Konten dari Pengguna

Ayah, Sosok Pejuang Tangguh

Erlinda Septiawati
Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta
13 Juni 2022 21:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Erlinda Septiawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi foto: pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi foto: pixabay.com
ADVERTISEMENT
Ayah merangkum setiap babak perjuangan. Sosok pejuang tangguh tak kenal lelah. Ia hanya bungkam, meski beban menghantam curam. Tak peduli punggung semakin rentan. Kulit tubuh ringkih serta menghitam. Belum lagi kerutan di dahi yang sudah semakin memenuhi. Ia tetap bergegas mencari secercah rezeki untuk santap makan keluarga tercinta.
ADVERTISEMENT
Bila menengok kisah, berbagai cerita dilalui bersama. Berbagi canda dan tawa. Namun, tampaknya perihal masalah seorang ayah lebih sering menutupi. Mungkin saja ia tak ingin berkeluh kesah atau tak ingin perasaan khawatirnya menjalar mempengaruhi.
Tangan mungil yang pernah menjadi sentuhan di genggaman. Kilas balik perjalanan masa kecil. Memori tak terlupakan sepanjang kehidupan. Kasih sayang terlimpah curah dan peluk hangat yang tersalur darinya.
Bagiku nakoda terbaik melalui rintangan adalah ayahku. Ia hidup puluhan tahun sebagai supir. Mengembara di jalan penuh kendaraan, berhimpitan antara kendaraan lain. Apalagi situsi dan kondisi ibukota yang tak henti di lewati kendaraan berlalu-lalang.
Suatu hari, aku ikut bersama ayah bekerja. Aku penasaran apa yang dikerjakan ayahku. Ayah pun mengizinkan aku untuk ikut bersamanya. Sepanjang perjalanan aku memandang sekitar hingga puluhan kilometer. Berhentilah kami di salah satu toko besar di Kota Sumedang.
ADVERTISEMENT
Panas, macet, menunggu antrean panjang jadi dilema kesabaranku dihari itu. Giliran ayah menyusun kardus barang-barang di mobil box kirimannya satu per satu hingga lima tumbukan. Lalu, menopang kelima tumbukan itu di punggungnya. Kelelahan, keringat yang terus mengucur. "Oh, Tuhan jadi begini ayahku berkerja. Aku sungguh tidak kuat lagi melihatnya," batinku.
Pantas saja tempo hari ayah berujar, "Jangan jadi seperti ayah pekerja berat dan panas-panasan di luar, duduklah di depan layar meja komputer." Mungkin inilah maksudnya, aku disadari mengapa ayah bilang begitu. Alasan selelah dan serapuh apapun ia, anaknya harus menuntun ilmu sampai jenjang sarjana.
Katanya ketika aku mengeluh perihal tugas menumpuk, "Lakukan saja sebisanya." Aku terlalu malu mengeluh di depannya. Merasa tak sepantasnnya aku tertatih berat. Padahal ayah menampung air mata dan peluh sendirian. Tidak bercerita, hanya menerima.
ADVERTISEMENT
Lantas, bila berpikir menyerah. Aku akan teringat ayahku, ia terlunta-lunta melakukan pekerjaan seperti itu puluhan tahun. Ia mungkin saja ingin menyerah, tetapi tidak dilakukan.
Saat bersama ayah hanyalah senyum paling syahdu yang dilontarkan. Seolah ia pun berharap aku tetap tersenyum apapun keadaan yang aku hadapi. Bila raut wajahku masam atau muram, ia lantas menegur "Ada apa?".
Sudah setengah abad usianya, aku belum bisa membahagiakan apapun. Ia hanya ingin aku tersenyum ceria, layaknya masa kecil yang gembira karena sebuah hadiah sederhana.
Ayah beban beratmu, boleh kau bagi. Aku tau kau tidak sekuat yang kubayangkan. Terima kasih sudah menjadi bagian terindah dalam hidupku. Kau telah berjuang untuk keluargamu. Memberi pelajaran berharga penuh makna.
ADVERTISEMENT
Berkat ketulusan dan ketabahanmu menjalani hari, kau berupaya menyekolahkan anak-anakmu hingga jenjang perguruan tinggi. Ayah, semoga Tuhan beri waktu kita bersama lebih lama lagi. Aku juga ingin kau melihat kesungguhanku, membuatmu bangga dan dapat memberi kebahagiaan dengan hasil jerih payahku sendiri.
Oleh: Erlinda Septiawati / Mahasiswi Politeknik Negeri Jakarta