Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Diplomasi Batik di Luar Negeri
19 Desember 2024 14:46 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Dr. Erianto N, SH. MH. tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Apa yang disampaikan oleh mantan presiden keempat Republik Indonesia almarhum KH. Abdurrahman Wahid, atau yang akrab disapa Gus Dur, itu menarik direnungi. Pernyataan Gus Dur sangat relevan dengan perkembangan zaman sekarang terkait pengaruh luar negeri yang mulai mengubah pelan pelan budaya Indonesia, baik yang berasal dari budaya Arab, Barat, Korea, hingga China.
ADVERTISEMENT
Pernyataan Gus Dur yang menukilkan "budaya Arab" itu bukan tanpa alasan. Gus Dur pernah mengenyam pendidikan di Arab, mulai dari di Universitas Al Azhar hingga di Universitas Baghdad Irak. Dengan pengalamannya itu, Gus Dur tentu sudah memahami bagaimana budaya yang ada di Arab, dan mana saja budaya yang punya nilai keislaman.
Pandangan Gus Dur tambah lengkap karena ia juga punya rekam jejak menempuh pendidikan di negeri barat. Mulai dari di Laiden, Belanda; Jerman, hingga Prancis. Sehingga apa yang diucapkan Gus Dur tentu berdasarkan pengalamannya merasakan bermacam budaya di luar negeri.
Penulis membatasi diri untuk menganalisis masalah berpakaian kebanyakan warga Indonesia di luar negeri, atau yang baru kembali dari luar negeri, atau yang hanya mengetahui budaya luar negeri dari wisatawan mancanegara serta media. Budaya Arab diidentikkan dengan pakaian gamis, yang untuk laki-laki disebut top dan perempuan disebut abaya. Sementara pakaian barat identik dengan serba minim, bahkan tak jarang terlihat seperti pakaian tidur saja.
ADVERTISEMENT
Padahal pakaian di sekitar Arab tak sama antar masing-masing negara. Misalnya di Mesir, Yaman, Arab Saudi, Oman, Qatar, hingga ngeara seputar Syam, termasuk Pakistan, Afghanistan, Bangladesh, India, dan Afrika. Keragaman ini akan terlihat di Kota Mekkah dan Madinah. Hal yang sama dalam pakaian mereka adalah menutup aurat sesuai dengan ajaran Islam. Sementara pakaian negara Barat kebalikannya.
Cara berpakaian kedua pengelompokan ini telah merambah hingga ke perkampungan Indonesia. Saat lebaran, ada perantau yang berani memakai pakaian pendek agar dianggap "orang kota". Tapi di sisi yang lain, ada juga yang memakai pakaian tertutup, dan bahkan mengenakan sorban, gamis/abaya selama lebaran agar terlihat sudah pernah berhaji atau pergi umroh. Bahkan ada saja orang yang dipanggil, "Pak Haji" atau "Bu Hajjah" hanya karena mengenakan pakaian gamis atau abaya sehari-hari.
Bicara soal cara berpakaian, Islam memang membatasi agar perempuan memanjangkan jilbabnya hingga ke dada dan tidak menunjukkan lekuk tubuh. Sedangkan untuk laki-laki diwajibkan menutup aurat antara pusar dan lutut.
ADVERTISEMENT
Namun sejauh ini penulis belum menemukan literatur bahwa pakaian terbaik di Islam adalah gamis, dan lengkap dengan sorban, seperti di Arab. Di Arab ada kecenderungan perempuan memakai pakaian yang menjulur sampai ke tanah, yang sebenarnya, jika dilihat lagi, pakaian ini berpotensi terkena najis jika dibawa untuk salat.
Ada sebagian ulama di Arab yang menganggap pakaian yang terkena najis itu tetap suci karena berada di Tanah Suci. Namun jika di Indonesia tentu berbeda. Kita jadi perlu berhati-hati jika memakai pakaian yang berpotensi terkena najis di jalan untuk salat. Apalagi di Indonesia ada perbedaan mahzab ulama dengan di Arab.
Sementara itu, berpakaian seperti budaya Barat, yang terlalu terbuka, tentu tak sesuai dengan budaya Indonesia dan tak sesuai dengan muslim yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam. Sementara soal pakaian budaya Arab, perlu juga direnungkan pesan Gus Dur soal gamis dan sorban agar tidak salah kaprah.
ADVERTISEMENT
Diplomasi Batik di Luar Negeri
Penulis mengapresiasi sejumlah travel umrah dan haji Indonesia yang memberikan baju batik sebagai seragam jemaahnya. Sebagian juga dibekali sarung dan peci sehingga lebih mudah dikenali, sebagaimana dilakukan jemaah lain yang percaya diri memakai pakaian budaya mereka di tanah Arab.
Hal itu yang penulis rasakan saat memakai batik dan peci hitam di beberapa kantor pemerintahan Arab Saudi. Setiap saya memakai itu, saya langsung mendapat sapaan hangat, "Indonesia".
Bicara soal diplomasi, maka sesuai dengan pengertian dalam wikipedia yang merupakan serapan bahasa Belanda diplomatie adalah praktik memengaruhi keputusan dan perilaku pemerintah asing atau organisasi antar pemerintah melalui dialog, negosiasi, dan cara non-kekerasan lainnya.
Bila kita perhatikan dalam pelaksanaan salat Jumat bersama perwakilan berbagai negara, hampir semua jemaah tampil menggunakan pakaian sesuai budaya mereka termasuk dari barat memakai celana jeans, kaus oblong, topi khas Azerbaijan, termasuk dari afrika dengan pakaian warna mencolok mereka. Dalam kehidupan sehari-hari kita dapat melihat misalnya orang Pakistan atau Afganistan akan selalu memakai pakaian khas mereka baju koko panjang bercelana kemana pun. Dari sini terlihat bahwa mereka sedang melaksanakan diplomasi budaya mereka sendiri di luar negeri. Pemakaian gamis atau top hanya sesekali dipakai sebagai penghormatan terhadap pakaian khas setempat.
ADVERTISEMENT
Bagi Indonesia pakaian batik merupakan salah satu pakaian nasional Indonesia yang sudah ditetapkan oleh UNESCO tanggal 2 Oktober 2021 menjadi warisan budaya dunia dan di Indonesia tanggal tersebut diperingati hari batik nasional bukan karena coraknya saja namun karena telah diwariskan turun temurun dengan falsafah budaya lokal indonesia. Kita ketahui bahwa corak batik tidak hanya sebagai tradisi yang berkembang di tanah jawa namun ada di berbagai daerah di Indonesia dengan berbagai sebutan sesuai tradisi daerahnya seperti batik sasiringan di banjarmasin, corak burung cendrawasih di papua dan lainnya.
Begitu tingginya nilai pakaian batik maka sudah saatnya pakaian bermotif batik begitu juga memakai kain sarung untuk shalat, kupiah hitam menjadi budaya yang tetap kita lestarikan di luar negeri seperti yang telah dilakukan oleh jamaah umrah. Begitu juga mahasiswa, pekerja di luar negeri sepanjang tidak ada larangan maka sudah saatnya menjadikan pakaian batik dengan berbagai pola dan model menjadi pakaian sehari hari non formal termasuk untuk melaksanakan ibadah sebagai wujud cinta kepada tanah air dan diplomasi budaya Indonesia ke bangsa lain. Jangan justru kita enggan dengan budaya sendiri dan bangga dengan budaya luar yang belum tentu cocok dengan budaya dan karakter kita bangsa Indonesia.
ADVERTISEMENT