Konten dari Pengguna

Menembus Kabut Stigma: Mengapa Kesehatan Mental Tidak Boleh Diabaikan Lagi

Ernawati Ramadani Azis
Mahasiswa Administrasi Kesehatan Universitas Negeri Makassar Belum Bekerja
16 Oktober 2024 13:43 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ernawati Ramadani Azis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kesedihan yang sunyi, mencerminkan kedalaman depresi. (Sumber: Shutterstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kesedihan yang sunyi, mencerminkan kedalaman depresi. (Sumber: Shutterstock)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kesehatan mental adalah sesuatu yang tidak bisa diremehkan. Bayangkan saja, hidup di tengah tuntutan akademis yang tinggi, harapan untuk sukses, dan tekanan sosial dari lingkungan sekitar, semuanya bisa menjadi beban yang tak terlihat namun terasa sangat nyata. Kita terjebak dalam rutinitas pekerjaan, tuntutan sosial, dan berbagai tekanan lainnya, hingga sering kali mengabaikan kondisi mental kita sendiri. Padahal, ketika kesehatan mental dikesampingkan, dampak yang ditimbulkan bisa sangat serius, tidak hanya bagi individu, tetapi juga bagi masyarakat secara keseluruhan.
ADVERTISEMENT
Menurut Ditjen P2P Kemenkes RI (2021) sekitar 20% populasi di Indonesia mengalami gangguan mental, terutama depresi dan kecemasan, banyak dari kita yang merasa terjebak dalam kesunyian. Di kalangan remaja dan dewasa muda, masalah ini menjadi semakin nyata. Sayangnya, stigma sosial dan keterbatasan akses membuat banyak orang enggan mencari bantuan, memicu dampak negatif yang berkepanjangan.
Individu yang mengalami masalah mental sering mendapatkan diskriminasi, penolakan dari masyarakat, diabaikan oleh teman atau bahkan tidak mendapatkan dukungan dari keluarganya sendiri. Hal ini tentu akan menjadikan individu tersebut menutup diri hingga mengisolasi dirinya sendiri dari keluarga hingga masyarakat sehingga mereka menjadikan kesehatan mental mereka sebagai opsi penanganan terakhir akibat stigma dan norma masyarakat mengenai kesehatan mental individu.
ADVERTISEMENT
Stigma, prasangka, dan diskriminasi terhadap penderita penyakit mental masih menjadi masalah besar yang mencegah mereka untuk menjangkau bantuan yang sangat diperlukan. Banyak yang terjebak dalam rasa malu dan ketakutan untuk mengakui bahwa mereka mengalami gangguan mental, sehingga memilih untuk menanggung beban itu seorang diri.
Dalam penelitiannya Corrigan (2014) menyebutkan dua jenis stigma yang sering terjadi pada individu dengan kesehatan mental. Stigma pertama datang dari masyarakat memiliki prasangka Orang yang mengidap penyakit mental itu berbahaya, tidak kompeten, bisa disalahkan atas gangguan yang dialaminya, dan tidak bisa ditebak.
Hal ini menanamkan pemikiran kepada individu bahwa dirinya berbahaya, tidak kompeten, dan harus disalahkan. Stigma kedua datang dari adanya diskriminasi pada masyarakat dimana mereka enggan berhubungan dan bersosialisasi dengan individu tersebut atau rendahnya standar pelayanan kesehatan dalam suatu negara terkait kesehatan mental.
Ilustrasi siswa depresi tidak lolos PPDB. Foto: Mindmo/Shutterstock
Hal ini akan membuat individu tersebut memikirkan kalau dirinya rendah seperti "Untuk apa mencoba? Seseorang seperti saya tidak layak, atau tidak mampu bekerja, hidup mandiri, atau memiliki kesehatan yang baik". Dan dalam sebuah terbitan EMBO Reports tahun 2016 menyimpulkan “tidak ada negara, masyarakat, atau budaya di mana orang dengan penyakit mental memiliki nilai sosial yang sama dengan orang tanpa penyakit mental”.
ADVERTISEMENT
Stigma ini memaksa orang yang mengalami masalah kesehatan mental untuk tidak mencari perawatan, meskipun mereka tahu bahwa bantuan itu ada. Betapa dalamnya ketidakpahaman dan sikap negatif masyarakat terhadap kesehatan mental, yang terus memperparah rasa terisolasi bagi mereka yang seharusnya bisa mendapatkan bantuan.
Dari data dan stigma ketidakpahaman masyarakat semakin memperburuk isolasi mereka, menutup akses bagi yang membutuhkan dukungan dan pemulihan sehingga menjadikan kesehatan mental sebagai prioritas terakhir.
Banyak orang masih percaya bahwa mencari bantuan psikologis adalah tanda kelemahan, padahal pandangan ini justru mencerminkan stigma yang mendalam terhadap kesehatan mental. Gangguan mental bukanlah kelemahan pribadi atau sesuatu yang bisa diabaikan, melainkan kondisi medis yang membutuhkan perhatian dan perawatan. Menyebut seseorang lemah karena mengalami gangguan kesehatan mental sama tidak masuk akalnya dengan menyebut penderita asma lemah karena memiliki kesulitan bernapas.
ADVERTISEMENT
Dalam dokumenter My mind and Me dan Stutz, Selena Gomez telah mengungkapkan perjuangannya dengan menunjukkan bahwa menghadapi masalah kesehatan mental bukanlah tanda kelemahan, tetapi bagian dari perjalanan hidup yang layak didiskusikan secara terbuka. Hal ini dapat membantu mengurangi stereotip negatif dan membuat orang lebih bersedia mencari bantuan.
Ketika seseorang memutuskan untuk mencari bantuan, itu bukan tanda bahwa mereka menyerah, melainkan mereka bertekad untuk hidup dengan lebih baik dan sehat. Ini adalah bentuk kekuatan yang menunjukkan kesadaran diri dan komitmen untuk melakukan perubahan positif dalam hidup. Alih-alih mengecapnya sebagai tanda kelemahan, kita harus mengapresiasi orang-orang yang berani menghadapi ketakutan dan stigma untuk memperjuangkan kesehatan mental mereka.
Pertanyaannya sekarang adalah: apakah kita, sebagai bagian dari masyarakat, akan tetap terjebak dalam stigma lama, atau akan memulai langkah baru untuk membuka jalan bagi penanganan kesehatan mental yang lebih inklusif? Stigma tidak akan hilang dengan sendirinya, tetapi kita dapat mulai mengubah cara pandang kita dan mendorong lingkungan yang lebih mendukung bagi mereka yang berani mencari pertolongan dan membutuhkan.
ADVERTISEMENT
Mengenali dan berinteraksi dengan orang yang mengalami merupakan cara untuk mengurangi stigma terhadap penyakit mental. Media sosial menjadi salah satu sarana untuk membicarakan terkait kesehatan mental dengan tetap menyadari bahasa yang digunakan. Singkatnya, semakin dekat kita dengan seseorang yang mengalami gangguan mental, semakin kita akan memahami dan menerima mereka.