Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kebebasan Beragama dan Program Merdeka Belajar
23 Januari 2021 13:27 WIB
Tulisan dari Erni Juliana Al Hasanah N tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Erni Juliana Al Hasanah N
Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta & ITB AD Jakarta
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini seorang wali siswa di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 2 Padang bersuara di media sosial soal peraturan yang mewajibkan memakai jilbab bagi putrinya yang non-Muslim. Suara ini kontan menyulut kontroversi hingga menjadi isu nasional.
Umumnya netizen mengecam peraturan itu dan menganggapnya sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia, yakni hak kebebasan beragama yang dijamin oleh Undang Undang Dasar (UUD) 1945, khususnya Pasal 28 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), dan Pasal 29 tentang Agama.
Jika aturan kewajiban memakai jilbab itu diberlakukan di sekolah swasta milik Yayasan Islam misalnya, mungkin masih bisa dipahami. Tapi pada saat diterapkan di sekolah negeri yang nota bene milik negara dan dikelola dengan anggaran negara maka peraturan itu otomatis dianggap kurang tepat.
ADVERTISEMENT
Selain melanggar HAM, aturan mewajibkan siswa non-Muslim untuk memakai jilbab yang nota bene merupakan syariat Islam, tidak berkesesuaian (bertentangan) dengan program “Merdeka Belajar” yang dicanangkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim. Prinsip utama dari “Merdeka Belajar” adalah pendidikan berkualitas bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pendidikan berkualitas yang dimaksud tentu saja hanya bisa diraih dengan sejumlah syarat. Selain tersedianya sarana dan prasarana yang memadai, yang tidak kalah penting adalah diterapkannya nilai-nilai yang sesuai dengan semangat keindonesiaan, yakni menghormati keberagaman baik keragaman suku dan etnis maupun keragaman keyakinan (agama).
Dengan menjunjung tinggi nilai keindonesiaan, setiap lembaga pendidikan (sekolah), apalagi yang milik negara (sekolah negeri) tidak diperkenankan, atau bahkan dilarang keras untuk melakukan diskriminasi dengan dalih apa pun.
ADVERTISEMENT
Untuk menjamin pelaksanaan ketentuan yang ada dalam UUD 1945, sebagaimana ditegaskan dalam Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dalam Pasal 4 ayat [1] bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
Selanjutnya dalam Pasal 12 ayat [1] disebutkan bahwa setiap peserta didik berhak: [a] mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama. Dengan ketentuan ini, bahkan penyelenggaran pendidikan Muslim pun harus menyiapkan tenaga pendidik (guru) non-Muslim jika dalam lembaga pendidikan yang dikelolanya terdapat siswa-siswi non-Muslim.
Artinya, dalam pelaksanaan program pendidikan “Merdeka Belajar”, kebebasan beragama menjadi persoalan penting yang bukan saja harus diperhatikan, tapi harus benar-benar dijalankan agar tidak bertentangan dengan konstitusi negara.
ADVERTISEMENT
Untuk menjamin pelaksanaan program “Merdeka Belajar”, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menetapkan program prioritas, antara lain untuk meningkatkan kompetensi guru dan tenaga kependidikan. Sempitnya wawasan guru dan tenaga kependidikan diduga kuat menjadi penyebab munculnya praktik diskriminasi di lembaga pendidikan.
Sejumlah program yang dicanangkan pada tahun 2020, seperti peningkatan kualitas guru dan kepala sekolah, dari yang ditargetkan 39.555 orang, terealisasi hingga 40.241 orang. Artinya jauh melebihi target yang dicanangkan. Pencapaian ini patut kita apresiasi.
Untuk sarana dan prasarana pendidikan, pada tahun 2020, untuk pendidikan vokasi, telah dilakukan revitalisasi sekolah sebanyak 491, melebihi dari yang ditargetkan 476 sekolah. Sedangkan untuk peningkatan prodi vokasi, dari target 133, bisa dicapai hingga 171. Dan, peningkatan mutu sumber daya manusia pendidikan tinggi vokasi, dari target sasaran 300 orang bisa direalisasikan hingga 500 orang.
ADVERTISEMENT
Meskipun ada beberapa program yang bisa direalisasikan bahkan melampaui dari yang ditargetkan, Kemendikbud tidak boleh berpuas diri. Karena kualitas SDM bagi bangsa Indonesia merupakan masalah krusial yang terus membayangi dan tidak kunjung naik daya saingnya jika dibandingkan dengan SDM di negara-negara lain.
Untuk mengejar ketertinggalan ini, Menteri Nadiem harus bekerja lebih keras lagi dengan inovasi-inovasi dan terobosan baru sejalan dengan makin pesatnya perkembangan sains dan teknologi.
Penyesuaian Taksonomi
Banyak kritik dikemukakan bahwa pendidikan Indonesia cenderung dogmatis dan terlampau membebani peserta didik. Untuk menjawab kritik ini kiranya perlu ada penyesuaian-penyesuaian baru dalam pelaksanaan tiga taksonomi pendidikan: kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Pelaksanaan pendidikan yang cenderung pada cognitive heavy perlu diubah untuk lebih menekankan pada perbaikan sikap dan karakter (afektif) dan peningkatan keahlian dan ketrampilan (psikomotorik).
ADVERTISEMENT
Mata pelajaran yang terlalu banyak juga dinilai terlampau membebani anak didik. Untuk menanggulangi hal ini, permutasi kurikulum merupakan keniscayaan. Caranya dengan menggabungkan sejumlah mata pelajaran yang memiliki kesamaan topik pembahasan, dan bisa dikorelasikan satu sama lain.
Tapi, untuk menghindari kesalahpahaman di tengah-tengah masyarakat, proses permutasi kurikulum ini harus disosialisasikan melalui cara-cara berkomunikasi yang baik, artikulatif, dan mudah dipahami masyarakat agar di kemudian hari tidak muncul lagi tuduhan-tuduhan yang tidak produktif seperti (tuduhan) penghapusan mata pelajaran sejarah dan mata pelajaran agama.
Program pendidikan yang baik membutuhkan pelaksanaan yang sungguh-sungguh hingga mencapai target yang ditetapkan. Tapi, itu pun belum cukup, masih diperlukan sosialisasi yang tepat agar mendapatkan umpan balik yang proporsional. Pelaksanaan program pendidikan yang baik dan proporsional (adil) merupakan kunci peningkatan kualitas pendidikan. Wallahu a’lam!
ADVERTISEMENT