Putusan MK atas Uji Materi UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional

Konten dari Pengguna
27 November 2018 23:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari erik mangajaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Gedung Mahkamah Konstitusi (sumber: Foto oleh Aditia Noviansyah/kumparan)
Putusan Mahkamah Konstitusi
ADVERTISEMENT
Mahkamah Konsitusi (MK) kembali menorehkan tonggak sejarah baru dalam diplomasi dan hukum internasional, khususnya isu perdagangan dan investasi internasional.
Beberapa hari lalu, tepatnya tanggal 22 November 2018, MK memutus uji material mengenai Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (UUPI). Putusan perkara No. 13/PUU-XVI/2018 dapat diakses melalui laman www.mkri.go.id.
Gugatan uji material dilakukan oleh beberapa kelompok madani dan para petambak garam tradisional seperti disebut dalam dokumen amar putusan. Pokok persoalan dalam gugatan adalah apakah seluruh perjanjian internasional harus mendapat pengesahan terlebih dahulu dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mengikat dan berlaku di Indonesia? Gugatan pembatalan diajukan terhadap Pasal 2, Pasal 9 ayat (2), Pasal 10 dan Pasal 11 ayat (1) UUPI.
ADVERTISEMENT
Dalam gugatan disebutkan bahwa:
Kesalahan dalam mengkualifikasikan perjanjian internasional tentunya akan berdampak terhadap hilangnya kontrol rakyat yang direpresentasikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk secara hati-hati mengikatkan Indonesia kepada perjanjian internasional yang akan membawa dampak secara langsung terhadap kedaulatan negara. Sehingga hak-hak rakyat tidak akan dirugikan dan tidak akan dilanggar atas penerapan perjanjian internasional ke dalam hukum nasional.”
Selanjutnya disebutkan bahwa: “…kewenangan persetujuan DPR sebagai representasi rakyat dihilangkan dalam Undang-Undang No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
Para hakim MK dalam putusannya menyatakan untuk menolak tiga permohonan pembatalan atas Pasal 2, Pasal 9 (2) dan Pasal 11 (1), namun menerima satu permohonan pembatalan Pasal 10 UUPI. MK memutus bahwa Pasal 10 UUPI dinyatakan tidak berlaku sebab bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 11 ayat (2) dan Pasal 28 D ayat (1).
ADVERTISEMENT
Ketentuan Pasal 10 UUPI dianggap bertentangan dengan UUD 1945 karena frase “menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang” yang dimuat dalam Pasal 11 ayat (2) UUD 1945” telah dimaknai secara terbatas dalam 6 jenis perjanjian saja yang wajib mendapat persetujuan DPR (Pasal 10 huruf a - f UUPI). Selain itu, Pasal 10 dinilai menciptakan norma hukum baru yang tidak sesuai dengan UUD 1945. Seharusnya, norma hukum lebih rendah tidak boleh menciptakan norma hukum baru yang tidak diatur oleh hukum yang lebih tinggi.
Selain itu, Mahkamah juga menegaskan bahwa proses konsultasi dengan DPR dan proses permintaan persetujuan DPR adalah dua hal yang berbeda. Lembaga konsultasi masih tetap dapat dilakukan dan bukan serta merta menggantikan proses permintaan persetujuan dari DPR.
Sidang Uji Material UU Perjanjian Internasional di Mahkamah Konstitusi (sumber: https://www.kemlu.go.id)
ADVERTISEMENT
Signifikansi Putusan MK
Melihat putusan MK, penulis mencatat beberapa hal penting, antara lain:
a. Putusan MK meluruskan bahwa tidak semua perjanjian internasional harus mendapat persetujuan DPR. Mahkamah menyatakan: “…menurut praktik yang umum berlaku hingga saat ini, tidak selalu dipersyaratkan adanya persetujuan lembaga perwakilan rakyat atau parlemen jika perjanjian demikian tidak dianggap penting menurut negara yang bersangkutan…
b. MK menekankan kriteria perjanjian internasional yang pengesahannya perlu mendapat persetujuan DPR sebagaimana diatur Pasal 11 ayat (2) UUD 1945, yaitu: “menimbulkan akibat yang luas dan mendasar yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang”
c. Sesungguhnya isu kriteria untuk menentukan perjanjian internasional mana yang perlu persetujuan DPR bukanlah hal baru. Hal ini pernah dibahas dalam UU yang mengatur mengenai MPR, DPR, DPRD dan DPD atau yang biasa disebut dengan UU MD3. Selain itu, pada dasarnya “problem kriteria perjanjian mana” telah menjadi pembahasan dalam proses revisi UUPI yang sedang dibahas Kemenlu.
ADVERTISEMENT
d. Putusan MK dapat ditafsirkan dari dua sisi sekaligus, yaitu memperluas dan mempersempit kriteria perjanjian internasional yang harus disahkan dengan undang-undang (persetujuan DPR). Penjelasannya sebagai sebagai berikut:
(i) Dikatakan memperluas karena menambah bidang perjanjian internasional lain yang harus mendapat persetujuan DPR, dari yang tadinya hanya meliputi 6 (enam) area seperti diatur Pasal 10 UUPI, yaitu (a) politik; (b) Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara; (c) Kedaulatan atau hak berdaulat negara; (d) hak asasi manusia dan lingkungan hidup; (e) pembentukan kaidah hukum baru; dan (f) pinjaman dana atau hibah luar negeri, ditambahkan area perjanjian internasional lain yang menimbulkan akibat luas dan mendasar yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang.
ADVERTISEMENT
(ii) Dikatakan mempersempit karena tidak semua jenis perjanjian harus memperoleh persetujuan DPR. Kendatipun suatu perjanjian masuk kategori Pasal 10 UUPI misalnya, masih perlu dilihat apakah perjanjian tersebut menimbulkan akibat luas dan mendasar yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang, sehingga perlu disahkan melalui UU (persetujuan DPR).
e. Selain itu, putusan MK menyentuh isu doktrin monisme dan dualisme hukum nasional dan hukum internasional. MK menyatakan bahwa "harus dibedakan antara pengesahan perjanjian internasional menurut hukum internasional dan pengesahan perjanjian internasional menurut hukum nasional" (hlm. 256 putusan).
Isu Hot: Perjanjian di Bidang Ekonomi dan Investasi
Penulis melihat bahwa keputusan MK ini menarik bukan saja dari segi praktik, namun juga dari segi akademis. Debat akademis ini secara tegas disebut dalam dokumen putusan. Selain itu, isu ini bukan saja mengenai isu hukum, tetapi juga isu politis, khususnya peran DPR dalam hubungan internasional dan perjanjian internasional. Putusan MK menegaskan bahwa peran parlemen sangat signifikan dalam pengesahan perjanjian internasional, khususnya di bidang ekonomi.
ADVERTISEMENT
Dalam “Pernyataan Tim Advokasi Keadilan Ekonomi Pasca Putusan MK tentang UU Perjanjian Internasional”, ada dua jenis perjanjian internasional di bidang ekonomi yang sangat dikritisi dan menjadi perhatian utama, yaitu perjanjian perdagangan bebas dan perjanjian investasi.
Seperti biasa, bukankah isu kapitalisme pasar bebas dan investasi merupakan komoditas politik yang sangat sensitif dan menarik dibahas?
Merujuk dokumen putusan MK, disebutkan Menlu RI dalam rapat dengan Komisi I DPR tanggal 31 Januari 2018 menyatakan bahwa Pemerintah saat ini sedang berupaya menyelesaikan berbagai perjanjian di bidang ekonomi seperti antara lain Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), Indonesia-Chile Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA), ASEAN-Hong Kong Free Trade Area (FTA), Indonesia-Australia CEPA (IA CEPA), Indonesia-European Free Trade Association (EFTA) CEPA, Indonesia-Uni Eropa CEPA (IE CEPA), Indonesia- Turki CEPA, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Penulis melihat bahwa isu pengesahan perjanjian di bidang perdagangan internasional memang menarik dikaji sebab teks Pasal 10 UUPI tidak mengatur secara spesifik isu ini. Perjanjian perdagangan internasional diatur dalam UU lainnya, yaitu UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Ketentuan Bab XII (Pasal 82-87) mengatur mengenai proses konsultasi dengan DPR dan ratifikasi perjanjian perdagangan.
Pasal 83 ayat (3) huruf (a) UU Perdagangan mengatur bahwa perjanjian yang memerlukan pengesahan DPR adalah perjanjian yang “menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang…” Tetapi, rasanya masih perlu ada kejelasan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan “menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan” (hlm. 256 putusan).
ADVERTISEMENT
Adapun isu investasi juga tidak kalah menarik. Selain tidak diatur secara spesifik dalam Pasal 10 UUPI, ternyata UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal juga tidak mengatur secara tegas apakah perjanjian internasional di bidang investasi seperti misalnya Perjanjian Promosi dan Perlindungan Penanaman Modal (P4) atau Bilateral Investment Treaty (BIT) memerlukan persetujuan DPR atau tidak.
Selain isu perdagangan internasional dan investasi, isu pengesahan perjanjian hibah melalui UU pun perlu dikaji. Pasal 10 ayat (f) UUPI dan Pasal 23 UU N. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengatur bahwa perjanjian hibah internasional memerlukan persetujuan DPR. Dalam praktiknya pengesahan melalui DPR ini tidak dilakukan. Selain itu, ada beberapa perjanjian hibah yang dibuat dalam bentuk kontraktual atau exchange of notes.
ADVERTISEMENT
Beberapa Saran:
Melihat keputusan MK mengenai uji material atas UUPI, terdapat beberapa hal yang penulis dapat usulkan sebagai berikut:
1. Pemerintah perlu segera membahas putusan MK tersebut, khususnya kriteria perjanjian internasional mana yang memerlukan persetujuan DPR. Pemerintah sebaiknya mengkaji lebih lanjut batasan kriteria "akibat yang luas dan mendasar yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang". Kiranya dapat diperjelas lebih lanjut apa yang dimaksud dengan putusan MK yang menyatakan "hal itu tidak dapat ditentukan secara limitatif melainkan harus dinilai secara kasuistis berdasarkan pertimbangan dan perkembangan kebutuhan hukum secara nasional maupun internasional" (hlm. 256 putusan).
2. Perlu dikaji bersama mekanisme konsultasi dengan DPR dan jangka waktu konsultasi. Pertama, bagaimana prosedur mekansime konsultasi dengan DPR dapat dilakukan. Kedua, perlu diantisipasi ekses proses yang berlarut-larut sehingga menggantung proses negosiasi perjanjian internasional yang sedang berlangsung.
ADVERTISEMENT
3. Revisi UUPI perlu segera difinalisasi. Revisi UUPI sebaiknya tidak terjebak pada isu listing jenis perjanjian (listing based) seperti Pasal 10 UUPI, tetapi bersifat komprehensif dan lebih menegaskan kriteria "akibat yang luas dan mendasar yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang" (substantive issue).
4. Isu perjanjian internasional adalah isu yang sangat luas, sehingga diperlukan koordinasi bukan saja dengan Komisi 1 yang menangani urusan luar negeri, tetapi juga komisi lain di DPR terkait isu-isu tematis lainnya.
5. Masih banyak aspek lain yang perlu dikaji bersama secara komprehensif dan karenanya diperlukan penelaahan lebih lanjut putusan MK ini secara lebih mendalam.
Tulisan ini adalah pandangan pribadi. Segala isi tulisan merupakan tanggung jawab pribadi penulis.
ADVERTISEMENT