Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Katebelece dan Rekomendasi untuk Ulama
26 Mei 2018 12:04 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:19 WIB
Tulisan dari Erick Yusuf tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Katebelece dan rekomendasi memang mempunyai arti yang berbeda. Namun keduanya mempunyai sifat mempengaruhi baik secara memaksa ataupun tidak. Tujuannya agar si penerima katebelece atau rekomendasi dapat menjalankan sesuai arahan.
ADVERTISEMENT
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia ketabelece dapat diartikan sebagai: 1. surat pendek untuk memberitakan hal seperlunya saja; 2. surat pengantar dari pejabat untuk urusan tertentu. Katebelece berasal dari bahasa Belanda:” kattabelletje ” yang kemudian dibahasa Indonesiakan menjadi “katebelece” yang arti awalnya ”kata peringatan“. Namun dalam pengertian saat ini ketabelece merupakan surat atau nota dari pejabat kepada bawahan yang meminta agar apa yang tercantum dalam surat tersebut diperhatikan/dilaksanakan (surat sakti).
Sedangkan rekomendasi dalam KBBI dapat diartikan hal minta perhatian bahwa orang yang disebut dapat dipercaya, baik (biasa dinyatakan dengan surat); penyuguhan; 2. saran yang menganjurkan (membenarkan, menguatkan). Rekomendasi adalah saran yang sifatnya menganjurkan, membenarkan, atau menguatkan mengenai sesuatu atau seseorang. Rekomendasi sangat penting artinya untuk meyakinkan orang lain bahwa sesuatu atau seseorang tepat dan layak.
ADVERTISEMENT
Kemarin kita mendengar heboh tentang rekomendasi 200 penceramah yang dikeluarkan oleh Kemenag. Kriterianya punya kompetensi, reputasi baik dan punya komitmen kebangsaan. Nah, berbahayanya ketika ada anggapan bahwa yang di luar 200 itu berarti tidak mempunyai kriteria tersebut.
Kemenag lewat menteri agamanya langsung menyatakan bahwa ini list sementara, masih on progress. Banyak pihak menyayangkan kenapa harus dirilis terlebih dulu. Bukankah sebaiknya dikaji dengan seksama, lewat duduk bersama dengan majelis-majelis ulama, ormas-ormas islam, masukan dari dewan masjid, majelis-majelis taklim dan banyak lagi. Agar matang dan intinya menjadi list bersama dan tidak membuat kegaduhan.
Inilah jaman instan, jaman yang terburu-buru dan diburu-buru. seakan-akan dunia dan yang didalamnya semua mesti melakukan percepatan. Awalnya boleh jadi bagus, dengan konsep efisiensi dan efektivitas. Namun seringkali akhirnya melampaui batas. Dengan konsep percepatan yang melampaui batas maka kemasan tidak lagi mencerminkan isinya. Buah dengan kulit yang indahpun, tidak terasa rasa manisnya ketika ternyata hasil proses “karbitan” atau “suntikan” alias akal-akalan. Dia tidak utuh secara hasil selayaknya buah ranum yang matang dipohonnya.
ADVERTISEMENT
Semestinya ketika terasa bahwa metode penentuan, database list rekomendasi ini belum siap, ya jangan di-launching. Musyarawah bagian penting, setelah rampung pun pertimbangan menjadi penting, belum masalah sosialisasi tak kalah penting. Bangsa ini perlu upaya penyatuan hati “ta’liful qulub”. Jangan malah membuat gaduh dan menjadi potensi untuk pengkotak-kotakan dan perpecahan.
Harapan penyatuan hati di tahun-tahun politik mungkin tak ubahnya seperti pungguk merindukan bulan, atau menunggu godot. Diperkirakan besok akan menjadi tahun gontok-gontokan, tahun cakar-cakaran, sosmed pun akan menjadi salah satu ladang “battlefield”nya. Pengamat menyatakan bangsa ini akan terbelah dua di tahun 2019. Sebagaimana pengalaman Pilkada DKI kemarin membawa dampak yang panjang. Banyak yang belum bisa move on.
Nah bayangkan kalau ini terjadi terus menerus dari mulai Pilkada sampai Pilpres dan lanjut sampai terus berulang setiap lima tahun. Karena kekhawatirannya bukan malah mendewasakan tapi malah semakin menjadi kekanak-kanakan. Lihat saja kenyataannya hari ini. Pertanyaannya sudahkah kita siap dengan sistem pemilihan “one man one vote” seperti ini?
ADVERTISEMENT
Kembali ke rekomendasi, Lalu kemana arah niatnya rekomendasi list tersebut? Apakah ini sambungan dari upaya sertifikasi ustaz dahulu?. Gelar ustaz dahulu murni berasal dari pengakuan masyarakat yang disematkan bukan karena ilmu agamanya saja tetapi juga tauladan akhlaknya.
Bisakah akhlak disertifikasi? Di zaman instan ini awalnya medialah yang berperan aktif dalam memberikan gelar tersebut. Tapi “zaman now” lewat sosmed semua orang bisa menjual dan berpromosi apapun. Muncullah ustadz jadi-jadian dengan referensi 'kyai Google' dan 'kyai Yahoo'. Boleh jadi karena alasan industrialisasi dakwah bahkan dunia dakwah pun terseret kepada proses yang instan.
Di lain pihak Rekomendasi Kemenag seakan terasa mensertifikasi atau melegalisasi mubaligh yang ada dalam list yang dicap sebagai mubaligh yang disetujui pemerintah atau “plat merah”. Namun jika kemudian yang di luar rekomendasi dampaknya menjadi seakan tak layak ceramah.
ADVERTISEMENT
Inilah kegaduhan yang saya maksud. Akan banyak pertanyaan, apalagi di list tersebut ada juga tokoh kontroversial, bahkan ada yang sudah meninggal. Malah jadi guyonan salah data, yang masuk marbotnya bukan ustaznya, hehehe. Pembicaraan seperti ini semakin ramai di sela-sela bukber Ramadan.
Ah, kembali ke apakah niat atau motif yang sebenarnya dari release atau launching list tersebut. Benarkah murni untuk membantu mengarahkan lembaga-lembaga yang meminta masukan atau seperti dugaan banyak pihak bahwa ada KATEBELECE dibelakangnya? Mari kita lihat saja, insyaallah “time will tell”.