjir kiriman.
ADVERTISEMENT
Sebagian besar kawasan Jabodetabek dulunya memang merupakan kawasan rawa-rawa tempat di mana air menggenang. Daerah yang berada di dataran rendah membuatnya menjadi tempat yang 'pas' ketika hujan turun.
Namun, mengapa VOC tetap saja memilih Jakarta sebagai ibu kota? Karena Belanda berinisiatif untuk dapat memperkokoh kekuasaan di Nusantara dengan cara memonopoli perdagangan. Walaupun Ambon penuh dengan rempah-rempah, akan tetapi lokasinya tidak strategis untuk melakukan transaksi perdagangan. Hingga dipilihlah Jakarta sebagai pusat ibu kota dan perdagangan karena letaknya yang strategis, dengan pelabuhan yang ramai dan sibuk dan wilayah yang pula aman dari para pesaing.
Menurut pendapat dari Ketua Pansus Banjir DPRD DKI Jakarta, ”Pemerintah DKI Jakarta tak fokus hadapi banjir selama tiga tahun terakhir. Normalisasi sungai yang dilaksanakan Pemkot DKI Jakarta sudah baik, namun itu saja tidak cukup untuk mengingat jangka panjang. Jumlah debit dari sungai sendiri tidak dapat menampung banyaknya air.”
ADVERTISEMENT
Isu banjir memang sangat menarik perhatian dari masyarakat dan seringkali banjir pula kadang menjadi ajang politisasi antar elite dan para aktivis partai politik, namun yang sedikit menjadi keheranan adalah luasnya banjir yang banyak terjadi di kawasan Jabodetabek namun yang disorot adalah hanya DKI Jakarta. Lalu bagaimana dengan banjir-banjir yang bukan dari Jakarta?