Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Urgensi RUU PKS dan 2 Langkah yang Harus Ditempuh untuk Memperjuangkannya
15 September 2020 23:53 WIB
Tulisan dari Erni Juliana Al Hasanah N tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam catatan Komnas Perempuan, selama Pandemi Covid-19, kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat tajam hingga 75%. Sayangnya, fakta ini belum mampu menggerakkan publik, terutama para aktivis partai politik yang menolak Rancangan Undang Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) untuk mengubah dukungan.
ADVERTISEMENT
Partai-partai yang mengeluarkan RUU PKS dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tetap pada pendiriannya walau sudah banyak desakan agar RUU ini kembali dibahas dan (harapannya) bisa disahkan menjadi undang-undang.
Menurut anggota Komisi VIII dari Fraksi PAN DPR RI, Ali Taher Parasong, belum ada kebutuhan mendesak untuk mengesahkan RUU PKS karena yang menyangkut pidana umum sudah tercakup dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Sementara yang menyangkut terjadinya kekerasan dalam hubungan privat antara suami-istri sudah diatur dalam UU Perkawinan, UU Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), dan UU Perlindungan Anak.
“Mana lagi kah kebutuhan hukum yang bisa dijadikan dasar RUU ini menjadi sebuah kebutuhan,” tegas Ali Taher dalam Diskusi “RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Ditinjau dari Perspektif Negara dan Islam” di Jakarta, Kamis, (10/9/2020).
ADVERTISEMENT
Menurut penulis, problem utamanya RUU PKS terletak pada perbedaan pemahaman syariat Islam terkait hak-hak perempuan, terutama dalam rumah tangga, terutama antara kalangan konservatif dan progresif.
Untuk kalangan yang berpaham konservatif, RUU PKS dianggap sebagai agenda liberalisme yang bertentangan dengan syariat Islam. Sementara bagi kelompok Muslim progresif RUU PKS justru dianggap sangat sesuai dengan syariat Islam, karena isinya sangat menghormati hak-hak perempuan baik dalam kehidupan kemasyarakatan secara umum maupun dalam relasi hubungan dalam keluarga.
Perempuan Muhammadiyah yang tergabung baik dalam organisasi Aiyiyah maupun Nasyiatul Aisyiyah (NA), sebagai organisasi Islam berkemajuan tidak menolak RUU PKS karena dalam tradisi Muhammadiyah sejak zaman KH Ahmad Dahlan relasi antara laki-laki dan perempuan sudah berjalan seiring sesuai dengan apa yang digariskan dalam Al Quran. Muhammadiyah tidak pernah membedakan antara laki-laki dan perempuan, kecuali yang menyangkut perbedaan biologis yang merupakan kodrat yang ditakdirkan Allah SWT.
ADVERTISEMENT
Urgensi RUU PKS
Berdasarkan data dari Komnas Perempuan (2020) setidaknya terdapat 431.471 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan sepanjang tahun 2019. Kemudian, data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) tahun 2020 mengungkapkan sepanjang tahun 2019 kekerasan terhadap perempuan dan anak mencapai 14.866 kasus.
Dari tahun ke tahun, kasus kekerasan terhadap perempuan terus meningkat. Ini membuktikan bahwa perangkat hukum yang ada, KUHP, UU Perkawinan, dan UU KDRT belum mampu memenuhi kebutuhan untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap perempuan, terutama yang menyangkut kekerasan seksual.
Baru-baru ini, jagat dunia maya diramaikan oleh cuitan dua aktivis politik, Cipta Panca Laksana dari Partai Demokrat dan Said Didu dari KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) yang dianggap telah melakukan pelecehan seksual terhadap salah satu calon wakil Wali Kota Tangerang Selatan, Rahayu Saraswati.
ADVERTISEMENT
Banyak yang berpendapat, kasus memalukan ini akan menguap begitu saja karena belum ada perangkat hukum yang bisa menjerat pelaku. KUHP belum cukup kuat untuk memidanakan pelecehan verbal berupa cuitan kedua politikus tersebut.
Menurut penulis di sinilah urgensi pengesahan RUU PKS. Peningkatan kekerasan, terutama kekerasan seksual, untuk saat ini masih sulit dicegah karena delik kejahatan seksual yang berlaku dalam peraturan perundang-undangan yang ada masih sangat terbatas. Karenanya diperlukan peneguhan peran dan tanggung jawab negara bagi perlindungan korban kekerasan seksual dalam bentuk sebuah regulasi yang memiliki landasan kuat.
Dua Langkah yang Harus Ditempuh
Untuk mengupayakan agar RUU PKS masuk kembali dalam Proglegnas 2021 dan kemudian disahkan menjadi UU, setidaknya ada dua langkah yang harus ditempuh: Pertama, membangun adanya kesepahaman bersama di antara berbagai kelompok masyarakat, terutama masyarakat Muslim tentang pentingnya pemenuhan kebutuhan dan hak-hak asasi perempuan.
ADVERTISEMENT
Tidak benar bahwa pemenuhan hak-hak asasi perempuan, terutama dalam relasi antara pasangan suami-istri, sebagai produk Barat yang bertentangan dengan Islam. Hak-hak asasi perempuan justru bersumber dari ajaran al-Quran yang sangat memuliakan perempuan.
Tidak tepat juga bahwa RUU PKS akan mendorong seks bebas sebagaimana dikampanyekan pihak-pihak yang menentang disahkannya RUU PKS. Anggapan ini bertolak belakang dengan modal sosial dan tradisi budaya yang berkembang di Indonesia.
Kedua, membangun kesadaran bahwa posisi dan fungsi negara adalah berdiri di atas dan untuk semua golongan. Soal pemenuhan hak warga negara tidak boleh dilihat berdasarkan besar kecilnya jumlah atau berdasarkan atribut-atribut yang membedakan antara satu warga negara dengan yang lain, termasuk perbedaan jenis kelamin.
Lahirnya warga negara dengan jenis kelamin tertentu adalah kodrat, ketentuan Tuhan yang siapa pun tak akan mampu mengubahnya. Kekerasan seksual, baik di luar maupun di dalam rumah tangga, harus ditangani dengan norma hukum yang adil tanpa membedakan jenis kelamin baik pelaku maupun korbannya. Dan, pada faktanya, korban kekerasan seksual tak melulu dialami perempuan.
ADVERTISEMENT
Untuk mengefektifkan dua langkah ini, perlu ada upaya bersama dari semua pihak, termasuk pemerintah dan (terutama) legislator yang memiliki kewenangan dalam menentukan nasib RUU PKS. Sebagai pejabat negara, pemerintah dan legislator digaji dari pajak rakyat tanpa kecuali. Seyogyanya bersikaplah sebagai negarawan. Jangan memutuskan sesuatu berdasarkan kepentingan subjektif.
---
Oleh : Erni Juliana Al Hasanah Nasution
Dosen ITB AD Jakarta dan FISIP - UMJ Jakarta