Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Harta, Takhta, Wanita: Tren Ungkapan Populer dalam Dimensi Makna
20 Desember 2020 14:06 WIB
Tulisan dari Era Makatita tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bahasa adalah jalan mulus untuk menyusupkan ideologis patriarki, terutama pada generasi muda.
ADVERTISEMENT
Belakangan saat saya membuka media sosial, banyak sekali unggahan yang menunjukkan mulai populernya ungkapan “harta, tahta, Rena” atau “harta, tahta, kebanggaan orang tua”, dan ungkapan-ungkapan sejenis. Saking populernya tren ungkapan ini, banyak produsen pasar yang memanfaatkannya untuk menuai keuntungan. Salah satunya yang saya temukan adalah stiker-stiker yang ditempel pada motor dengan sistem otak-atik kata sesuai pesanan pembeli. Pada dasarnya, seluruh ungkapan tersebut berawal dari bentukan “harta, takhta, wanita” yang kemudian digonta-ganti mengikuti tren.
Entah siapa yang menciptakan, ungkapan yang telah lama hadir di masyarakat ini mungkin dapat dikatakan sebagai "tradisi" turun menurun yang berterima sehingga dapat hidup lama bahkan kembali kejayaannya. Hal ini menarik perhatian saya sebab tercium bau seksis yang mungkin tidak disadari masyarakat dalam ungkapan tersebut.
ADVERTISEMENT
Mari mulai membahas dari sisi makna masing-masing kata. Pertama, kata harta secara etimologis dapat diartikan sebagai ‘aset’, ‘kekayaan’, ‘kemewahan’, ‘substansi’, atau ‘uang’. Dalam penggunaannya di masyarakat, kata harta dapat diidentifikasi sebagai segala hal yang memiliki nilai dan menjadi kekayaan. Harta banyak diartikan sebagai uang, rumah, emas, dan hal-hal berharga lainnya.
Kedua, kata takhta secara etimologis dapat diartikan sebagai ‘singgasana’, ‘kedudukan’, atau ‘kekuasaan’. Dalam penggunaannya di masyarakat, kata takhta merujuk pada sebuah tempat yang memiliki derajat tinggi atau kedudukan seseorang yang menyebabkannya memiliki kekuasaan terhadap sesuatu.
Ketiga, kata wanita yang mungkin akan kita bahas dengan cukup mendalam. Secara etimologis, kata wanita diambil dari bahasa Sanskerta yakni vanita yang bukan merupakan penanda jenis kelamin. Kata ini kemudian diserap oleh bahasa Jawa Kuno (Kawi) menjadi wanita, lalu diserap kembali ke dalam bahasa Jawa (modern) sebagai penanda jenis kelamin. Bahasa Indonesia yang kemudian hadir menyerap kata wanita dari bahasa Jawa dan menggunakannya untuk penanda suatu jenis kelamin.
ADVERTISEMENT
Dalam perjalanannya kata wanita mengalami proses ameliorasi (peningkatan nilai makna) yang menjadikannya memiliki konotasi terhormat sebab banyak digunakan dalam bidang-bidang penting, seperti nama organisasi, jabatan, profesi, hingga julukan. Organisasi-organisasi besar yang menggunakan kata wanita dalam penamaannya antara lain Dharma Wanita, Korps Wanita Angkatan Laut, dan Korps Polisi Wanita. Hal ini tentunya menambah konotasi positif kata wanita sebab penggunaannya disandarkan pada hal-hal penting yang memiliki citra baik dan terhormat.
Kata yang paling banyak disinggungkan dengan kata wanita adalah kata perempuan. Berbanding terbalik dengan kata wanita, kata perempuan justru mengalami peyorasi (penurunan nilai makna) sehingga menyebabkan derajatnya seolah berada di bawah kata wanita. Secara etimologis kata yang berasal dari bahasa Sanskerta ini berdasar dari kata empu yang bermakna ‘kepala’, ‘mahir/berkuasa’, ‘tuan’, atau ‘hulu’. Kata ini juga berhubungan dengan kata ampu yang bermakna ‘sokong’, ‘penyangga’, atau ‘memerintah’.
ADVERTISEMENT
Pada awalnya kata perempuan memiliki konotasi terhormat dan cenderung lebih dijunjung tinggi sebab penamaan organisasi besar nasional pertama yang merupakan “tandingan organisasi laki-laki” adalah Kongres Perempuan Indonesia. Kata ini resmi mengalami kemerosotan saat dihentikannya Kongres Perempuan Indonesia dan dimunculkan bentuk baru dengan nama Kongres Wanita Indonesia.
Seiring berjalannya waktu, kata perempuan agaknya mulai mengalami ameliorasi sebab semakin akrab digaungkan oleh para aktivis perempuan. Kata perempuan mereka gunakan untuk menamai organisasi mereka. Aktivis perempuan lebih memilih menggunakan kata perempuan daripada wanita sebab etimologi Jawa yang dipercaya mendasari kata wanita dianggap sensitif dan menyudutkan perempuan.
Kata wanita dalam etimologi Jawa dipersepsi secara kultural sebagai bentukan dari ‘wani ditoto’ yang berarti ‘berani diatur’ atau ‘bersedia diatur’. Pemaknaan lainnya adalah bahwa wanita dianggap mulia bila tunduk pada pria. Makna ini selaras dengan ungkapan “swargo nunut, neraka katut” atau “suami masuk surga aku numpang, suami masuk neraka aku ikut”. Ungkapan tersebut menunjukkan kewajiban wanita untuk tunduk kepada suami bila ingin jadi mulia dan terhormat.
ADVERTISEMENT
Hal ini rupanya merasuk ke dalam bahasa Indonesia sebab proses penyerapan bahasa yang terjadi pada kata tersebut. Oleh sebab itu, bila mengambil perkataan Ben Aderson, kata wanita dinilai lebih tinggi karena bahasa Indonesia dianggap telah mengalami “jawanisasi” sehingga kata wanita, meskipun telah diserap ke dalam bahasa Indonesia namun tetap memiliki roh Jawa.
Hingga sini agaknya problematika mengenai ungkapan “harta, takhta, wanita” yang saya fokuskan sudah lebih tergambar. Melihat dari kupasan makna kata yang telah dijelaskan sebelumnya, perlu ditekankan bahwa pemaknaan harta dan takhta merujuk pada sebuah "benda" yang bernilai.
Selain itu, penggunaan tanda koma (,) pada ungkapan tersebut, bila berdasar pada Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) berguna untuk merinci unsur-unsur dalam suatu hal. Biasanya perincian ini dilakukan untuk menyebutkan sesuatu yang sejenis, misalnya dalam unsur alat tulis: pulpen, pensil, penghapus, dll. Hal ini menyebabkan persepsi bahwa ungkapan tersebut menyamaratakan kata wanita dengan harta dan takhta. Peletakan kata wanita setelah harta dan tahta mengidentifikasikan penyamarataan perempuan secara posisi atau derajat dengan sebuah “benda” bernilai yang dimiliki seseorang.
ADVERTISEMENT
Dalam persepsi masyarakat, ungkapan “harta, takhta, wanita” dimaknai sebagai suatu bentuk pemuasan kesenangan individu (baca: laki-laki). Seorang laki-laki akan dianggap sukses bila telah memiliki tiga hal tersebut. Bila merambah persepsi kultural Jawa pada zaman dahulu mengenai konsep lelananging jagat atau lelaki sejati, barulah seorang laki-laki dapat disebut demikian bila telah memiliki harta berlimpah, senjata yang berupa kesaktian, kelas sosial tinggi (priyayi), dan memiliki banyak ‘wanita’ (istri atau gundik). Masyarakat juga sering mengaitkan ungkapan tersebut dengan agama melalui tuduhan bahwa hal-hal yang dapat melalaikan laki-laki adalah harta, takhta, dan wanita. Dari sini sudah tergambar bahwa kata tersebut memiliki konotasi yang sangat menyudutkan dan menyubordinasi perempuan.
Apabila kita mengacu pada teori Simone de Beauvoir, maka terlihat bahwa terdapat hegemoni patriarki yang menggerogoti mental masyarakat hingga menyatakan bahwa laki-laki adalah “diri” sedangkan perempuan adalah “liyan”. Secara sederhana Simone menegaskan bahwa perempuan dikonstruksi oleh budaya dan masyarakat menjadi pelengkap dan objek dari subjektivitas laki-laki. Perempuan tidak dilihat sebagai manusia merdeka yang setara dengan laki-laki, melainkan bentuk lain yang berada di bawah laki-laki.
ADVERTISEMENT
Bentuk ungkapan yang dianggap sebagai “tradisi” ini adalah salah satu jalan mulus menyelinapnya patriarki ke dalam mental bangsa kita. Pelesetan-pelesatan kata yang terjadi di masyarakat juga melukiskan bagaimana dominasi laki-laki terhadap perempuan masih sangat kuat menggerogoti. Salah satu cara paling ampuh untuk menguaknya, apalagi dalam ranah kata, adalah melalui penelitian bahasa. Masyarakat kita, terutama anak muda yang kini terjebak tren, saya kira didominasi oleh orang-orang yang bahkan belum sepenuhnya—atau bahkan sama sekali—memahami makna ungkapan tersebut. Miris!
REFERENSI
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Tesaurus Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Prabasmoro, Aquarini Priyatna. 2006. Kajian Budaya Feminis: Tubuh, Sastra, dan Budaya Pop. Yogyakarta: Jalasutra.
Subuki, Makyun. 2011. Semantik: Pengantar Memahami Makna Bahasa. Jakarta: Transpustaka.
ADVERTISEMENT
Sudarwati dan D. Jupriono. 1997. Betina, Wanita, Perempuan: Telaah Semantik Leksikal, Semantik Historis, Pragmatik. FSU in The Limelight 5 (1).