Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Mengenang Dua Pilar Republik : Tan Malaka dan Jendral Soedirman
2 Mei 2023 6:17 WIB
·
waktu baca 6 menitDiperbarui 4 Mei 2024 13:24 WIB
Tulisan dari Eri Nugroho tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Setiap tanggal 1 Mei diperingati bersama sebagai Hari Buruh Internasional (May Day). Hari yang lahir dari berbagai peristiwa perjuangan kelas pekerja untuk meraih kendali ekonomi-politis dan hak-hak industrial.
ADVERTISEMENT
Setelahnya, tanggal 2 Mei kita peringati bersama sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Hari yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia untuk merayakan kelahiran sang filosof Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara.
Kedua hari tersebut memiliki sejarah-panjang, banyak sekali rentetan peristiwa historis Hari Buruh maupun Hardiknas. Terlepas dari itu semua, saya tertarik untuk memperingati dan merayakan hari buruh beserta hari pendidikan nasional ini, dengan membuka kembali sejarah antara sang Bapak Republik, Tan Malaka dan sang Jenderal, Soedirman.
Dua orang legenda Indonesia. Satunya seorang bara-api revolusioner, satu yang lain adalah gerilyawan-taktis. Membahas kedua tokoh ini memanglah sangat memikat, pesona sejarah keduanya juga menarik untuk dibaca kembali. Pertama, sang Ideolog besar yakni Tan Malaka dan Kedua, sang Jenderal adalah Soedirman.
ADVERTISEMENT
Sejarah mencatat, Tan Malaka dan Soedirman pernah berdampingan dan berdekatan. Bukan dalam konteks romantisme pria-dan-pria, tapi pada konteks perjuangan bangsa. Sepintas, memang kalau dilihat dari spektrum politik, menyandingkan kedua sosok tersebut tidaklah estetik. Tidak pas. Tidak cetho. Namun, ternyata mereka pernah dekat, pernah serasi dan bersama-sama berjuang menyelesaikan tugas revolusi Bangsa.
Mari kita membaca kedua tokoh tersebut secara runtut. Seperti penulisan angka dalam kalender bulan mei, dimulai dari 1 Mei, berikutnya 2 Mei. Satu mei dahulu, dua mei kemudian. Hari buruh dahulu, hari pendidikan kemudian. Maka, Tan Malaka dahulu, Jendral Soedirman kemudian.
Perjalanan Perjuangan Tan Malaka dalam Aroma Perlawanan Buruh
Barangkali memang kebiasaan apabila orang yang idelais-revolusioner berangkat dari hidup melarat dalam kondisi depresi ekonomi keluarga, diasingkan, dan menjadi pelarian. Begitupun Tan Malaka, Ia anak dari keluarga Buruh yang miskin lagi melarat.
ADVERTISEMENT
Ayahnya adalah Rasad Cinago, seorang buruh tani. Tentu, kekurangan dan kemisikinan tidak asing bagi hidup Tan Malaka. Untuk melanjutkan studinya saja, Tan Malaka harus dibantu oleh sumbangan para tetua Nagari Pandan Gadang Suliki dan seorang guru Belanda, bernama Honresma. (Rudolf Marzek, Semesta Tan Malaka)
Mahalnya dan sulitnya akses pendidikan saat itu menjadikan hati Tan tergerak. Setelah menyelesaikan studi di Belanda. Ia menjadi seorang guru, profesi yang dicita-citakan. Ia mengajar anak dari kuli kontrak buruh perkembunan teh di Deli Sumatra Barat. Saat proses mengajar-belajar, Tan Malaka melihat banyak ketimpangan dan perlakuan buruk yang diterima oleh buruh perkebunan. Hal ini membuat Tan melakukan ingin melakukan perubahan-perubahan besar, untuk mengentaskan ketimpangan yang ada.
ADVERTISEMENT
Perubahan-perubahan besar yang ingin Tan lakukan demi membela ketimpangan yang terjadi, ia tuliskan dengan detail, dalam karya-karyanya. Salah satunya, yakni Aksi Massa (1926). Tan Malaka mengkritik kaum terpelajar yang terlalu eklusif, tidak peduli dengan kaum terpinggirkan. Maka, Tan menulis jangan sampai aksi demonstrasi yang dilakoni oleh pelajar bukan atas nama buruh, dan rakyat, ataupun bukan untuk massa yang tertindas. Jangan sampai, para pelajar yang terdidik ini membuat rancangan 'untuk rakyat' menurut kemauan dan kecakapan sendiri, tanpa peduli kepentingan dan kebutuhan rakyat sebenarnya.
Pembelaan Tan kepada buruh dan orang tertindas memang tidak perlu diragukan lagi. Selain itu, Tan juga seorang yang cakap dalam membaca realitas.
Perjuangan Tan dalam membela kaum dan buruh tertindas, melewati segala pelarian dan keterasingan. Gonta-ganti nama Ia lakukan untuk bersembunyi. Dicari-diancam-ditodong sudah biasa. Berpindah-negara dari negeri Belanda, Jerman, Rusia, Kanton, Filipina hingga Singapura. Hidupnya, tidaklah sengsara dalam pelarian.
ADVERTISEMENT
Karena, dia selalu berada didalam barisan rakyat. Dia terbiasa untuk membaur dan peduli. Bahkan, pada saat merayakan proklamasi kemerdekaan saja, dia memilih untuk seorang supporter yang bertepuk tangan.
Guru itu, Bernama Soedirman
Agak aneh rasanya, seorang panglima besar (pangsar) kita ganti panggilannya sebagai seorang guru. Hal ini dikarenakan kita lebih mengenal sosok beliau sebagai seorang prajurit. Karisma dan wibawanya memang tinggi. Tak salah jika beliau terpilih sebagai panglima TNI termuda.
Namun, siapa sangka panglima tersebut adalah mantan guru sekolah dasar di HIS Muhammadiyah Cilacap. Dalam biografi Sudirman Prajurit Teladan tertulis “Untuk mencukupi kebutuhan dan biaya hidupnya, dia aktif sebagai guru di HIS Muhammadiyah Cilacap.”
Segi pendidikan, memang soedirman tercatat hanya lulusan MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) Wirotomo. Soedirman bukanlah seorang Mahasiswa, dari mana Soedirman bisa memiliki kemampuan mengajar?
Ia memiliki kemampuan mengajar, setelah berguru ilmu keguruan kepada R. Mokh. Kholil dan kemampuan beliau dalam memanajemen dan mengkondisikan anak anak dalam kepanduan HW (Hizbul Wathan) atau pramukanya Muhammadiyah.
ADVERTISEMENT
Soedirman menjadi seorang guru juga karena simpati. Ia berangkat dengan modal ikhlas, kesadaran dan tanggung jawab. Mengutip biografinya kembali dikatakan bahwa “Bagi Soedirman pekerjaan sebagai guru didasarkan atas keikhlasan dan kesadaran serta rasa tanggung jawab akan pentingnya pendidikan.”
Soedirman menjadi seorang guru yang populer, disukai murid-muridnya. Dikarenakan cara pengajarannya yang mudah untuk dimengerti, dan membumi. Ketekunan Soedirman dan perhatian serius yang diberikan kepada pendidikan menjadikan Soedirman diangkat menjadi kepala sekolah di HIS Muhammadiyah Cilacap.
Sang Pembela Buruh, dan Sang Guru Bertemu
4 Januari 1946. Purwokerto menyala, orang-orang berduyun-duyun menyaksikan tamu yang akan datang. Societeit, dipenuhi oleh wakil dari 141 organisasi politik, organisasi kemasyarakatan dan laskar. Rakyat berdesakan dan antusias.
ADVERTISEMENT
Peristiwa itu juga dihadiri elite politik pimpinan pusat Partai Sosialis, Partai Komunis Indonesia, Partai Buruh, Hizbullah, dan Masyumi. Panglima besar Soedirman juga berada di tengah-tengah mereka.
Tan Malaka, mendirikan persatuan perjuangan di Purwokerto. Tan malaka, mengagasnya untuk menentang politik diplomasi pemerintah, melawan kapitalisme dan penjajahan serta untuk menggapai kesejahteraan.
Harry A. Poeze dalam bukunya menggambarkan peserta rapat terdiam ketika Tan naik podium. Tan menyampaikan tentang tuntutan merdeka 100 persen, merupakan sebuah tuntutan mutlak.
Pada kongres tersebut, sang guru sekaligus sang jenderal sepakat dengan tuntutan tan malaka. Ia juga ikut meledak dalam gagap-gemilangnya kongres persatuan perjuangan :”Lebih baik di bom atom daripada merdeka kurang dari 100 persen.”
Tan malaka dan Soedirman akhirnya bertemu, mereka bersepakat dan menentang politik diplomasi. Mereka memilih menjadi oposisi pemerintah syahrir. Harry A. Poeze, mengatakan bahwa sosok Tan-Soedirman mempunyai banyak persamaan pendapat dan Ideologi.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut juga dikuatkan oleh Adam Malik, dalam buku Mengabdi pada Republik Jilid II, menyebut mereka berdua adalah Dwi Tunggal. Ia menyamakan hubungan kedua tokoh tersebut seperti: Soekarno-hatta ataupun Sjahrir-Amir Sjarifuddin.
Dengan demikian, cerita antara Tan Malaka dan Soedirman diperingati dan dirayakan. Mereka akan terus bertemu di bulan Mei, ini. Peringatan hari buruh dilanjutkan peringatan hari pendidikan. Antara aktivis pembela buruh dan sang guru Muhammadiyah. Jalan temu keduanya bermuara pada: Mengupayakan merdeka 100 persen, untuk bangsanya.