Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Mari Memajukan Indikasi Geografis Kopi Indonesia, Dari Gayo Sampai Toraja
7 Oktober 2018 22:54 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
Tulisan dari erik mangajaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Biji kopi hitam dan hijau (Sumber, ANTARA NEWS/Shutterstock)
Beberapa hari lalu, tepatnya tanggal 1 Oktober 2018, masyarakat internasional memperingati hari kopi sedunia (International Coffee Day). Iklan kopi pun memenuhi berbagai lini media masa konvensional dan media digital.
Peringatan Hari Kopi Internasional menyegarkan ingatan para penggemar kopi akan harum dan nikmatnya kopi nusantara. Kopi Indonesia memang memiliki cita rasa yang nikmat dan khas. Kualitas kopi kita tidak kalah dari Jamican Blue Mountain Coffee atau Ethiopian Coffee yang sangat terkenal itu. Kopi Indonesia telah melegenda di dunia, sebut saja beberapa di antaranya “Kopi Arabika Gayo” atau “Kopi Arabika Toraja”.
ADVERTISEMENT
Indonesia merupakan salah satu produsen dan eksporter kopi terbesar ke – 4 di dunia setelah Brazil, Viet Nam dan Kolombia. Umumnya ekspor kopi Indonesia meliputi 3 jenis kopi yaitu robusta, arabika dan liberika. Beberapa kopi nasional yang diekspor tersebut telah mendapat perlindungan indikasi geografis yang diterbitkan oleh Ditjen Kekayaan Intelektual Kemenkumham.
Pengembangan industri indikasi geografis kopi nasional menghadapi banyak tantangan yang cukup kompleks. Ada berbagai kendala seperti misalnya pemalsuan kopi nasional ataupun perlunya penyempurnaan sistem kekayaan intelektual nasional. Untuk itulah, tulisan ini ditujukan guna memberikan beberapa masukan untuk terus memaksimalkan potensi industri indikasi geografis kopi Indonesia.
Alangkah lebih nikmat bila membaca ulasan isu indikasi geografis kopi Indonesia ini sambil meminum secangkir kopi. Namun bila saat ini tidak ada kopi di hadapan anda, silahkan meminumnya setelah selesai membaca tulisan ini.
ADVERTISEMENT
Daftar Indikasi Geografis Kopi Indonesia
Indonesia memang terkenal dengan coffee speciality atau disebut juga kopi indikasi geografis. Setiap daerah memiliki kopi yang khas rasanya. Keunikan kondisi tanah dan udara membuat rasa kopi yang berbeda-beda dari satu daerah ke daerah lainnya.
Seiring waktu, semakin tumbuh kesadaran dari tiap daerah untuk mendaftarkan kopinya sebagai sebuah indikasi geografis. Jumlah kopi yang mendapatkan serifikat perlindungan indikasi geografis semakin meningkat. "Kopi Arabika Kintamani Bali” adalah yang pertama kali mendapat sertifikat indikasi geografis pada tahun 2008.
Sampai bulan Februari 2017, ada 16 kopi terdaftar sebagai indikasi geografis Indonesia. Seperti terlihat dari gambar di bawah ini, ketiga jenis kopi baik kopi arabika, kopi robusta dan kopi liberika telah mendapat serifikat indikasi geografis.
Daftar Indikasi Geografis Kopi Indonesia (Sumber, Kementerian Pertanian 2017)
ADVERTISEMENT
Sesuai laman Ditjen Kekayaan Intelektual Kemenkumham, sampai Juli 2018, jumlah indikasi geografis kopi terdaftar meningkat pesat menjadi 24 buah. Kopi yang paling akhir terdaftar sebagai indikasi geografis adalah “Kopi Arabika Pulo Samosir”. Bila kita buat peta indikasi geografis kopi Indonesia maka akan terlihat bahwa seluruh indikasi geografis kopi nusantara membentang dari belahan barat nusantara, di Gayo, sampai belahan timur nusantara, di Toraja.
Jumlah indikasi geografis kopi terdaftar dipercaya akan terus bertambah. Masih banyak daerah yang berpotensi untuk mendaftarkan kopinya sebagai indikasi geografis. Nampaknya, Indonesia dapat menjadi negara yang memiliki indikasi geografis kopi terbanyak di dunia. Hal ini niscaya dapat dicapai bila ada improvement secara terus menerus dalam sistem indikasi geografis nasional.
ADVERTISEMENT
Aturan Hukum Indikasi Geografis
Apa itu indikasi geografis? Sesuai UU No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis ( UU No. 20 Tahun 2016), indikasi geografis merupakan suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu produk. Faktor alam dan faktor manusia atau kombinasi keduanya akan menghasilkan reputasi, kualitas dan karakteristik khusus suatu produk daerah. Nama “Kopi Arabika Gayo” misalnya, menunjukkan asal kopi, yaitu Gayo yang berjenis Arabika. Karena pengetahuan tradisional kelompok masyarakat Gayo dalam mengolah kopi, maka kopi tersebut memenuhi standar spesialisasi kopi yang ditetapkan para Tim Ahli Pemeriksa Indikasi Geografis.
Setiap produk yang telah memperoleh sertifikat indikasi geografis akan mendapatkan perlindungan hukum yang kuat. Untuk menunjukkan indikasi geografis tersebut, setiap produk memiliki logo Indikasi Geografis Indonesia. Berikut ini adalah salah satu contoh logo Indikasi Geografis “Kopi Arabika Kintamani Bali”.
Logo "Kopi Arabika Kintamani Bali" (Sumber: Ditjen Kekayaan Intelektual Kemenkumham)
ADVERTISEMENT
Melalui logo ini, diharapkan kita dapat membedakan mana kopi asli arabika dari Kintamani, Bali yang telah lulus uji mutu dan memperoleh sertifikasi indikasi geografis.
Indikasi geografis bukanlah hak milik perseorangan, namun milik komunal. UU No. 20 Tahun 2016 menetapkan bahwa pemilik indikasi geografis dapat berupa Pemda atau lembaga masyarakat yang biasa disebut sebagai Masyarakat Peduli Indikasi Geografis (MPIG). Sebagai contoh, pemegang hak perlindungan “Kopi Robusta Semendo” adalah MPIG Apit Jurai.
Perlindungan Indikasi geografis akan diberikan pada suatu produk selama terjaganya reputasi, kualitas, dan karakteristik yang menjadi dasar diberikannya perlindungan indikasi geografis pada suatu produk. Spesifikasi kualitas akan terlihat secara jelas dan rinci dalam Buku Indikasi Geografis yang diterbitkan Ditjen kekayaan Intelektual Kemenkumham.
ADVERTISEMENT
Kebijakan mengenai indikasi geografis di berbagai negara berbeda-beda. Indonesia adalah salah satu negara yang menganut sistem khusus (sui generis) indikasi geografis. Artinya, indikasi geografis berdiri sebagai rejim hukum yang berbeda dari rejim hukum kekayaan intelektual lainnya.
Sering kali terjadi kesalahpahaman di khayalak umum bahwa indikasi geografis sama dengan hak paten. Sesuai perundangan yang berlaku, sesungguhnya jelas sekali bahwa indikasi geografis itu berbeda dari paten. Bahkan, berbeda dari merek dagang (trademark) ataupun hak cipta (copy rights).
Beberapa negara tidak menganut sistem indikasi geografis seperti Indonesia. Amerika Serikat dan Australia misalnya, hanya mengakui indikasi geografis untuk produk wine and spirit. Produk lain di luar wine and spirit akan dilindungi melalui merek ataupun merek kolektif (collective mark). Dengan demikian, masa perlindungan produk yang bukan wine and spirit menjadi terbatas, sesuai masa perlindungan merek atau merek kolektif.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, “Kopi Arabika Sumatera Lintong” tidak dapat didaftarkan sebagai indikasi geografis di Amerika Serikat, namun sebagai merek atau merek kolektif. Akibatnya, masa perlindungan kopi tersebut menjadi terbatas sampai jangka waktu berlaku sesuai keberlakuan merek di Amerika Serikat. Hal ini tentunya tidak akan menguntungkan Indonesia sebagai produsen indikasi geografis. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, masa perlindungan indikasi geografis seharusnya tidak dibatasi sampai jangka waktu tertentu seperti sistem merek. Masa perlindungan indikasi geografis tidak terbatas, kecuali reputasi dan kualitas barangnya telah hilang.
Kasus Pemalsuan Kopi Indonesia
Terdapat dugaan telah terjadi berbagai pelanggaran indikasi geografis kopi Indonesia. Banyak pihak asing yang mengklaim kepemilikan kopi Indonesia. Ada 2 jenis kopi yang keasliannya banyak dilanggar, yaitu kopi arabika dari Toraja dan Gayo. Beberapa pelanggaran tersebut antara lain: (i) Pelanggaran Kopi Arabika Toraja dengan pendaftaraan merek “Toarco Toraja Coffee” di Jepang; (ii) Pelanggaran Kopi Arabika Gayo oleh merek “Wild Gayo Luwak” di Amerika Serikat, merek “Gayo Mountain Coffee”, dan merek “Amaro Gayo Coffee” oleh warga negara Inggris, serta merek “Equador: Sumatra Gayo Mountain”. Pelanggaran tersebut berpotensi merugikan secara ekonomi karena mengancam pangsa pasar ekspor kopi nasional.
ADVERTISEMENT
Penulis melihat ada beberapa upaya yang dapat dilakukan dalam melindungi indikasi geografis di luar negeri, antara lain: (i) Pendaftaran indikasi geografis secara langsung di negara asing; (ii) Membuat perjanjian internasional secara bilateral mengenai pengakuan dan pertukaran daftar indikasi geografis; (iii) Pendaftaran melalui organisasi internasional seperti WIPO. Pendaftaran indikasi geografis secara langsung di luar negeri atau perjanjian pengakuan dan pertukaran daftar indikasi geografis hanya dapat dilakukan dengan negara yang memiliki sistem indikasi geografis. Bila negara mitra tidak menganut indikasi geografis maka akan sulit mendaftarkan indikasi geografis di negara tersebut. Adapun pendaftaran melalui WIPO hanya dapat dilakukan setelah Indonesia menjadi pihak dalam Lisbon Treaty ataupun Geneva Act on Geographical Indication tahun 2015.
ADVERTISEMENT
Kembali pada kasus pelanggaran terhadap indikasi geografis kopi lndonesia, UU No. 20 tahun 2016 tidak memberi petunjuk yang jelas mengenai upaya perlindungan di luar negeri. Tidak ada aturan dalam UU No. 20 Tahun 2016 yang secara eksplisit menetapkan peran negara dalam mengatasi pelanggaran indikasi geografis di luar negeri. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah mengajukan gugatan pembatalan merek yang menggunakan nama indikasi geografis Indonesia. Namun demikian, biaya dan proses litigasi sangatlah rumit dan memakan waktu lama serta cukup mahal. MPIG belum mampu untuk melakukan litigasi tersebut sendirian. Oleh karena itu, kiranya dapat ditetapkan kebijakan pemerintah mengenai penanganan kasus pelanggaran indikasi geografis Indonesia di luar negeri.
Saran Pengembangan Sistem Indikasi Geografis Kopi Indonesia
ADVERTISEMENT
Selain beberapa usulan untuk mengatasi pelanggaran indikasi geografis Indonesia di luar negeri di atas, terdapat berbagai upaya untuk mendukung pengembangan indikasi geografis kopi Indonesia, antara lain:
1. Melakukan kajian lebih lanjut mengenai model terbaik pembentukan dan pengelolaan MPIG kopi Indonesia. Penulis melihat, sampai saat ini belum ada kajian mengenai model MPIG tersebut. Kiranya ke depan dapat dibuat panduan dasar model pembentukan MPIG. Model ini diperlukan untuk memaksimalkan potensi ekonomi lokal masyarakat dan mencegah terjadinya penguasaan tanah di daerah oleh investor pendatang bermodal besar.
2. Menjadikan kawasan indikasi geografis sebagai wilayah eco-tourism. Kendatipun bukan contoh apple to apple indikasi geografis kopi, namun lesson learn Pemerintah Swiss dalam mengembangkan kawasan Gruyere yang terkenal dengan Keju Gruyere-nya, patut dicontoh. Daerah produk kopi indikasi geografis dapat dijadikan kawasan destinasi pariwisata andalan.
ADVERTISEMENT
3. Menggalakkan peran Pemerintah dalam promosi dagang maupun mendorong research and development. Perlu ada upaya sistematis dari Pemerintah untuk membantu peningkatan kualitas ekspor kopi indikasi geografis Indonesia mengingat tingginya standar health and phytosanitary beberapa negara tujuan ekspor. Selain itu, perlu dikembangkan inovasi produk turunan indikasi geografis kopi nasional yang memiliki value added.
4. Mempertimbangkan agar di masa datang terbentuk suatu UU khusus mengenai indikasi geografis. Pendekatan UU No. 20 Tahun 2016 dirasa masih bersifat parsial dan terlalu fokus pada aspek pendaftaran (registrasi) dan penegakan hukum. Untuk mamaksimalkan koordinasi berbagai kementerian terkait dan menghilangkan ego sektoral yang ada, diperlukan suatu UU yang mengatur pengembangan hulu hingga hilir (value chain). Dirasakan perlu adanya suatu UU yang mengatur secara komprehensif berbagai aspek, seperti antara lain penelitian dan pengembangan (research and development), pemeliharaan dan perlindungan lingkungan hidup, promosi dan komersialisasi perdagangan baik di dalam negeri ataupun di luar negeri.
ADVERTISEMENT
5. Mengarusutamakan isu indikasi geografis dalam implementasi berbagai peraturan perundungan. Peraturan implementasi berbagai perundangan seperti antara lain UU Pertanian, UU Lingkungan Hidup, UU Tata Ruang dan UU Pemajuan Kebudayaan perlu mendukung industri indikasi geografis Indonesia.
6. Memasukan elemen perlindungan indikasi geografis dalam RUU Masyarakat Adat. Diharapkan indikasi geografis dapat membantu ekonomi kreatif masyarakat lokal berbasis tradisi.
7. Perlu dilakukan penyempurnaan beberapa pengaturan dalam UU No. 20 Tahun 2016, antara lain:
a. Melakukan kajian lebih lanjut atas concern banyak negara mitra yang berpandangan bahwa ketentuan Pasal 68 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2016 bertentangan dengan Pasal 24 ayat (5) TRIPS. Sesuai Pasal 68 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2016, indikasi geografis akan dimenangkan atas merek. Suatu merek hanya dapat berlaku dalam waktu 2 (dua) tahun setelah indikasi geografis dikabulkan. Ketentuan ini dianggap tidak sesuai dengan TRIPS yang mengatur bahwa baik merek dan indikasi geografis seharusnya dapat hidup bersamaan (koeksisten).
ADVERTISEMENT
b. Mengkaji kemungkinan diterapkannya prinsip resiprositas dalam koeksistensi antara merek dan indikasi geografis. UU No. 20 Tahun 2016 tidak memiliki ketentuan mengenai prinsip resiprositas tersebut. Sebagai akibatnya, keberlakuan Pasal 68 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2016 akan lebih cenderung menguntungkan mitra asing. Dapat penulis contohkan, Uni Eropa yang menganut sistem koeksistensi tidak akan menghapus suatu merek yang menggunakan nama indikasi geografis Kopi Arabika Gayo dari Indonesia. Hal ini jelas berbeda dengan Pasal 68 ayat (2) UU No. 20 tahun 2016 yang memenangkan indikasi geografis Uni Eropa atas merek apapun yang terdaftar di Indonesia.
c. Memperjelas apa yang dimaksud dengan kata-kata "tidak berhak mendaftar" dalam Pasal 68 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2018. Apakah maksudnya pemegang merek dapat terus menggunakan suatu merek yang sama dengan indikasi geografis bila sudah ada izin terlebih dahulu dari MPIG atau Pemda?
ADVERTISEMENT
d. Memfinalisasi Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) mengenai pedaftaran indikasi geografis melalui perjanjian internasional. Hal ini diperlukan dalam rangka melaksanakan Pasal 55 UU No. 20 tahun 2016 yang menetapkan bahwa pendaftaran indikasi geografis dapat dilakukan melalui melalui perjanjian internasional (treaties) dan pengaturannya diatur lebih lanjut melalui Permenkumham. Selain itu, perlu diperkuat koordinasi dengan Kementerian/Lembaga terkait seperti Kemenlu dan Kemendag dalam negosiasi penyusunan perjanjian internasional mengenai indikasi geografis agar sesuai dengan kepentingan nasional.
Penutup
Berbagai masukan di atas kiranya dapat dipertimbangkan untuk dilaksanakan oleh stakeholders nasional. Melalui upaya kolektif (concerted effort) seluruh komponen bangsa, semoga kopi Indonesia semakin mendunia dan semakin mengukuhkan posisinya di pasar global. Lebih lanjut, diharapkan pemajuan sistem indikasi geografis mampu meningkatkan kesejahteraan para petani kecil nasional. Kitapun sebagai para penikmat kopi nusantara tentunya akan semakin puas dengan peningkatan kualitas kopi dalam negeri.
Mari kita majukan indikasi geografis kopi nasional. Salam seruput kopi nusantara!
ADVERTISEMENT
Erik Mangajaya, salah seorang Delegasi Republik Indonesia pada Perundingan Konferensi Diplomatik mengenai Pengesahan Geneva Act Tahun 2015 tentang Indikasi Geografis. Seluruh tulisan ini adalah tanggung jawab sepenuhnya penulis.
Live Update