Konten dari Pengguna

Sempurnanya Pasal Pemufakatan Jahat di Tangan Hakim Djoko Tjandra cs

Dr. Erianto N, SH. MH.
Atase Hukum KBRI RIYADH
6 April 2021 20:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dr. Erianto N, SH. MH. tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Terpidana kasus cessie Bank Bali Joko Tjandra (tengah) tiba untuk menjalani sidang dakwaan dalam perkara dugaan suap kepada jaksa dan perwira tinggi Polri serta pemufakatan jahat di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (2/11).  Foto: Sigid Kurniawan/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Terpidana kasus cessie Bank Bali Joko Tjandra (tengah) tiba untuk menjalani sidang dakwaan dalam perkara dugaan suap kepada jaksa dan perwira tinggi Polri serta pemufakatan jahat di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (2/11). Foto: Sigid Kurniawan/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Putusan Pengadilan Tipikor Jakarta Senin 5 April 2021 yang menyatakan Jocan (Djoko Soegiarto Tjandra) terbukti melakukan korupsi berupa pemufakatan jahat untuk memberi gratifikasi kepada Pejabat di Mahkamah Agung bersama PSM (Pinangki Sirna Malasari) dan AIJ (Andi Irfan Jaya), sesuai Pasal 15 Jo. Pasal 13 UU No 31 Tahun 1999 Jo UU 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah membuat pasal pemufakatan jahat yang selama ini belum pernah tersentuh menjadi efektif. Di samping pemufakatan jahat, Jocan juga terlibat korupsi penyuapan dengan penerima suap PSM dan AIJ untuk mengurus agar putusan Jocan selaku terpidana dalam perkara lain tidak dilaksanakan, telah diputus terlebih dahulu oleh Pengadilan Tipikor Jakarta.
ADVERTISEMENT
Meskipun baru AIJ yang menerima putusan sehingga telah berkekuatan hukum tetap, sementara PSM dan kemungkinan juga Jocan mengajukan upaya hukum, namun terkait pasal pemufakatan jahat dalam tindak pidana korupsi menarik untuk dibahas mengingat rumusan pasalnya sangat singkat tanpa ada penjelasan lebih lanjut dalam UU korupsi.
Pemufakatan jahat sebagaimana pasal 15 berbunyi “Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dengan pidana sama dengan pidana perkara korupsi pokok. Apabila rumusan percobaan dapat ditafsirkan dengan Pasal 53 KUHP dan pembantuan dengan Pasal 56 KUHP yang telah umum terjadi namun penerapan pasal pemufakatan jahat sangat sedikit literatur sebagai penafsirannya dan sepengetahuan penulis baru pertama kali sampai ke pengadilan dalam kasus Jocan cs yang disidik oleh Kejaksaan Agung mendahului KPK maupun Polri yang masih belum ada. Sebelumnya, pasal pemufakatan jahat pernah dilakukan penyelidikan oleh Kejaksaan Agung dalam kasus dugaan pemufakatan jahat “papa minta saham” di mana Setya Novanto selaku ketua DPR diduga melakukan pertemuan dengan pengusaha minyak Riza Chalid, dan eks Presiden Direktur PT. Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin dengan mencatut nama Jokowi dan Jusuf Kalla untuk meminta saham Freeport agar perpanjangan kontrak Freeport mulus, namun penyelidikan akhirnya dihentikan karena kesulitan alat bukti termasuk perdebatan keabsahahan rekaman percakapan yang menjadi salah satu dasar pembuktian.
Terpidana kasus cessie Bank Bali Djoko Tjandra sebelum menjalani sidang tuntutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (4/3). Foto: Sigid Kurniawan/ANTARA FOTO

Polemik Penafsiran Pemufakatan Jahat

Selama ini terjadi perbedaan pendapat antara beberapa ahli hukum terkait pemufakatan jahat atau samenspanning, dengan mengacu pada pengertian Pasal 88 KUHP yang berbunyi “Dikatakan ada permufakatan jahat, apabila dua orang atau lebih telah sepakat akan melakukan kejahatan”.
ADVERTISEMENT
Banyak pihak menilai pengertian pemufakatan jahat dalam Pasal 88 KUHP yang termuat dalam Bab IX tentang arti beberapa istilah yang dipakai dalam kitab undang-undang, tidak jelas penggunaannya dalam pasal tindak pidana korupsi karena dalam Pasal 103 KUHP bagian aturan penutup yang menjadi penghubung antara KUHP dan UU lain sekaligus dasar penggunaan asas lex specialis deroga legi generali termasuk UU Tipikor disebutkan “ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain”, sehingga tidak dapat mengikat pengertian pemufakatan jahat yang diatur dalam BAB IX KUHP.
Adami Chazawi dalam bukunya hanya mengulas terkait harus ada kesamaan peran sebagai dader (pelaku) bukan lainnya sebagai pleger (peserta) serta mensyaratkan ada persamaan kehendak yang belum terwujud. Chairul Huda mensyaratkan masing-masing memiliki kualitas yang sama, yakni harus sama-sama pegawai negeri atau penyelenggara negara sehingga inilah yang salah satu kendala berlanjutnya kasus “papa minta saham” karena hanya Setya Novanto selaku penyelenggara ketua DPR, sementara Maroef dan Riza Chalid pihak swasta tidak dapat dikualifikasi sebagai subjek tindak pidana dan bukan sasaran norma (adderessaat norm).
ADVERTISEMENT
Ketidakjelasan ketentuan pemufakatan jahat tersebut dimanfaatkan oleh Setya Novanto melawan proses hukum di Kejaksaan Agung dengan mengajukan permohonan uji materi atas Pasal 88 KUHP dan Pasal 15 Tipikor ke Mahkamah Konstitusi dan ibarat gayung bersambut permohonan dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi sesuai Putusan Nomor 21/PUU-XIII/2015 yang menyatakan frasa “pemufakatan jahat“ dalam Pasal 15 UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai, pemufakatan jahat adalah bila dua orang atau lebih yang mempunyai kualitas yang sama saling bersepakat melakukan tindak pidana”.

Pemufakatan Jahat Joko Soegiarto Tjandra Cs

Kasus pemufakatan jahat terjadi pada tanggal 25 November 2019 di menara Exchange 106 Kuala Lumpur Malaysia milik Jocan, di mana Jocan, PSM, AIJ, dan Anita D.A. Kolopaking telah bermufakat jahat melakukan tindak pidana korupsi yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a untuk memberi atau menjanjikan uang sebesar USD10.000.000 kepada pejabat di Kejaksaan Agung dan di Mahkamah Agung sesuai action plan yang dibuat PSM dan AIJ, dengan maksud supaya pejabat di Kejaksaan Agung dan di Mahkamah Agung memberikan Fatwa Mahkamah Agung (MA) melalui Kejaksaan Agung, agar pidana penjara yang dijatuhkan kepada Jocan tidak bisa dieksekusi sehingga bisa kembali ke Indonesia tanpa harus menjalani pidana. Sebagai tindak lanjut pemufakatan maka Jocan melalui Herrijadi Angga Kusuma telah menyerahkan sebagian uang dalam action plan sebesar 500.000 USD kepada AIJ di sekitar Mal Senayan City tanggal 26 November 2019 yang selanjutnya diserahkan kepada PSM yang juga berperan mem-backup di Kejaksaan Agung namun pemufakatan jahat ini tidak terlaksana karena Jocan tidak percaya dan merasa ditipu oleh PSM.
ADVERTISEMENT

Terobosan Majelis Hakim

Dari perkara pemufakatan jahat yang dilakukan oleh Jocan, PSM, dan AIJ masing masing disidangkan majelis hakim terpisah di Pengadilan Tipikor Jakarta yang ke semuanya menyatakan AIJ, PSM, dan Jocan terbukti melakukan tindak pidana pemufakatan jahat untuk melakukan penyuapan ke pejabat Mahkamah Agung melalui pihak Kejaksaan Agung. Dan penulis melihat ada beberapa terobosan yang dilakukan majelis hakim. Pertama, meskipun banyak pihak menilai pengertian pemufakatan jahat tidak terjangkau oleh pasal 103 KUHP sebagai penghubung ketentuan KUHP dengan di luar KUHP sekaligus konsep dasar asas lex specialist derogate lex generali namun ternyata majelis tetap menafsirkan makna pemufakatan jahat sesuai dimaksud dalam Pasal 88 KUHP yang berada di luar Bab yang dimaksud Pasal 103 KUHP. Kedua, majelis menafsirkan kualifikasi antara masing-masing pelaku yang bermufakat tidak harus memiliki kualifikasi yang sama sesuai putusan Mahkamah Konstitusi maupun beberapa pendapat ahli mengingat kualifikasi Jocan dan AIJ sebagai pihak swasta dan PSM Pegawai Negeri namun kualifikasi yang sama ditafsirkan majelis sebagai kesamaan kehendak bermufakat jahat untuk memberikan sesuatu ke penyelenggara negara.
ADVERTISEMENT
Beranjak dari ketiga putusan perkara pemufakatan jahat oleh Jocan, PSM dan AIJ tersebut penulis sangat mengapresiasi pandangan progresif dari Majelis Hakim Tipikor Jakarta karena dalam rangka memberantas tindak pidana korupsi sebagai extra ordinary crime yang sudah mengakar. Dibutuhkan niat yang kuat, pemahaman yang progresif dan keberanian bertindak dari masing masing penegak hukum dalam menerapkan ketentuan ketentuan hukum yang ada sepanjang sudah diketahui dan diyakini dengan alat bukti yang cukup adanya mens rea (niat jahat) sebagai inti dari penegakan hukum pidana bukan justru mencari celah di mana titik lemah yang tentu saja akan terus ada sebagai produk manusia. Di samping itu meskipun belum menjadi yurisprudensi, namun putusan majelis hakim tersebut dapat menjadi secercah cahaya untuk penegak hukum khususnya penyidik tindak pidana korupsi baik kejaksaan, KPK atau kepolisian dalam mengungkap kasus pemufakatan jahat oleh para aktor intelektual yang selalu berlindung di belakang orang lain dan tidak bisa terjamah oleh ketentuan sebagai pelaku, turut serta atau pembantuan. Bravo untuk Majelis Tipikor Jakarta dan Kejaksaan Agung. Wallahua’lam bisshawab.