Mengulas Novel "Sekali Peristiwa di Banten Selatan" Karya Pramoedya Ananta Toer

Erika Dwi Febriyanti
Mahasiswi Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
25 Oktober 2022 21:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Erika Dwi Febriyanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Identitas Buku :
Judul : Sekali Peristiwa di Banten Selatan
ADVERTISEMENT
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara
Tebal : 128 Halaman
Tahun Terbit: 1958
Novel ini merupakan hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Pramoedya Ananta Toer di wilayah Banten Selatan pada akhir tahun 1957. Masyarakat di sana miskin dan tidak berdaya tetapi rentan penjarahan dan pembunuhan. Pemeran utama novel ini adalah Ranta, dia dipaksa Juragan Musa untuk mencuri bibit karet. Namun setelah mendapatkan bibit karet tersebut, Ranta justru diberi upah pukulan dan malah dituduh mencuri agar Juragan Musa tidak perlu membayarnya. Ada dua orang pemikul singkong yang sempat singgah di rumah Ranta, salah satu dari mereka bercerita bahwa dia juga pernah mengalami hal yang sama. Mereka mulai mencurigai bahwa Juragan Musa merupakan salah satu bagian dari DI/TII. Mereka heran mengapa rakyat kecil tak luput dari rampasan dan siksaan, sedangkan Juragan Musa yang merupakan tuan tanah yang kaya, tak pernah sekalipun disiksa oleh DI/TII. Lalu Ranta, Ireng dan dua pemikul singkong tersebut pergi melapor kepada komandan. Setelah menerima laporan tersebut, komandan segera pergi menemui Juragan Musa. Sampai di rumah Juragan Musa, mereka mendengar pertengkaran antara Juragan Musa dengan istrinya. Sang istri baru mengetahui bahwa Juragan Musa merupakan salah satu anggota dari DI/TII. Hal itu juga dibuktikan dengan adanya tas yang berisi surat-surat tentang DI/TII yang dibawa Ranta saat tas itu terjatuh di rumahnya, tetapi Juragan Musa masih tidak mau mengakuinya. Ketika mereka masih melakukan interogasi di rumah Juragan Musa, datanglah pak Lurah. Ranta dan yang lainnya bersembunyi dan mengancam Juragan Musa agar tidak memberi tahu keberadaan mereka. Dari persembunyian ini terbukti bahwa Pak Lurah dan pasukan DI/TII akan menyerang markas dari komandan. Mereka juga mendapatkan bukti yang sudah jelas bahwa Juragan Musa dan Pak Lurah merupakan anggota dari DI/TII, lalu komandan langsung menahan Juragan Musa. Sebagai ucapan terima kasih kepada Ranta, komandan mengangkat Ranta menjadi Pak Lurah untuk menggantikan Lurah sebelumnya. Makin hari keadaan di wilayah Banten Selatan makin membaik. Namun Ranta selalu berwaspada, karena dia yakin bahwa suatu hari pasukan DI/TII pasti akan membalas dendam. Oleh karena itu, Ranta mengumpulkan semua masyarakat untuk saling bergotong royong dalam melawan pasukan DI/TII. Karena semangat gotong royong dari masyarakat yang ada di wilayah Banten Selatan ini, mereka berhasil melawan pasukan DI/TII. Setelah keadaan telah membaik, Ranta dan masyarakat sekitar bergotong royong untuk membangun dan memperbaiki vitalitas desa, seperti mendirikan sekolah agar mereka bisa membaca dan menulis. Selain itu, mereka juga membangun ladang dan waduk untuk mengelola ikan. Dan sekarang mereka semua dapat hidup dengan damai di tanah mereka sendiri. Dalam novel ini Pram menceritakan tentang penindasan yang dilakukan oleh DI/TII kepada rakyat yang lemah. Orang kuat akan tetap kuat, sedangkan rakyat lemah akan makin lemah. Oleh sebab itu, Pram menitipkan rasa semangat, persatuan, dan daya juang kepada tokoh Ranta dengan mengajak seluruh masyarakat bergotong royong memberantas para penindas tersebut. Salah satu ucapan Ranta yang menarik perhatian saya adalah “Di mana-mana aku selalu dengar, yang benar juga akhirnya yang menang itu benar, benar sekali. Tetapi kapan?, kebenaran tidak datang dari langit, tetapi dia mesti diperjuangkan untuk menjadi benar.” Kalimat ini seakan menjadi semangat Ranta untuk menegakkan kebenaran. Novel ini memiliki alur maju, dimulai dengan kesengsaraan rakyat yang ditindas oleh pasukan DI/TII, tentang bagaimana persatuan dan perjuangan rakyat dalam melawan pasukan DI/TII dan diakhiri dengan kemenangan. Bagian orientasi, konflik, klimaks dan antiklimaks jelas dan tertata. Saya berharap pembaca seperti saya yang tidak terlalu tertarik dengan cerita sejarah dapat menikmati cerita dan merasakan semua emosi yang dirasakan para tokohnya. Namun saya menemukan kekurangan dalam novel ini, yaitu pada saat peperangan antar masyarakat dengan DI/TII kurang tergambarkan. Sehingga, saya kurang merasakan bagaimana perasaan kemenangan yang dirasakan oleh masyarakat. Meski Ranta sempat menjelaskan tentang bagaimana strategi yang dilakukan oleh masyarakat dalam melawan pasukan DI/TII. Masyarakat yang hanya mengandalkan bambu runcing dan jebakan ranjau, sedangkan pasukan Darul Islam membawa senjata api. Itulah sekilas resensi dari novel yang berjudul “Sekali Peristiwa di Banten Selatan” yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer. Amanat yang bisa diambil dari novel ini adalah bagaimana sikap semangat gotong royong, kerja sama, menjunjung persatuan, dan tidak berputus asa dalam mencari kebenaran. Dengan membaca novel ini, akhirnya saya mengetahui apa yang terjadi, yang dialami, dan yang diperjuangkan oleh masyarakat di wilayah Banten Selatan pada tahun 1957.
ADVERTISEMENT