Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Panggung Teater: Realitas dalam Dunia Imaji
14 Desember 2020 6:26 WIB
Tulisan dari Era Makatita tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
“Teater adalah tempat di mana realitas dibungkus oleh khayalan sehingga menciptakan seni.” ungkapnya dalam sesi penutup pertemuan magang malam itu.
ADVERTISEMENT
Kata teater mungkin cukup akrab di telinga masyarakat Indonesia, khususnya penikmat seni. Namun faktanya kebanyakan dari masyarakat kita hanya mengenalnya sebagai sebuah entitas yang samar sebab belum (atau tidak mau) berkesempatan menikmatinya.
ADVERTISEMENT
Pertunjukan teater biasanya berangkat dari sebuah naskah drama. Naskah drama, bagaimanapun adalah sebuah karya hasil rekaan penulisnya. Meski sebuah naskah drama mengambil dasar kejadian nyata, selalu ada penambahan, pengurangan, atau perubahan dari penulis hingga naskah tersebut hidup dan menarik.
Melihat dasar tersebut, lalu muncul pertanyaan apakah teater dapat dikatakan hanya rekaan imaji sebagai bentuk aktualisasi dari naskah drama?
Bagi N. Riantiarno (2011) teater adalah kegiatan manusia yang secara sadar menggunakan tubuhnya sebagai media untuk menyampaikan rasa dan karsa yang terwujud dalam suatu karya. Sebagai sebuah seni yang menggunakan tubuh manusia sebagai alat utama perwujudannya, tentunya teater tidak akan jauh dari urusan manusia dan segala aspeknya. Dengan begitu teater agaknya dapat kita sebut sebagai “seni bebas” sebab merupakan cerminan manusia dan nilai-nilai sosialnya.
ADVERTISEMENT
Mula-mula perlu kita ketahui bahwa teater berinduk dari upacara ritual yang dipimpin oleh seorang dukun tanpa adanya naskah tertulis. Saat itu naskah drama masih berbentuk oral yang secara langsung disampaikan dukun atau pendeta selaku “penulisnya”. Kemudian dari Yunani lahirlah aturan teater dan penulisan naskah.
Begitulah pada akhirnya masa itu teater berisi kisah tentang dewa-dewa dan hal-hal supranatural. Berjalannya waktu saat teater telah merambah dunia Barat, kaum borjuis mulai bosan dengan kisah dewa, raja, atau hal supranatural sehingga mulailah muncul lakon realisme.
Realisme sendiri mengusung tema yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari sehingga nampak nyata dan realistis. Dengan memegang hipotesis dasar bahwa manusia adalah sumber kepalsuan dan distorsi, panggung teater mencoba menampilkan detail tersebut tanpa memperindah atau memperburuk keadaan sebenarnya.
ADVERTISEMENT
Soemanto (1999) menyebutkan bahwa tujuan dari panggung teater realisme adalah terciptanya illusion of reality. Penonton akan dibuat lupa bahwa mereka sedang menonton sebuah pertunjukan sebab realisme menyajikan kehidupan langsung yang dibawa ke panggung.
Teater realisme mulai banyak bermunculan di Indonesia pada pertengahan abad ke-20. Bentuk teater ini tumbuh subur pasca kemerdekaan dengan mengadopsi realisme Eropa yang berdasar modernisme. Membicarakan mengenai naskah drama realisme, nama Motinggo Busje agaknya tidak boleh luput dari pembahasan.
Sebagai salah satu penulis naskah drama realisme generasi pertama di Indonesia, karya Motinggo membidik masalah sosial yang disampaikan dengan gaya sindiran atau ironi. Naskah dramanya banyak merupakan kritik sosial terhadap keadaan Indonesia masa itu.
Sebut saja naskah “Malam Jahanam” yang sarat akan realitas kehidupan pernikahan di masyarakat. Sesuai karakteristik drama realis, Motinggo tidak berusaha memperindah keadaan tokoh dan sosial yang ada pada naskah.
ADVERTISEMENT
Naskah ini menceritakan masalah rumah tangga dan perselingkuhan sebagaimana adanya. Dengan jujur Motinggo menggambarkan tanggapan masyarakat dan keadaan tiap orang yang terkait dengan perselingkuhan tersebut. Sebab-akibat yang muncul dalam konflik digambarkan dengan jelas lewat perselingkuhan Paijah dengan Soleman, keegoisan Mat Kontan dengan hobinya memelihara burung, dan kematian Mat Kontan kecil yang tragis.
Ya, dalam masalah rumah tangga, baik saat naskah drama ini ditulis hingga sekarang, anak selalu menjadi korban keegoisan orang tua. Mungkin itu salah satu realitas sosial yang ingin dituangkan Motinggo ke dalam Malam Jahanam.
Pada pementasannya, sebagaimana drama realis, menampilkan potret kehidupan miskin kaum nelayan di pinggir pantai. Kita akan menemukan gubuk, pakaian khas nelayan pesisir, tukang pijat, dukun, dan lain sebagainya yang membentuk suatu pertunjukan seolah nyata.
ADVERTISEMENT
Tokoh Soleman, Mat Kontan, dan Paijah tentunya tidak nyata. Kisah yang dibangun dalam naskah pun mungkin hanya hasil rekaan Motinggo. Namun, realitas yang tertuang pada naskah adalah hal nyata yang mungkin saja sedang terjadi di sekitar kita, namun luput dari perhatian.
Membicarakan soal realitas dan rekaan, saya teringat ungkapan salah satu pembimbing di teater tempat saya menjalani aktivitas magang. Beliau cukup banyak menyinggung persoalan bagaimana teater membicarakan realitas sosial masyarakat lewat kisah-kisah rekaan yang sudah diinterpretasikan oleh penulis.
“Teater adalah tempat di mana realitas dibungkus oleh khayalan sehingga menciptakan seni.” ungkapnya dalam sesi penutup pertemuan magang malam itu. Agaknya sampai sini dapat terlihat bahwa jawaban mengenai pertanyaan yang disinggung di awal akan berdasar dari sini.
ADVERTISEMENT
Panggung teater memang berdasar dari sebuah naskah drama yang sifatnya dapat dikatakan fiktif. Kisah, tokoh, dan alur mungkin saja merupakan rekaan penulis yang dibuatnya berdasarkan hasil imaji. Namun, kita tidak dapat memungkiri bahwa hal tersebut merupakan bentuk interpretasi penulis terhadap realitas sosial yang ia alami sendiri atau berada di sekitarnya.
Naskah tersebut pada akhirnya, lewat tangan sutradara, sampai kepada kita dalam bentuk aktualisasi nyata seolah menyajikan kehidupan langsung di atas panggung.
Bila suara telah dibungkam, teater nampaknya dapat menjadi alternatif senjata sosial yang ampuh guna membuka mata dunia tentang betapa "amburadul"-nya realitas masyarakat kita.
Sumber Bacaan
Riantiarno, N. (2011). Kitab Teater: Tanya Jawab Seputar Seni Pertunjukan. Jakarta: Penerbit Gramedia Widiasarana Indonesia.
ADVERTISEMENT
Soemanto, B. (1999). Realisme dalam Jagat Teater. Yogyakarta: Humaniora, 11.