Kepala Daerah yang Dikandaskan UU Lingkungan Hidup

Dr. Erianto N, SH. MH.
Atase Hukum KBRI RIYADH
Konten dari Pengguna
27 Maret 2021 20:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dr. Erianto N, SH. MH. tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Rusma Yul Anwar. Sumber foto: Istimewa.
zoom-in-whitePerbesar
Rusma Yul Anwar. Sumber foto: Istimewa.
ADVERTISEMENT
Kisruh dan pro-kontra terkait status terpidana Bupati Pesisir Selatan Provinsi Sumatera Barat yang baru sebulan dilantik, Rusma Yul Anwar, untuk segera dieksekusi menjadi hangat dalam beberapa hari terakhir di Sumatera Barat bahkan di perantauan yang dengan cepat beredar melalui media online maupun media sosial.
ADVERTISEMENT
Diberitakan Liputan6.com pada tanggal 18 Maret 2021, ribuan warga yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Selamatkan Pesisir Selatan meminta Rusma Yul Anwar tidak diberhentikan dari jabatannya, dengan menyerahkan petisi ke Kejaksaan Negeri Pesisir Selatan sebagai bentuk dukungan masyarakat sebanyak 28.852 orang yang meliputi 15 kecamatan dan 1.045 orang secara online.
Di pihak lain, puluhan orang yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Pesisir Selatan Bergerak menggelar unjuk rasa di depan kantor Gubernur Sumatera Barat menuntut Gubernur Sumbar Mahyeldi Ansharullah mencopot Rusma Yul Anwar.
Sebelumnya, meskipun situs Mahkamah Agung sudah melansir putusan kasasi kasus tersebut—ditolak—namun gubernur tetap melantik karena beralasan belum ada putusan sah diterima yang bersangkutan.

Pokok Perkara

Mengacu pada putusan Pengadilan Negeri Padang nomor: 642/Pid.Sus-LH/2019/PN.Pdg, Rusma Yul Anwar yang saat perkara terjadi menjabat sebagai Wakil Bupati Pesisir Selatan mendampingi Hendrajoni didakwa oleh Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Pesisir Selatan terkait tindakan pada bulan Mei 2016 sampai dengan tahun 2017 yaitu sengaja merusak lingkungan hidup pada tanah sekitar tiga hektare yang telah dibelinya pada Mei 2013 di Nagari Mandeh Kecamatan Koto Xi Tarusan Kabupaten Pesisir Selatan, namun menurut Dinas Lingkungan Hidup Pesisir Selatan termasuk kawasan hutan lindung.
ADVERTISEMENT
Dengan dalih penataan lahan, Rusma Yul Anwar tanpa ada izin dari pihak Dinas Lingkungan Hidup melakukan pengrusakan lingkungan berupa pelebaran jalan untuk pelabuhan dengan cara menindas bakau (mangrove), menguruk dengan material berupa pasir dan karang yang berasal dari perairan laut di samping kanan sambil melebarkan perairan laut, mendalamkan perairan dengan tujuan agar dermaga/pelabuhan yang dibuat dapat disandari kapal.
Rusma Yul Anwar juga meratakan bukit untuk membuat jalan dan pembangunan tempat penginapan berupa rumah/cottage tanpa mengindahkan teguran dari Dinas Lingkungan Hidup Pesisir Selatan selaku lembaga yang diberi wewenang masalah lingkungan hidup sesuai Undang-Undang Lingkungan Hidup sehingga akhirnya menurut Dinas Lingkungan Hidup terjadi kerusakan lingkungan hidup.
Meskipun Rusma Yul Anwar didakwa dengan dua bentuk pasal pidana berupa, pertama, sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud Pasal 98 ayat (1) dan; kedua, melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 Jo Pasal 36 ayat (1) UU nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup namun pasal perbuatan pidana yang dinyatakan terbukti oleh majelis hakim adalah perbuatan kedua.
ADVERTISEMENT
Majelis dengan mengambil dasar pertimbangan kepada alat bukti keterangan ahli lingkungan hidup di persidangan yang berpendapat kerusakan mangrove masih dalam kategori baik dan dapat ditenggang sehingga akhirnya menganggap perbuatan Rusma Yul Anwar tidak terbukti melakukan pidana sebagaimana dimaksud dalam dakwaan pertama pasal 98 ayat (1) namun tetap terbukti terhadap dakwaan kedua pasal 109 Jo pasal 36 ayat (1) UU nomor 32 Tahun 2009, karena melakukan kegiatan tanpa izin lingkungan dengan hukuman pidana penjara 1 tahun dan pidana denda Rp 1 miliar.

Maladministrasi dan Asas Ultimum Remidium

Apabila dilihat sekilas dari pasal yang dibuktikan majelis hakim maka banyak pihak akan menilai terlihat kesalahan dari Rusma Yul Anwar adalah kesalahan administrasi saja berupa melaksanakan kegiatan tanpa izin lingkungan sehingga seharusnya logika umum sanksi seharusnya cukuplah sanksi administrasi.
ADVERTISEMENT
Pemahaman tersebut didasarkan pada lemahnya ketentuan pidana terkait lingkungan dalam UU nomor 23 Tahun 1997 ditambah lagi dilema selama ini dalam menegakkannya mengingat pelaku pelanggaran UU Lingkungan Hidup adalah pihak-pihak bermodal besar dan banyak konflik kepentingan dengan penguasa.
Pemahaman tersebut akan berbeda bila kita mengacu pada alasan penggantian UU Nomor 23 Tahun 1997 menjadi UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan pertimbangan karena telah sangat nyata terjadi penurunan kualitas lingkungan hidup yang mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya sehingga perlu ada ketentuan yang lebih menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sehingga perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguh-sungguh dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan.
ADVERTISEMENT
Perubahan ketentuan ini tentu sangat baik sekali demi kepastian hukum dan perlindungan terhadap lingkungan hidup sehingga dilakukanlah perubahan ketentuan mendasar di antaranya menjadikan pelanggaran administrasi menjadi perbuatan pidana sesuai dengan ciri khas undang-undang lingkungan sebagai sebuah administratif penal law yakni hukum pidana sebagai penjamin hukum administrasi terlaksana.
Pengaturan ini bukan bermaksud melakukan kriminalisasi terhadap pelanggaran administrasi tapi sebagai langkah preventif kerusakan lingkungan mengingat terjadinya kerusakan diawali dari pelanggaran ketentuan administrasi dan di lain pihak bila terjadi kerusakan lingkungan butuh waktu lama untuk memperbaikinya.
Di antara perbuatan administrasi yang merupakan pelanggaran formil yang dirumuskan sebagai perbuatan pidana (delik formil) yang tidak membutuhkan adanya akibat dalam UU lingkungan hidup antara lain melepaskan/mengedarkan produk rekayasa genetika tanpa izin, pengolahan limbah B3 tanpa izin, pembakaran lahan, menyusun amdal tanpa sertifikat, melakukan usaha tanpa izin seperti yang dilakukan Rusma Yul Anwar yang kesemuanya merupakan delik formil di mana pidana dapat dijatuhkan tanpa harus ada melihat akibatnya terhadap lingkungan sebagai wujud prinsip kehati-hatian dalam menjaga lingkungan.
ADVERTISEMENT
Pemberlakuan asas ultimum remidium yakni pidana hanya sebagai upaya terakhir setelah sanksi administrasi tidak efektif atau dalam hal terjadi pengulangan perbuatan sebagaimana diatur dalam UU 23 Tahun 1997 namun dalam UU 32 Tahun 2009 pemberlakuan asas ultimum remidium dipersempit hanya khusus pasal 100 dalam hal perbuatan yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan yang secara tegas disebutkan dalam ayat (2) menyebutkan “hanya dapat dikenakan apabila sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali”. Dengan demikian perbuatan Rusma Yul Anwar mesti dipahami secara jernih sesuai hukum yang berlaku.
Meski sudah dinyatakan bersalah oleh pengadilan tingkat pertama yaitu PN Padang karena perkara ini dialihkan persidangannya ke PN Padang yang dimungkinkan sesuai KUHAP namun hukuman terhadap Rusma Yul Anwar belum dapat terlaksana karena yang bersangkutan mempergunakan haknya mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi Padang dan nasib Rusma Yul Anwar tidak berubah di mana melalui majelis hakim melalui putusan Nomor 88/PID.SUS-LH/2020/PT PDG Tanggal 22 April 2020 menguatkan putusan tingkat pertama.
ADVERTISEMENT
Perjuangan Rusma Yul Anwar mempergunakan haknya mengajukan upaya hukum biasa terakhir ke Mahkamah Agung berupa kasasi juga ditolak oleh oleh hakim tingkat kasasi sesuai putusan nomor perkara 31 K/PID.SUS-LH/2021 yang sudah dimuat dalam situs resmi MA www.mahkamahagung.go.id, 24 Februari 2021.
Ilustrasi "hukum". Sumber foto: Pixabay.

Perjalanan Pilkada Pesisir Selatan

Kemenangan Rusma Yul Anwar sebagai Bupati Pesisir Selatan periode 2021-2025 menarik dicermati mengingat yang bersangkutan ikut pilkada dan menerima surat ketetapan pasangan calon dari KPU Pesisir Selatan pada tanggal 23 september 2020 dalam status telah dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana lingkungan hidup sebelumnya tanggal 13 maret 2020.
Tekad kuat Rusma Yul Anwar tetap maju dalam pemilihan bupati dengan status tersebut seakan tidak mempengaruhi masyarakat untuk memilih yang bersangkutan bahkan ada kesan yang muncul kasihan sebagai orang yang terzalimi.
ADVERTISEMENT
Buktinya dari hasil pleno rekapitulasi penghitungan suara yang dilakukan KPU Kabupaten Pesisir Selatan, Rabu (16/12/2020), sebagaimana dilansir kompas.com, Rusma Yul Anwar yang berpasangan dengan Rudi Hariansyah unggul telak dari bupati incumbent Hendrajoni yang berpasangan dengan Hamdanus. Pasangan yang diusung Gerindra, PAN, PBB, Perindo dan Berkarya itu unggul telak dengan 128.922 suara atau 57,24 persen sementara Hendrajoni-Hamdanus yang diusung Nasdem, PKS dan Demokrat hanya memperoleh 86.074 suara atau 38,22 persen dan terakhir pasangan nomor urut 03 Dedi Rahmanto Putra-Arfianof Rajab yang diusung Golkar, PDIP, PPP, PKB, dan Hanura mendapatkan 10.220 suara atau 4,54 persen.
Bahkan upaya dari pasangan petahana Hendrajoni mengajukan permohonan sengketa hasil pemilihan bupati ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Desakan untuk melakukan eksekusi terhadap putusan Rusma Yul Anwar memang wajar mengingat jabatan kepala daerah adalah jabatan politis namun karena ini masalah hukum tentu harus dikaji dari sisi hukum.
ADVERTISEMENT

Eksekusi Putusan

Terkait eksekusi atau melaksanakan putusan pengadilan dalam perkara pidana maka itu adalah kewenangan Jaksa dengan syarat putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap sekaligus saat itu juga status dari Rusma Yul Anwar berubah dari terdakwa menjadi terpidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 6 huruf a serta angka 32 KUHAP.
Lebih lanjut terkait eksekusi sebuah putusan maka sesuai dengan Pasal 270 KUHAP ditegaskan “Pelaksanaan putusan pengadilan oleh jaksa setelah panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya” sehingga jaksa dalam posisi pasif menunggu panitera mengirimkan putusan.
Dalam pasal tersebut sangat jelas yang dikirimkan oleh panitera itu adalah putusan bukan petikan sehingga isi putusan tersebut harus lengkap sebagaimana disyaratkan dalam pasal 197 ayat (1) KUHAP antara lain yang terpenting memuat pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa di mana tidak ada dimuat dalam petikan yang hanya berisi identitas, pasal yang terbukti serta bentuk hukuman.
ADVERTISEMENT
Meskipun dalam praktik sering terjadi eksekusi putusan dengan dasar telah menerima petikan dengan mengacu dan menafsirkan SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) Nomor 1 Tahun 2011 tentang perubahan SEMA Nomor 2 Tahun 2010 tentang Penyampaian Salinan Putusan dan petikan putusan yang menyebutkan petikan putusan perkara pidana diberikan kepada terdakwa, penuntut umum, dan rumah tahanan atau lembaga pemasyarakatan segera setelah putusan diucapkan paling lambat 14 hari setelah putusan diucapkan namun meski dalam praktik jarang sekali pihak pengadilan mengantarkan putusan sesuai SEMA namun di sisi lain kedudukan SEMA ini sama kedudukannya dengan surat edaran di kejaksaan, kepolisian, atau lembaga lainnya yang fungsinya hanya memperlancar dan tidak boleh menyimpang dari maksud ketentuan UU yang lebih tinggi berupa KUHAP dan SEMA hanya mengikat kepada internal saja dan tidak bisa jadi dasar untuk lembaga lain dalam hal ini di kejaksaan untuk melakukan eksekusi.
ADVERTISEMENT
Mungkin selama ini dalam praktik tidak jadi masalah dalam eksekusi karena pihak terpidana kooperatif dan mau dieksekusi meski hanya dengan petikan putusan namun apabila terpidana berargumentasi putusan belum diterima oleh jaksa sesuai pasal 270 KUHAP maka tentu sebagai negara yang menjunjung tinggi hukum ketentuan KUHAP tersebut juga harus dihormati sehingga tidak terjadi proses penegakan hukum yang melanggar hukum.
Meskipun nanti terpidana akan mengajukan upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali sepanjang putusan yang berkekuatan hukum tetap telah diterima oleh jaksa maka tentu sesuai pasal 268 ayat (1) KUHAP tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan sehingga tidak jadi kendala untuk mengeksekusi terpidana.
Karena itu tentu ditunggu komitmen semua pihak dalam hal ini lingkup pengadilan menyampaikan salinan putusan segera, kejaksaan untuk mempercepat eksekusi dan terpidana untuk mematuhi dan menghormati putusan pengadilan yang sudah diberi kesempatan UU untuk melakukan pembelaan maksimal.
ADVERTISEMENT
Semua orang berharap dan menunggu proses penegakan hukum dilakukan secara benar dan asas penangan perkara sederhana singkat biaya ringan bukan hanya dipahami sekadar dalam proses persidangan namun juga dalam melaksanakan putusan pengadilan sehingga hukum ditegakkan dengan menjunjung tinggi prinsip kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Keterbukaan dalam proses pelaksanaan hukuman ini tentu diharapkan akan memberi pencerdasan kepada masyarakat dan mudah-mudahan para pendukung dapat memahami dan menerimanya. Semoga.
Rusma Yul Anwar. Sumber foto: Istimewa.