Sahabat Masa Kecil

Erlinda Septiawati
Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta
Konten dari Pengguna
7 Januari 2022 18:11 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Erlinda Septiawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi foto: unsplash.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi foto: unsplash.com
ADVERTISEMENT
Kisah sahabat masa kecil menjadi salah satu peristiwa berharga yang pernah dijalani. Pada tiap kalimat yang kususun, aku ingin menceritakan seutas memori.
ADVERTISEMENT
Ini tentang sosok yang pernah jadi tawaku. Dia adalah teman semasa kecilku. Sebut saja namanya Arion. Kami berdua adalah makhluk di bumi pemilik zodiak Libra. Si ramah yang suka senyum, lihat menutupi.
Lokasi tempat tinggal kami berdekatan hanya terhitung beberapa meter saja. Sewaktu anak-anak kami sering menghabiskan momen bersama. Aku tak jarang bermain di rumahnya. Kadang kami bermain kelereng atau bola dan aku selalu berakhir dengan kekalahan.
Tapi, mau bagaimanapun permainan anak laki-laki juga menyenangkan bagiku. Meski aku selalu kalah, dia tipe anak yang mau mengalah. Mungkin yang penting kami bermain.
Saat kami duduk di bangku sekolah dasar kelas 3 ayahnya meninggal dunia karena penyakit jantung. Ya, ayahnya memang sering bolak-balik masuk rumah sakit. Hari itu, meski langit tampak cerah seketika terlihat buram. Masih belia, namun Arion harus kehilangan ayahnya untuk selamanya. Saat itu, kami masih berusia 8 tahun.
ADVERTISEMENT
Kisah pertemanan seorang laki-laki dan perempuan adalah hal yang perlu dijadikan pertimbangan. Arion menyukaiku, teman-teman sering mengejek kami karena terlalu dekat. Aku tak begitu menanggapi, lagi pula kami masih anak-anak. Bermain lagi seperti biasa saja dan itu terus berulang.
Waktu berlomba dengan cepat, kami memasuki sekolah menengah pertama. Sejak itu, kami bagaikan dua orang yang terlampaui jauh untuk dibilang kenal. Aku yang lebih sibuk dengan duniaku dan dia pun begitu.
Diriku baru menyadari betapa tidak enaknya jika aku harus terus berhadapan dengannya sebagai sahabat. Di balik rasa suka yang dia miliki dan sederet ejekan yang menggema di telingaku.
Istilah 'murni' dalam hubungan persahabatan laki-laki dan perempuan jadi kata paling tak mungkin yang mengakar di otakku sejak kejadian itu.
ADVERTISEMENT
3 tahun kemudian, kami lulus dari sekolah menengah pertama yang sama. Meski demikian, aku dan Arion tak pernah berada di kelas yang sama. Sepertinya itu lebih baik untuk kami.
Berlanjut memasuki sekolah menengah atas, kami memilih sekolah yang berbeda. Awalnya, ibuku menyuruh aku bersekolah di tempat yang sama dengan Arion. Katanya, biar nanti aku bisa bareng Arion pulang-pergi ke sekolah. Tapi, aku menolak.
Arion memilih sekolah kejuruan, sedangkan aku lebih memilih sekolah dengan jurusan Ipa. Keinginan kami berbanding terbalik. Hubungan pertemanan itu pun tak pernah lagi membaik seperti semula.
Baru beberapa bulan memasuki sekolah menengah atas, ibu Arion meninggal dunia karena suatu penyakit. Aku melihat dia turun dari mobil jenazah ibunya. Tangis tak henti mengalir dikedua bola matanya. Hatiku ikut rapuh. Kenyataan memang menyakitkan, di usianya yang masih 15 tahun Arion harus menerima kondisi sebagai yatim piatu.
ADVERTISEMENT
"Semesta kau ambil ibunya, saat kebersamaan dengan ayahnya sebentar sekali," kalimat itu yang terus kucoba lafalkan.
Kehilangan?
Sepasang permata telah meninggalkan Arion. Tanpa kata pamit, pergi untuk tak kembali. Menabur miliaran duka di hatinya.
Entah datang darimana, tanpa permisi air mataku ikut menetes. Dia menangis begitu sesenggukan. Ingin sekali jadi penawar rasa sedihnya. Tapi, jarak itu sudah membentang sangat jauh di antara kami.
Dunia Arion tak lagi sama. Tentang cita-cita sudah seperti mimpi semata. Setiap pulang sekolah, tak jarang aku melihatnya menyapu halaman rumah. Tersenyum ke arahku, seolah semua baik-baik saja.
Padahal saat ibunya masih ada, aku tak pernah melihat dia menyapu halaman rumah. Berulang kali aku melihat itu dan menyadari dia telah berubah menjadi lebih baik.
ADVERTISEMENT
Sejak kepergian kedua orang tua Arion, aku merasa dia jadi lebih banyak tersenyum. Entahlah, hanya itu yang dapat tersalur dalam diriku, justru membuatku sesak. Senyuman yang dia tabur, kadang menyakitkan untukku.
Sementara mimpi tentang berkuliah seperti matahari terbenam. Keinginan ibunya itu, tak terwujud. 'Andai', jadi kata paling sering yang aku ucapkan. Siapa yang mau membiayai? Pastinya dalam pikiran Arion pun, dia juga akan memilih untuk bekerja.
Lulus sekolah menengah atas, dia diterima bekerja. Tentu aku ikut senang, meski hubungan kami hanya sekadar berjabat tangan setahun sekali. Tapi, memori dan dialog-dialog masa kecil tetap terkenang tak mungkin sekejap hilang.
Arion, terima kasih sudah menjadi ingatan yang baik dalam masa kecilku. Mungkin takdir tak begitu baik padamu. Tapi, aku percaya senyuman yang kau pancarkan akan menyinari untuk hidupmu.
ADVERTISEMENT
Teruslah menjadi versi terbaik. Berjalan perlahan saja, ketika dunia memang begitu menyulitkan kau boleh untuk bersedih. (ES)