Esport Sebagai Olahraga yang Utuh

Eri Muriyan
Eri Muriyan. Kadang mengamati video game dan esport. Seringnya memberi makan kelinci pagi dan malam.
Konten dari Pengguna
21 Juni 2022 21:13 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Eri Muriyan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Esport Sebagai Olahraga yang Utuh
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Jika olahraga diartikan sebagai serangkaian gerak raga yang teratur dan terencana yang dilakukan orang dengan sadar untuk meningkatkan kemampuan fungsi tubuhnya, maka esport harus pergi jauh-jauh darinya. Itu menurut akademisi Santoso Giriwijoyo yang bukunya jadi pegangan mahasiswa jurusan olahraga. Singkatnya untuk menyehatkan tubuh sebagaimana tafsir KBBI, esport mungkin justru malah sebaliknya. Bila mungkin esport malah harus ditolak, dimusuhi, dan dibumihanguskan.
ADVERTISEMENT
Jika olahraga adalah kegiatan fisik yang mengandung sifat permainan dan berisi perjuangan dengan diri sendiri atau perjuangan dengan orang lain serta konfrontasi dengan unsur alam, esport boleh lah agak sedikit mendekat darinya. Itu menurut ICSSPE, dewan internasional olahraga sains dan pendidikan jasmani. Permainan dan perjuangan adalah pembeda video game dengan game kompetitif yang kemudian disebut esport itu.
Jika olahraga memerlukan pelatihan sistematis yang mengarah pada peningkatan kemampuan dan keterampilan motorik serta kognitif sebagai karakteristiknya, di situlah esport punya tempat yang sama. Di tambah dalam konteks fisiologi olahraga, peningkatan pengeluaran kalori dapat diamati pada pemain selama kompetisi karena aksi permainan yang dimainkan. Ini simpulan dari N. R. Fahdli, seorang akademisi sekaligus pegiat literasi sport science. Meski yang 'nyata' yaitu olahraga dan yang 'maya' alias virtual yaitu game esport diakuinya masih terus bisa diperdebatkan.
ADVERTISEMENT
Esport pertama-tama muncul sebagai kejuaraan game Spacewar di tahun 1972. Hadiahnya cuma langganan majalah Rolling Stone. Game itu dibuat oleh Steve Russel dan 5 kolega dari Massachusetts Institute of Technology. Sementara kejuaraanya dibuat oleh para mahasiswa ilmu komputer Universitas Stanford. Esport lahir dari lingkungan kampus, bukan dari tongkrongan warung kopi.
Kelahiran turnamen game pertama itu diperingati laman Kotaku pada 2012. Kini tepat sudah setengah abad sudah kompetisi-kompetisi game digelar setelahnya. Berkembang pesat dan akan terus mencatat banyak pencapaian yang dulu tak disangka.
Mulai dari hadiah terbesar Dota 2 yang mencapai setengah triliun rupiah. Jumlah penonton League of Legend yang mencapai 4 juta lebih dalam waktu bersamaan. Atau hampir tiadanya sudut negera yang tidak memainkan game kompetitif. Di Indonesia, esport bahkan sudah sudah mempengaruhi budaya, sebagaimana diulas para mahasiswa dari pers mahasiswa Ekspresi UNY tahun 2017 dalam buku Ideologame.
ADVERTISEMENT
Kini game komepetitif itu menjadi keseharian anak muda hingga profesional bisnis. Seolah menghantui para orang tua anak-anak sejak sebelum sekolah dasar. Seberapapun banyaknya ulasan kecanduan game yang bernada negatif membanjiri tugas akhir para mahasiswa, rasanya tak mengusik perkembangan video game dan game kompetitif esport sebagai budaya populer.
ASEAN Games 2018, SEA Games 2019, Piala Presiden Esport 2021, SEA Games 2021, dan yang akan datang selanjutnya dengan persetujuan pelan tapi pasti, diakui sebagai olahraga prestatif oleh negara dan masyarakat olahraga. Syarat pengakuan masyarakat dunia tentang konsep play, game, yang kemudian menjadi sport sudah didapat. Esport seperti menyusup dengan gerakan cerdik sebelum kajian-kajian ilmiah perihal keolahragaan pada esport populer dan membanjir.
Serasa tinggal menunggu waktu, kampus-kampus akan mengulasnya paling tidak dalam tugas akhir para mahasiswa dengan nada yang cenderung positif. Berkompromi atau menemukan titik temu yang kuat dan sah antara esport dengan olahraga. Dengan begitu esport barangkali akan menjadi bagian tak terpisahkan dari olahraga.
ADVERTISEMENT
Melengkapi Sisi Fisik Atlet Esport
Dalam amatan sederhana saya, esport sebagai olahraga prestasi yang cenderung hanya menonjolkan segi motorik halus (jari dan pergelangan tangan), kognitif, dan sedikit fisik dalam pembakaran kalori akan berkembang sebagai olahraga sepenuhnya. Esport sebab para pemainnya adalah tubuh manusia, ia mestinya justru sangat lekat dengan olahraga fisik. Olahraga kebugaran untuk memenuhi kebutuhan fisik yang optimal demi mencapai performa terbaik 'olahraga esport' yang virtual itu.
Memisahkan esport dari olahraga dengan demikian, justru akan menjadi kerugian bagi esport. Esport harus berkembang lebih jauh dengan menjadikan olaharaga fisik sebagai bagian utuh dari keseharian penunjang kebugaran fisik pemainnya di antara latihan khusus tentang gamenya. Kekayaan disiplin ilmu olahraga cepat atau lambat akan dibutuhkan para pegiat profesional esport. Setali dengan manajemen, kesehatan, pendidikan, psikologi, dan lainnya .
ADVERTISEMENT
Maka olahraga bisa memasuki esport dalam dua ruang. Pertama 'olahraga esport' yang virtual dan minim fisik itu. Kedua ruang olahraga pada umunya itu, untuk memenuhi kebutuhan kebugaran pemainnya.
Sebab tim profesional esport dalam kasus ini Mobile Legends yang tergabung dalam liga resmi MPL Indonesia memiliki menejemen pemainnya yang profesional pula. Semua pemain ditempatkan pada gaming house terpusat di masing-masing tim. Sebagaimana camp atau asrama menejemen tim olahraga profesional.
Fokus menejemen tim esport yang cenderung masih hanya mengandalkan faktor kemampuan pemain dan tim dari segi pengetahuan khusus tentang gamenya mesti diperluas. Menuju fokus terhadap olahraga fisik, seperti kebugaran fisik, kesehatan, gizi, mental, dan psikologis. Keseharian para pemain akan diatur dengan baik, pelan tapi pasti mengeliminasi kebiasaan kontraproduktif semisal begadang, kurang tidur, stress, makan sembarangan, lemah secara fisik dan mengantuk saat kompetisi, serta kenyataan-kenyataan lain.
ADVERTISEMENT
Faktor fisik yang tidak maksimal dialami ONIC Esport saat gelaran M3 world championship di Singapura. Diakui salah satu pelatihnya Aldo.
"Mungkin karena ada beberapa player yang mengalami kelelahan karena bertubi-tubi banget turnamennya. Tak lama dari playoff MPL (Season 8) langsung ke MPLI, setelah itu lanjut ke M3. Belum lagi soal karantinanya, makanannya tidak cocok, dan lainnya. Semua itu sangat mempengaruhi mood para pemain,” ujar ONIC Aldo saya kutip dari ONE Esports.
“Mood pemain di M3 itu tidak seperti playoff (MPL ID Season 8) di Bali. Bisa dibilang sangat berbeda dan (di Singapura) aturannya lumayan ketat, jadi kami kurang nyaman", pungkasnya.
Lebih detail sebab atlet esport harus mampu mempertahankan fokus tingkat tinggi dan membuat keputusan penting di bawah tekanan waktu, di hadapan rival, juga di tengah kerumunan penggemar. Sebagai kesamaan aspek psikologis antara esports dan olahraga yang sudah mapan. Koordinasi mata-tangan, daya tahan, pengetahuan mendalam tentang game, keterampilan reaksi, terkait erat dengan kemampuan koordinasi fisik saat tindakan dijalankan memainkan game esport. Semua menentukan dalam meraih kemenangan kompetisi esport.
ADVERTISEMENT
Dengan begitu, tim profesional esport bisa didorong untuk melengkapi dunia esport dengan olahraga fisik. Esport akan maju dan memberikan contoh nyata bahwa esport adalah olahraga yang utuh. Virtual dan tetap mementingkan kebugaran fisik. Tim esport dipresentasikan dengan dan sebagai olahraga yang utuh itu. Sehingga pandangan masyarakat awam yang menganggap esport hanya sekadar kegiatan gaming yang berefek buruk akan bisa ditepis. Tidak menutup kemungkinan pandangan itu akan bisa berbalik sepenuhnya.
Sampai di sini esport bukan hanya soal main game. Esport sekarang dan ke depannya akan bicara tentang bakat, pelatihan usia muda, fasilitas 'olahraga esport', strata kompetisi, kompetisi resmi, kompetisi olahraga dunia, melek literasi teknologi-olahraga, jenjang karir, kemajuan kualitas manusia serta teknologi, dan lain-lainnya sebagaimana olahraga menjadi bagian penting, bila tidak berlebihan, dari peradaban manusia. []
ADVERTISEMENT