Kita Adalah Putri Malu

Erry Yunus
dr.Erry Yunus, Sp.OT Aktivis Dokter Indonesia Bersatu (DIB)
Konten dari Pengguna
7 September 2023 10:10 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Erry Yunus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Putri Malu. Foto: AjayTvm/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Putri Malu. Foto: AjayTvm/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Saya menulis "kita semua bagai putri malu yang ditumbuhi benalu" untuk mewakili aktualisasi para dokter di Indonesia dari waktu ke waktu.
ADVERTISEMENT
Kita semua tahu tanaman putri malu (Mimosa pudica), tanaman semak berbunga ungu atau kuning yang daunnya akan kuncup mengatup bila disentuh. Dalam kepustakaan asing disebut "Touch-me-not" plant. Tanaman semak yang mudah kita temui diseluruh wilayah Indonesia. Kebanyakan dianggap sebagai gulma.
Sedikit yang tahu bahwa sesungguhnya tanaman putri malu ini bisa menyuburkan tanah karena tanaman ini bersimbiosis dengan bakteri pengikat nitrogen di akarnya. Nitrogen adalah bahan baku zat hara yang menjadi makanan tanaman.
Di beberapa daerah Indonesia sejak dahulu tanaman ini digunakan sebagai pupuk organik untuk menyehatkan tanah terutama di daerah-daerah pertanian yang menanam komoditas rakus hara seperti padi-padian dan kacang-kacangan.
Setelah beberapa musim panen para petani akan menanam putri malu untuk mengembalikan unsur nitrogen dalam tanah sebelum lahan tersebut ditanami tanaman pangan kembali.
Ilustrasi Putri Malu. Foto: Adny/Shutterstock
Mengapa saya menulis bahwa kita mengaktualisasikan diri kita ibarat putri malu? Ibarat putri malu yang ditumbuhi benalu? Kita-para dokter di Indonesia-sangat eksis dalam kehidupan bernegara dan berbangsa sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Kita bekerja setiap hari menyehatkan bangsa. Kita benar-benar ibarat putri malu yang menyehatkan tanah agar tanaman pangan bisa berbuah banyak, pekerjaan kita adalah menyehatkan orang sakit yang setelah sehat akan membangun negara ini, memajukan bangsa ini.
Pekerjaan kita mencegah terjadinya penyakit yang akan menurunkan produktivitas individu yang pada gilirannya menurunkan laju pembangunan. Kita melakukan promosi kesehatan agar keuangan pribadi dan negara tidak terserap dan terboroskan untuk pengobatan orang sakit yang selalu menelan sangat banyak biaya.
Itulah yang kita lakukan setiap hari di seluruh wilayah Indonesia bahkan sampai daerah paling terpencil dan sulit dijangkau sekalipun. Kita bahkan melakukannya 24 jam sehari, termasuk di hari libur.
Pola kerja yang sangat berbeda dengan kebanyakan pekerjaan lainnya. Kita adalah putri malu yang menyehatkan tanah bangsa ini agar orang lain dapat bekerja dan hidup produktif di atasnya.
Ilustrasi dokter. Foto: Andrei_R/Shutterstock
Kita memang putri malu yang daunnya akan kuncup terkatup bila disentuh. Kita tidak pernah bersuara membela saudara-saudara sejawat kita yang dizalimi. Kita tidak pernah bersuara lantang membela diri saat kita dizalimi. Kita hanya diam.
ADVERTISEMENT
Daun eksistensi kita kuncup saat kita dilanda masalah. Kita hanya berdiam diri dibebani program-program berbudget rendah yang kemudian merugikan diri kita sendiri. Program-program benalu yang kemudian mengisap darah kita sendiri.
Kita hanya berdiam diri saat kita digaji secara tidak manusiawi setelah seluruh waktu dan hidup kita tersita oleh pengabdian kita sendiri. Kita hanya berdiam diri saat kita dipaksa bekerja dengan fasilitas yang tidak memadai.
Kita hanya berdiam diri saat kita dipakai sebagai komoditi untuk kampanye dan kelancaran pekerjaan dan ambisi orang-orang tertentu, pihak tertentu dan partai tertentu.
Kita hanya berdiam diri saat dipaksa menjalankan program kesehatan gratis yang merupakan janji kampanye pejabat tertentu yang dalam proses penetapannya bahkan tidak berkonsultasi sama sekali.
ADVERTISEMENT
Setelah program-program tersebut menjumpai banyak hambatan dalam implementasinya kita pun hanya terdiam terkuncup malu. Setelah banyak ditemukan kesalahan dan kelemahan program-program tersebut kita pun hanya bagai daun putri malu yang terkatup, tidak bersuara sama sekali.
Pada saat saudara-saudara kita disakiti oleh berbagai pihak pun kita hanya berdiam diri. Pada saat diri kita disakitipun kita hanya berdiam diri. Kita pun mendiamkan pada saat saudara-saudara kita memilih berdiam diri pada saat diri kita dizalimi.
Sungguh berbeda dengan profesi lain. Organisasi profesi kita pun seperti itu. Seperti tanaman putri malu yang daunnya kuncup mengatup saat disentuh. Mulut kita selalu kuncup mengatup rapat di saat-saat kita harus bersuara. Sungguh berbeda dengan ikatan profesi lain yang rajin menyampaikan aspirasi anggotanya.
ADVERTISEMENT
Kita bahkan jauh berbeda dengan para buruh yang kebanyakan taraf pendidikannya jauh di bawah kita. Kita bahkan berbeda dengan rakyat proletar yang berani mengungkapkan suara hati dan aspirasi hidupnya dengan membuat aksi langsung di masyarakat.
Aksi yang sekalipun kecil tetapi selalu mengundang perhatian khalayak luas. Mereka mungkin cuma menanam pokok pisang di tengah jalan untuk memprotes jalan pedesaan yang berlubang tetapi aksi seperti itu selalu ramai diberitakan di semua media massa.
Ilustrasi politik identitas. Foto: Shutter Stock
Mereka mungkin cuma menyegel sehari sekolah yang atapnya terancam rubuh, tetapi setelah aksi itu segala macam perhatian akan datang. Mengapa kita tidak berani menyegel program kesehatan yang sebenarnya hanya bernuansa politik?
Dan kini kita berdiam diri lagi saat sektor kesehatan, termasuk dunia pendidikan kedokteran, diobrak-abrik dengan RUU yang sudah disahkan menjadi UU Kesehatan. Mayoritas mulut kita hanya terkatup bak daun putri malu saat UU yang bersifat omnibus dipaksakan di saat justru UU seharusnya dibuat spesifik.
ADVERTISEMENT
Kita memang ibarat putri malu. Seperti yang saya tulis sebelumnya bahwa hanya sedikit yang mengetahui dan menyadari bahwa putri malu bisa menyehatkan tanah.
Hanya sedikit pihak yang menyadari peranan kita yang sebenarnya, kita yang mempersehat tanah bangsa agar orang dapat membangun di atasnya.
Kita seharusnya seperti daun jati. Walau tampak sepele daunnya kuat lebar melindungi. Bila digunakan membungkus makanan akan menambah aroma dan kelezatan makanan tersebut.
Kita seharusnya seperti daun janur, sekalipun sudah dipisah dari pokoknya masih bisa dibuat berbagai hiasan yang indah menyejukkan hati. Kita seharusnya seperti daun teratai, sekalipun hidup dari lumpur daunnya selalu bersih tak dinodai lumpur.
Kita semua seharusnya kuat melindungi, memperlezat dan memperindah bangsa, sebagai kesatuan atau sebagai individu, dan jauh dari segala perbuatan yang menimbulkan cercaan orang lain.
ADVERTISEMENT