Saya Residen yang Dirundung Senior

Erry Yunus
dr.Erry Yunus, Sp.OT Aktivis Dokter Indonesia Bersatu (DIB)
Konten dari Pengguna
24 Agustus 2023 10:59 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Erry Yunus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi perundungan (dibully) atau bullying. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perundungan (dibully) atau bullying. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bully, bullying, atau perundungan yang dimaksud di sini adalah perundungan yang terjadi dalam program pendidikan dokter spesialis (PPDS) menjadi topik yang mendadak hangat di kalangan dokter di Indonesia setelah diangkat oleh pihak tertentu bersamaan dengan wacana RUU Kesehatan.
ADVERTISEMENT
Semakin hangat setelah ada video mantan residen yang mengaku kepada Menkes dia terpaksa resign dari pendidikan dokter spesialis karena tidak tahan dengan perundungan.
Disuruh lari beberapa kilometerlah, disuruh datang pagilah, dimarahin karena terlambat merespons WA, dimarahin karena ini, dimarahin karena itu.
Bullying dalam kamus Oxford didefinisikan sebagai “Seek to harm, in midate, or coerce (someone perceived as vulnerable).”
Adapun rundung dalam KBBI diartikan sebagai:
Kalau melihat definisi ini, benarkah ada bullying alias perundungan dalam proses pendidikan dokter spesialis? Saya tidak bisa menjawab pasti, tapi bisa memberi pendapat. Mungkin saja ada perundungan di salah satu pusat pendidikan. Tapi hanya oleh oknum tertentu, isolated event yang bersifat individual.
ADVERTISEMENT
Tentu saja saya tidak bisa memberi jawaban untuk semua center pendidikan spesialis yang jumlahnya puluhan di seluruh Indonesia. Yang jelas selama menjalani pendidikan perundungan oleh residen senior tidak pernah saya alami di Departemen saya. Di Departemen lain juga saya tidak pernah mendengar hal tersebut.
Tidak pernah mendengar sejak mulai pendidikan sampai saya tamat beberapa tahun kemudian. Proses pendidikannya memang keras, tapi saya tidak menganggap sebagai rundung.
Saya mengalami semua yang dikatakan oleh mantan residen yang harus resign karena rundung di atas. Semester pertama harus olahraga, walau badan udah terasa mau putus; dimarahin karena ini, dimarahin karena itu; dan segala hal yang dikategorikan sebagai rundung—tapi saya tidak menganggap sebagai rundung.
ADVERTISEMENT
Dirundung kok tidak menganggap dirundung? Jawabannya mudah.Saya punya batasan sendiri terhadap kata rundung, dirundung, dan perundungan.
Dalam batasan saya, selama saya bisa mengatakan tidak terhadap permintaan dan perintah para senior, saya tidak menganggap sikap mereka bagaimanapun kerasnya sebagai rundung. Yang saya anggap rundung itu kalau saya tidak bisa menolak.
Istilah saya buat yang pertama “pembentukan karakter,” atau sebagaimana yang lazim digunakan para senior, “penggembelengan.” Sementara yang kedua saya katakan sebagai “dirundung nasib.”
Pembentukan karakter oleh senior saya anggap wajar, dirundung nasib ya wajar juga. Bukan residen namanya kalau tidak dirundung nasib.

Disuruh lari beberapa kilometer sehari, dipaksa olah raga oleh senior?

Yang begini boleh dibilang harus, supaya badan sehat. Dibutuhkan badan yang ekstra sehat dan ekstra bugar untuk menjalani pendidikan dokter spesialis. Dan ini hanya bisa dicapai dengan olahraga yang teratur.
ADVERTISEMENT
Kita tahu bersama pendidikan residen itu berat, butuh waktu yang panjang dan kebugaran tubuh untuk mengurus sekian banyak pasien sambil belajar, dan mengerjakan aneka tugas ilmiah yang luar biasa banyak secara bersamaan.
Kalau tidak dipaksakan sebagian orang malas untuk berolahraga, akhirnya keteteran sendiri menjalankan tugas-tugas keresidenan karena tubuh tidak bugar.
Dan ada manfaat lain yang jadi target utama dari “pemaksaan” olahraga ini: jiwa yang lebih sehat. Mens sana in corpore sano. Jiwa yang sehat terbungkus dalam tubuh yang juga sehat.
Secara empiris kulihat teman-teman yang rajin olahraga lebih siap secara psikologis dalam bekerja, lebih cepat mengambil judgment terutama di saat-saat di mana harus membuat keputusan ekstra cepat.
Jadi “dipaksa” olahraga oleh senior? Kalau saya mengambil manfaatnya saja. Dan, seperti yang kubilang di atas, dipaksa bukan berarti tidak bisa ditawar. Tinggal bicara aja sama seniornya. Toh seniornya dokter juga, pasti sangat paham soal kemampuan dan keterbatasan fisik, dan bahaya over-training.
ADVERTISEMENT
Tinggal beranikan diri saja bicara. Should be no harm done. Dari pengalaman saya tahu itu. Ada manfaat lain dari olahraga ini dalam pendidikan residen: menjalin kebersamaan dan keakraban.
Cuma saat bermain semua hierarki ditiadakan, residen terbaru boleh sparring sama residen paling senior, bahkan konsulen di lapangan olahraga.

Dimarahin karena terlambat respons WA?

Wah, kalau terlambat respons WA soal pasien, dan masalah lain yang menyangkut pendidikan sangat wajarlah kalau seniornya protes. Wajar kalau marah.
Bukan hal yang bisa slow response kalau soal pasien. Slow response bisa life threatening, limb threatening, memperjelek prognosis. Kalau masalah lain, ya wajar juga. Anggaplah jadi latihan untuk fast response WA soal pasien nanti.
Sekarang trennya pasien dilapor dan dikomunikasikan via WA. Kalau tidak terlatih untuk fast response, bisa dibayangkan bagaimana nanti meng-handle pasien yang dikomunikasikan lewat WA.
ADVERTISEMENT
Kita ini dokter. Statistik adalah salah satu platform pembuktian ilmiah paling mendasar dan paling umum digunakan di dunia Kedokteran.
Saat ini ada 32 pusat pendidikan dokter spesialis I di Indonesia (https://fk.ui.ac.id/spesialis.html), dengan peserta didik ribuan orang di masing-masing pusat pendidikan.

Satu orang resign dari sekian ribu peserta didik?

Tak perlu panjang diterangkan bahwa ini tidak bermakna secara statistik. Tidak bermakna secara statistik berarti kemungkinan tidak ada hubungan langsung antara kedua faktor.
Tidak ada hubungan langsung antara yang resign dengan tuduhan proses bullying sebagai penyebab resign. Penyebabnya mungkin bersifat personal dari yang resign sendiri. Beberapa residen memang resign karena berbagai pertimbangan pribadi; mulai dari peminatan yang salah, faktor keluarga, dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
Seringkali juga mental belum siap untuk bekerja tim, mengikuti peraturan tim, dan belum siap untuk bermasyarakat.
Beda dengan dahulu yang ngambil pendidikan spesialis yang sudah matang bermasyarakat di Puskesmas, sekarang yang ngambil spesialis sebagian fresh graduate FK yang perlu “Special treatment” supaya bisa segera berfungsi dalam tim.
Ada beberapa juga yang resign karena belum siap “dirundung nasib” lalu memilih displacement sebagai mekanisme pembelaan ego dan tanpa sadar menunjuk beribu alasan lain sebagai penyebab resign.
Data Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) tahun 2020 menyebutkan jumlah dokter spesialis di Indonesia 41.789 orang (Kompas.id), sementara dalam artikel lain ada yang menyebutkan dokter spesialis di Indonesia tahun 2023 berjumlah 50.000 orang.
Sekalipun belum memenuhi kebutuhan masyarakat secara kuantitatif jumlah ini cukup banyak, dengan laju pertambahan yang signifikan. Kalau memang pendidikan dokter spesialis penuh perundungan yang bikin peserta resign seharusnya jumlah ini jauh lebih sedikit, karena yang menjalani pendidikan banyak yang resign.
ADVERTISEMENT
Di atas saya beberapa kali menyebut kata “tim.” Sebenarnya ini kunci untuk tidak dimarah-marahi dalam pendidikan spesialis. Jadilah anggota tim, dan jadi valuable team member. Jalan searah dengan yang lain. Stay on course no matter what happens.
Saya dulu jarang dimarahin senior karena saya berusaha jadi tim. Semua tugas saya kerjakan, sambil membantu tugas teman-teman lain.
Jangan meninggalkan pekerjaan kalau belum beres, apalagi ninggalin havoc untuk dikerjakan oleh orang lain. Jangan kasih alasan para senior untuk marah karena pasien tidak beres diurus. Beresin semuanya, bersama tim. Kalau semua sudah beres masih ada senior yang nuntut, jangan takut untuk beraspirasi.
Waktu semesterku makin bertambah, dan hubungan dengan para senior makin akrab layaknya saudara dalam salah satu acara ngumpul makan bersama salah seorang senior yang terkenal galak bertanya (dalam dialek lokal),
ADVERTISEMENT
“Er, kenapa ko ini terkenal suka melawan sejak pertama masuk?” Satu pertanyaan yang sangat bagus.
Saya jawab, “Kalian ini semuanya senior yang baik. Pintar mengajarkan ilmu, skill, dan attude.”
Sejak saya pertama masuk para senior selalu berkata sengaja keras terhadap junior untuk membentuk karakter junior yang siap dengan kerja kita yang serba keras.
Itulah kenapa saya suka melawan seperti yang para senior bilang, suka membantah, sekalipun saya istilahkan beraspirasi dan diskusi. Karakter itu kalian yang minta. Karakter itu kalian yang bentuk.”
Serempak semua senior berkata, “...kau!,” slang khas kalangan Bedah di Indonesia Timur.
Satu hal yang menarik yang saya temukan setelah saya selesai, kalau memang kerasnya senior dan departemen mendidik adalah perundungan yang bikin sakit hati (sampai harus resign), kok kalau ketemu mantan residen dari berbagai departemen, atau berbagai pusat pendidikan (seperti saya kalau lagi ngumpul di DIB) salah satu pembicaraan paling favorit itu tanding-tandingan kerasnya pendidikan yang dijalani dulu.
ADVERTISEMENT
Tanding-tandingan bagaimana kerasnya para senior mengawal dan mendampingi di masa pendidikan dulu. Kalau sakit hati harusnya tidak ada yang mau ngomong soal itu.
Ini bukan hanya pada ngomong, malah jadi topik favorit. Saking favoritnya banyak yang tidak ragu ngibul buat menambah bumbu di kerasnya pendidikan yang dijalani dulu.
Lagian kalau memang ada bullying di pendidikan dokter spesialis kok Kemenkes yang mengusung? Pendidikan dokter spesialis kan under Dikte di Kemendikbud?
Bagus Kemenkes peduli, tapi cukup bersurat ke Kemendikbud untuk membereskan masalah yang seharusnya menjadi domain mereka, kalau masalahnya memang ada.