Konten dari Pengguna

Sejarah: Latar Belakang Lahirnya Manifes Kebudayaan

Erika Dwi Febriyanti
Mahasiswi Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
20 Juni 2022 15:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Erika Dwi Febriyanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: PEXELS
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: PEXELS
ADVERTISEMENT
Manifes Kebudayaan merupakan istilah yang ditemukan pada masa orde lama yang mengusung konsep kebudayaan humanisme universal dan Manifestasi ini diciptakan untuk menyeimbangkan dan mengurangi realisme sosial dan dominasi dari golongan kiri. Wiratmo Soekito, Taufi Quismile, Arif Budyman dan Goe Asagoe Muhammad adalah para penggagas dari manifestasi ini. Terinspirasi oleh semangat universal humanisme yang pertama kali diungkapkan dalam kualifikasi Gelanggang, manifesto ini antara lain menyerukan pentingnya partisipasi semua sektor dalam perjuangan budaya Indonesia.
ADVERTISEMENT
Manifesto itu sendiri tidak merinci langkah-langkah apa yang perlu dilakukan untuk “memperjuangkan harkat dan martabat kita sebagai bangsa Indonesia di tengah-tengah masyarakat tanah air”. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pokok-pokok yang disampaikan sebenarnya tidak bertentangan dengan semangat zaman, “Saya ingin memperbaiki keadaan hidup manusia”. Mungkin satu-satunya prinsip yang membedakan mereka adalah menolak hubungan antara budaya dan kekuasaan posisi Sutan Takdir Alishabana dalam debat budaya tahun 1930-an. Oleh karena itu, posisi Lekra mengutamakan kemajuan kebudayaan rakyat untuk membebaskan kaum tertindas yaitu kaum buruh dan tani yang dipandang sebagai upaya mempolitisasi gerakan budaya dan mengancam keunggulan prinsip-prinsip estetika dengan slogan verbal belaka.
Manifestasi Kebudayaan atau yang biasa disebut Manikebu, berbeda dengan Lekra baik dalam kelompok seni maupun budaya. Manikebu bukanlah organisasi atau lembaga dengan kerangka organisasi yang jelas. Kelompok kebudayaan ini juga ada dalam sejarah yang ditentukan oleh faktor politik dan telah dideklarasikan pada 24 Agustus 1963. Keunggulan Lekra sebagai lembaga kebudayaan dan sebagai kelompok yang sangat dekat dengan penguasa waktu itu oleh PKI maupun Soekarno untuk mengungkapkan penentangannya terhadap gagasan-gagasan budaya yang dimunculkan untuk mengekspresikan Lekra.
ADVERTISEMENT
Secara khusus, cenderung menjadi "seni untuk rakyat" dan "politik adalah panglima tertinggi", dan manikebu ini sendiri memiliki jargonnya sendiri yang disebut humanisme universal. Di bagian ini kita akan menemukan kronologi dari pembuatan Manifes Budaya hingga hari-hari awal konfrontasinya dengan Lekra. Dengan menelusuri perkembangan Sentral Organisasi Karyawan Seluruh Indonesia atau yang disebut SOKSI dari keinginan militer untuk membentuk serikat pekerja untuk bersaing dengan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). SOKSI mencoba bersaing dengan Lekra dengan membentuk semacam kelompok budaya yang juga bisa bersaing dengan kekuasaan Lekra
Ivan Simatupang adalah salah satu pengarang yang berwenang membentuk kelompok budaya. Namun upaya Ivan Simatupan gagal hingga rencana tersebut diambil alih oleh Willatomo Soekito. Proses pembentukan Manikebu sangat menarik sejak "perencanaan" konstruksi, karena militerlah yang memulai pembentukan Manikebu. Proses pembentukan Manikebu di tangan militer sangat membingungkan, namun menurut Alex Spartno ada dua alasan mengapa militer membutuhkan kelompok budaya. Alasannya yang pertama adalah bahwa perimbangan kekuatan politik dengan massa yang diorganisir di bawah Front Nasional Nasakom membuat militer sulit menggunakan "metode militeristik" untuk mencapai tujuannya. Alasan yang kedua sejak pemilu 1955, mereka telah mengakui peran budaya dalam memobilisasi kekuatan massa.
ADVERTISEMENT
Dalam kampanye PKI yang biasanya selalu menjadi pesta rakyat dan kebetulan didukung oleh anggota yang juga anggota Lekra. Dari sini dapat kita lihat bahwa (mereka) memiliki kekuatan politik (massa), dan kekuatan budaya yang dibutuhkan untuk melawan kekuatan politik seperti Lekra, karena inilah militer memilih Manikebu. Setelah melakukan pekerjaan yang sebelumnya ditugaskan oleh Ivan Simatupan, Willatomo menyetujui persyaratan bahwa ia akan melakukan konsepsi. Naskah Manifes Kebudayaan diselesaikan oleh Wiratmo Soekito pada tanggal 17 Agustus 1963 pukul 04.00. Naskah tersebut kemudian diserahkan kepada Goenawan Mohammad dan Bokor Futashat untuk didiskusikan dengan seniman dan penulis lain. Naskah tersebut berisi:
“Kami para seniman dan cendekiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah Manifes Kebudayaan yang menyatakan pendirian, cita-cita dan politik Kebudayaan Nasional kami.
ADVERTISEMENT
Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaan lain. Setiap sector berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya. Dalam melaksanakan Kebudayaan Nasional, kami berusaha menciptakan dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia di tengah masyarakat bangsa-bangsa.
Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami”
Kemudian, teks Manifes Budaya digandakan dan diserahkan kepada pekerja budaya Indonesia untuk diteliti pada tanggal 23 Agustus 1963 di Jalan Raden Saleh 19 pukul 11.00 WIB dan mengadakan pertemuan membahas naskah Manifes Kebudayaan dengan 13 seniman Indonesia. Adapun para seniman dan sastrawan tersebut yaitu Trisno Sumardjo, Zaini, HB. Jassin, Wiratmo Soekito, Bokor Hutasuhut, Goenawan Mohamad, Bur Rusuanto, A. Bastari Asnin, Ras Siregar, Djufri Tanissan, Soe Hok djin, Sjahwil dan D.S Moeljanto. Setelah pertemuan ini, seniman yang hadir disebut sebagai panitia perumusan Manikebu yang kembali, mengadakan pertemuan lain pada tanggal 24 Agustus untuk mempersiapkan dan menyetujui naskah Manifes Kebudayaan.
ADVERTISEMENT
Kali ini, 22 sastrawan Indonesia menandatanganinya dengan ketentuan sebagai berikut yaitu Manifes Kebudayaan pada prinsipnya tidak dapat diubah lagi. Kemudian Manifes Budaya tidak menciptakan organisasi budaya secara apriori. Di sinilah awal Manikebu dimulai, perbedaan dari Humanisme Universal yang sering dibandingkan dengan kategori yang terlibat dalam realisme sosial Lekra, D. S Muljanto menjelaskan dengan jelas. “Humanisme universal yang dimaksud adalah kebudayaan sebagai pernyataan hidup manusia mempunyai tendensi-tendensi universil, yaitu universil dalam arti bahwa kebudayaan itu bukan hanya untuk satu bangsa saja, tetapi untuk semua bangsa. Dan di samping itu bukan hanya untuk satu angkatan saja, tetapi untuk semua angkatan. Meskipun demikian arus ditegaskan bahwa kebudayaan itu itu mempunyai titik tolak dan titik tolak itu adalah titik nasional. Saya menyetujui sepenuhnya ucapan Dag Hammerskjoeld bekas sekretaris jenderal PBB yang meninggal dunia tahun 1961 yang menyatakan bahwa harus menekankan mveunya ke arah kepentingan internasional. Dan inilah pengertian tentang-universil, karena itu kita menerima humanisme universal dalam pengertian itu”. Bermula dari pemahaman humanisme universal D.S. Muljanto di atas, ditemukan konsep yang persis sama dengan Lekra, menurut pernyataan Muljanto unsur manusia tentu terasa kental.
ADVERTISEMENT
Daftar Pustaka:
Muhammad Latief, A. 2018. “Politik Sastra: Konflik Aliran Sastra Antara Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) Dan Manifes Kebudayaan (Manikebu) 1950-1965”. Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara