Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Filosofi Posisi Duduk Pesinden sebagai Cermin Etika Sosial
12 Desember 2023 12:55 WIB
Tulisan dari Erina Puspita tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Wayang, merupakan bagian dari kekayaan budaya Indonesia sejak zaman dahulu, dengan berbagai peristiwa sejarah dapat menunjukkan bahwa budaya pewayangan sudah menjadi bagian kekayaan Indonesia, terutama di Jawa (Setiawan, 2020). Awalnya, pertunjukan wayang berupa bayang-bayang memiliki fungsi untuk menghormati dan memohon restu kepada roh leluhur. Dalam pertunjukan wayang, tak lepas dari unsur-unsur, seperti unsur manusia dan unsur benda. Unsur manusia terdiri dari dalang, niyaga, waranggana, dan penyimping, masing-masing mempunyai peran dan nilai filosofis. Sementara itu, unsur benda terdiri dari gamelan, kelir, debog, blencong, cempala, keprak atau kepyak, kotak wayang, dan krayon atau gunungan. Keduanya, unsur manusia dan unsur benda, memberikan pengaruh terhadap berlangsungnya pertunjukan wayang.
Salah satu unsur manusia dalam pewayangan adalah waranggana, yang lebih dikenal sebagai pesinden atau sinden. Kata "pesinden" berasal dari "pasindhian" yang artinya kaya akan lagu atau yang melantunkan lagu. Sinden juga sering disebut sebagai waranggana, berasal dari kata "wara" yang berarti wanita, dan "anggana" yang berarti sendiri. Filosofi yang terkandung dalam waranggana atau sinden tercermin pada posisi duduk pesinden. Posisi duduk ini mencerminkan pentingnya saling menghormati sesama manusia. Nilai ini, yang diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, menegaskan bahwa menghormati sesama merupakan suatu bentuk kesopanan yang harus dimiliki oleh setiap individu. Sebagai contoh, dalam kehidupan sosial, kaum remaja diingatkan untuk menghormati orang tua sebagai suatu nilai yang fundamental.
ADVERTISEMENT
Tak lepas dari kebudayaan jawa, yaitu mitos. Dalam pertunjukan wayang, terdapat beberapa mitos yang berkembang di masyarakat, salah satunya adalah mitos jumlah sinden. Mitos ini menyatakan bahwa jumlah sinden dalam pertunjukan wayang harus selalu ganjil, karena jika jumlahnya genap, maka akan membawa sial dan tidak berkah. Namun, apakah mitos ini benar adanya?
Menurut Profesor Suwardi Endraswara, dalam bukunya yang berjudul "Falsafah Hidup Jawa" ia menuliskan bahwa mitos angka ganjil banyak mewarnai kehidupan orang Jawa. Orang Jawa sering menganggap angka satu, tiga, lima, tujuh dan sembilan sebagai refleksi budaya sakral. Masing-masing angka keramat tersebut, implikasinya sangat luas. Misalnya, angka satu dikaitkan dengan Kang Maha Kuasa (Tuhan), dan lainnya. Angka tiga juga dihubungkan dengan tradisi: nelung dina, triloka, tripurusa, dan sebagainya. Bilangan lima terimplikasi pada konsep Pandawa, Pancadarma, Lima Pancer, dan sebagainya. Angka tujuh, terkait dengan mitung dina, bumi-langit sap pitu, pitung gajah lan pitung gunung, turun pitu, dan sebagainya. Bilangan sembilan, terkait dengan babahawan hawa sanga. Namun, hal ini tidak berdasar pada teori atau fakta yang jelas. Jumlah sinden dalam pertunjukan wayang seharusnya tidak perlu menjadi fokus utama. Tetapi kemampuan sinden dalam membawakan dan menyuarakan lirik lagu dalam mengiringi pertunjukan wayang.
ADVERTISEMENT