Konten dari Pengguna

Suap dan Praktik Melepaskan Koruptor

Dr. Erianto N, SH. MH.
Atase Hukum KBRI RIYADH
15 April 2025 15:04 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dr. Erianto N, SH. MH. tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi suap. Foto: CrizzyStudio/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi suap. Foto: CrizzyStudio/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Kejaksaan Agung telah menetapkan Ketua PN Jaksel sekaligus mantan Wakil Ketua PN Jakpus, MAN; hakim DUM, hakim ASB, dan hakim AM selaku majelis yang menyidangkan perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor Crude Palm Oil (CPO) sebagai tersangka. Keempatnya diduga mendapat suap dari Panitera Muda Perdata PN Jakut, WG, dan dua orang pengacara berinisial MS dan AR.
ADVERTISEMENT
Kasus ini memperburuk citra penegakan hukum korupsi di Indonesia, sekaligus menambah deretan kekecewaan publik kepada pengadilan setelah maraknya diskon putusan beberapa kasus korupsi yang dituntut JPU, termasuk kasus korupsi tata kelola timah dan lainnya. Rentetan ini kontradiktif dengan semangat kejaksaan untuk terus gencar mengungkap perkara korupsi berskala besar.
Sesuai informasi sementara, Kejaksaan beralasan para tersangka diduga terlibat korupsi berupa suap menyuap dan pemberian gratifikasi kepada majelis hakim sebesar Rp 60 miliar terkait vonis lepas demi hukum (ontslag van alle recht vervolging) para terdakwa korporasi. Para terdakwa ini berasal dari dua perkara korupsi korporasi berbeda yang disidangkan oleh majelis hakim dan pengacara yang sama dari kantor hukum LKBH Mitra Justitia.
Yang pertama adalah kasus Nomor 39/Pid.Sus-TPK/2024/PN Jkt Pst dengan para terdakwa korporasi PT. Nagamas Palmoil Lestari, PT. Pelita, Agung Agrindustri, PT. Nubika Jaya, PT. Permata Hijau Palm Oleo dan PT. Permata Hijau Sawit. Sedangkan perkara kedua Nomor 40/Pid.Sus-TPK/2024/PN Jkt Pst dengan para terdakwa korporasi PT Multimas Nabati Asahan, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia dan PT Wilmar Nabati Indonesia di mana keseluruhan korporasi yang tergabung dalam Permata Hijau Group, PT Wilmar Group dan PT Musim Mas Grup.
ADVERTISEMENT
Dalam perkara pertama, penuntut umum berpendapat perbuatan para terdakwa korporasi dalam korupsi pemberian fasilitas ekspor CPO telah menyebabkan terjadi kerugian keuangan negara sebesar Rp186.430.960.865,26. Hal ini berdasarkan Laporan Hasil Audit BPKP Nomor: PE.03/SR–511/D5/01/2022 tanggal 18 Juli 2022 yang merupakan realisasi penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT) Tambahan Khusus Minyak Goreng yang sudah diterima Keluarga Penerima Manfaat (KPM).
Kerugian keuangan negara tersebut adalah akibat langsung dari terjadinya penyimpangan dalam bentuk penyalahgunaan fasilitas Persetujuan Ekspor (PE) produk CPO dan turunannya dengan memanipulasi pemenuhan persyaratan Domestic Market Obligation (DMO)/Domestic Price Obligation (DPO). Karena tidak disalurkannya DMO dan negera harus mengeluarkan dana BLT dalam rangka mengurangi beban rakyat selaku konsumen, akibatnya kerugian keuangan negara tersebut mencakup beban yang terpaksa ditanggung pemerintah dalam bentuk penyaluran BLT Tambahan Khusus Minyak Goreng untuk meminimalisasi beban 20,5 juta rumah tangga tidak mampu akibat kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng.
Ilustrasi palu sidang diketuk tanda putusan hakim dijatuhkan. Foto: Shutterstock
Majelis hakim mengakui para terdakwa korporasi telah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, akan tetapi perbuatan itu bukanlah merupakan suatu tindak pidana. Ada beberapa pertimbangan. Pertama, perbuatan para terdakwa sangat erat hubungannya dengan pelaksanaan kebijakan Kementerian Perdagangan RI terkait dengan tata kelola minyak goreng dan sudah memasuki kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagaimana telah disengketakan oleh para terdakwa dengan Menteri Perdagangan RI dan telah diputus oleh PTUN Jakarta Nomor 473/G/TF/2023/PTUN JKT tertanggal 5 Maret 2024.
ADVERTISEMENT
Kedua, perbuatan para terdakwa sangat erat hubungannya dengan perselisihan perdata dan tuntutan ganti kerugian yang sudah memasuki kewenangan Peradilan Umum sebagaimana telah di sengketakan oleh para terdakwa dengan Menteri Perdagangan RI dan telah diputus oleh PN Jakarta Pusat Nomor 230/PDT.G/2024/PN Jkt Pst tertanggal 17 Desember 2024 Jo. Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 163/PDT/2025/PT DKI tanggal 17 Februari 2025. Ketiga, kerugian keuangan negara terkait perkara pemberian fasilitas ekspor CPO dan turunannya pada Industri kelapa sawit dalam kurun waktu antara bulan Januari 2022 sampai dengan bulan Maret 2022 masih belum nyata dan pasti.
Dalam perkara kedua, penuntut umum menyatakan telah terjadi kerugian keuangan negara sebesar Rp 1.658.195.109.817,11 sesuai perhitungan BPKP Nomor : PE.03/SR-511/D5/01/2022 tanggal 18 Juli 2022 dan kerugian sektor usaha dan rumah tangga sebesar Rp8.528.936.810.738,00 sebagaimana Laporan Kajian Analisa Keuntungan Ilegal dan Kerugian Perekonomian Negara Akibat Korupsi di Sektor Minyak Goreng dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada.
ADVERTISEMENT
Dalam perkara kedua, dengan susunan majelis hakim yang sama, pertimbangan majelis bahwa para terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya akan tetapi perbuatan itu bukanlah merupakan suatu tindak pidana didasarkan kepada tiga buah pertimbangan majelis hakim di atas juga.
Sekilas pertimbangan majelis hakim dalam kedua kasus dimaksud dengan alasan hukum putusan lepas yang dijatuhkan merupakan hal wajar terjadi di dunia peradilan yang merupakan wujud independensi hakim dalam menilai suatu kasus, dan pihak yang tidak sependapat masih ada sarana untuk menguji pada tingkat pengadilan lebih tinggi yang dibenarkan undang-undang. Tapi pertanyaannya, ketika ada suap menyuap atau gratifikasi dengan nilai fantastis, Rp 60 miliar, sebagaimana yang diungkap kejaksaan, tentu independensi, objektifitas dan pertimbangan hukum yang dibuat oleh majelis hakim akan dipertanyakan banyak pihak dan sangat mustahil merupakan putusan murni dari sisi hukum.
ADVERTISEMENT

Putusan Lepas Dalam Praktik Perkara Korupsi

Ilustrasi Korupsi Foto: Thinkstock
Putusan lepas dari segala tuntutan hukum memang dimungkinkan dalam KUHAP sesuai Pasal 191 apabila pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana. Bahkan jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, terdakwa wajib diputus bebas.
Sementara itu sesuai Pasal 193 KUHAP pidana baru dapat dijatuhkan jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.
Beberapa praktik kasus korupsi yang diputus lepas di tingkat pertama atau banding namun dinyatakan bersalah di tingkat Mahkamah Agung antara lain;
Pertama, kasus tindak pidana korupsi dalam pemberian kredit oleh BJB Syariah dalam pembiayaan pembelian kios oleh 161 End User melalui PT HSK pada Garut Super Blok kepada BJB Syariah sebanyak empat kali pada tahun 2014 s/d 2015 dengan kerugian sebesar Rp. 566.448.200.000,-. Pada pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Tipikor Bandung majelis hakim menyatakan semua terdakwa dari jajaran direksi, kepala divisi kepala cabang termasuk pihak swasta penerima kredit terbukti bersalah namun di tingkat banding khusus untuk terdakwa swasta AW majelis hakim melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum dengan alasan antara lain pembiayaan didasarkan kepada perjanjian sehingga masuk ranah perdata sesuai pasal 1320 KUHPerdata.
ADVERTISEMENT
Pertimbangan majelis ini dibatalkan di tingkat kasasi karena sesuai memori kasasi penuntut umum dan berkas perkara selama persidangan ternyata majelis tingkat banding hanya mengutip keterangan yang menguntungkan terdakwa saja tanpa melihat secara keseluruhan, melihat perjanjian sebagai patokan utama padahal perjanjian dibuat hanya sebagai sarana melakukan kejahatan saja karena dibuat bertentangan dengan ketentuan pembiayaan, kelengkapan formil yang isi dan data palsu sehingga kesimpulannya berbeda.
Akhirnya dalam Putusan Tingkat Kasasi oleh Mahkamah Agung Nomor; 1399 K/Pid.Sus/2020 Tanggal 27 Juni 2022 terdakwa dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi sesuai dakwaan penuntut umum dengan hukuman 15 tahun penjara, membayar uang pengganti Rp548.259.832.594,00 subsidair 15 Tahun melebihi tuntutan penuntut umum.
Kedua, kasus anjak Piutang oleh terpidana EWK selaku direktur PT. KII kepada PT PANN Persero yang merugikan keuangan negara sebesar Rp.55.058.412.928,00. Majelis tingkat pertama Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat berpendapat perbuatan terdakwa bukan merupakan perbuatan pidana tetapi perbuatan perdata sehingga terdakwa harus lepas dari segala tuntutan hukum. Dalam memori kasasi penuntut umum yang diambil alih oleh majelis hakim tingkat kasasi, majelis hakim pertama telah membuat pertimbangan sendiri dengan mengambil pertimbangan yang menguntungkan terdakwa saja dan mengesampingkan fakta-fakta yang muncul dari alat bukti keterangan saksi saksi, ahli, surat, keterangan terdakwa serta barang bukti yang diperlihatkan di persidangan yang semuanya secara jelas tertuang dalam bagian awal putusan yang menjadi pertimbangan judex facti sementara alat bukti yang memberatkan tidak dijadikan dalam pertimbangan hakim.
ADVERTISEMENT
Begitu juga majelis judex facti malah tidak menjadikan ketentuan yang berlaku dan mengikat kegiatan anjak piutang di internal PT PANN selaku BUMN sebagai salah satu alasan dalam memberikan analisa unsur melawan hukum dalam putusan. Akhirnya Putusan Tingkat Kasasi oleh Mahkamah Agung Nomor : 1542 K/Pid.Sus/2020 Tanggal 22 Juli 2021 menyatakan terdakwa terbukti melakukan tindak pidana korupsi sesuai dakwaan penuntut umum dengan hukuman 10 tahun penjara.
Sebagai catatan dari kedua kasus yang sempat lepas di tingkat pertama maupun tingkat banding ini termasuk kasus lainnya yang berujung lepas, sementara satu sisi pembuktian kuat dimiliki JPU biasanya dari sejak persidangan sudah terlihat gelagat tidak baik dari majelis hakim dan pengacara yang terbaca dari cara dan materi pertanyaan kepada saksi apalagi saksi atau ahli a de charge dan indikasi kuat adanya permainan yang tidak baik di belakang sebuah putusan. Mudah mudahan tindakan kejaksaan mengungkap suap dalam proses peradilan korupsi ini menjadi langkah positif agar penegakan hukum di Indonesia lebih baik.
ADVERTISEMENT