Uniknya Demokrasi Langsung ala Swiss

Erry W Prasetyo
I've been yes and I've been oh hell no
Konten dari Pengguna
11 November 2020 15:48 WIB
comment
18
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Erry W Prasetyo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Perbedaan Demokrasi Perwakilan dengan Demokrasi Langsung

ADVERTISEMENT
Beberapa minggu terakhir ini, tentunya kita semua mengikuti jalannya pemilihan umum (pemilu) di Amerika Serikat (AS). Bahkan sebagian dari kita mungkin ikut tegang menunggu hasil akhirnya. Sama seperti di Indonesia sendiri pada tahun 2019, ketika rakyat Indonesia menggunakan kekuatannya untuk menentukan nasib bangsa dalam Pemilu legislatif dan Pemilu Presiden.
ADVERTISEMENT
Indonesia dan AS juga memiliki kesamaan lain terkait jenis demokrasi yang dipraktikkan, keduanya melaksanakan demokrasi perwakilan. Dalam demokrasi perwakilan, rakyat memilih wakilnya untuk mengemban amanat dan aspirasi rakyat (mulai dari Wali kota, Gubernur, DPD, DPR, hingga Presiden). Kepada mereka inilah, rakyat menitipkan urusan negara untuk diatur, termasuk dalam mengambil keputusan-keputusan besar dan membuat undang-undang seperti disahkannya Undang-Undang (UU) Cipta Kerja pada bulan Oktober 2020.
Namun, ada satu negara yang praktik demokrasinya dijalankan secara lebih langsung dibandingkan Indonesia atau AS. Negara itu adalah Swiss. Negara yang berpenduduk 8 juta orang dan termasuk sebagai negara dengan pendapatan per kapita tertinggi di dunia ini memberikan hak partisipasi yang lebih kuat kepada rakyatnya melalui sistem demokrasi langsung.
Gedung Parlemen Swiss, di Ibu Kota Swiss, Bern. Foto: Martin Abegglen, creative commons generic license.

Hak Rakyat untuk Meminta Referendum

Di Swiss, rakyat tetap memilih wakil rakyat melalui Pemilu. Pembeda utama antara Swiss dengan negara-negara demokrasi lainnya adalah pemberian hak kepada warga Swiss untuk meminta referendum terhadap segala keputusan Pemerintah. Hak untuk referendum dapat dilakukan baik itu terkait UU yang telah ditetapkan atau untuk mengubah UU dan urusan sesuatu yang belum diatur oleh UU.
ADVERTISEMENT
Caranya cukup mudah, seseorang atau sekelompok orang cukup membuat petisi untuk mengubah dan membatalkan UU yang ditetapkan. Untuk dapat men-challenge UU yang sudah ditetapkan, hanya perlu mengumpulkan 50.000 tanda tangan (1% dari masyarakat yang punya hak pilih) dan disampaikan dalam waktu 100 hari sejak UU ditetapkan. Sementara itu, untuk mengubah UU, diperlukan petisi berisi 100.000 tanda tangan untuk dapat memulai referendum.
Sistem referendum atau demokrasi langsung ini tidak hanya dilakukan di level nasional saja, tapi juga dilakukan di level kanton (provinsi). Swiss melaksanakan referendum untuk hampir seluruh hal dan urusan publik, mulai dari pengaturan terkait ruang hijau kota, batas kecepatan kendaraan di dekat sekolah, hingga hal-hal penting seperti keputusan Swiss untuk bergabung dengan PBB dan Uni Eropa.
Markas Besar PBB di Jenewa, Swiss. Foto: Wikimedia Commons Universal Public Domain.

Referendum di Swiss

Coba dibayangkan, Swiss baru bergabung menjadi negara anggota PBB pada tahun 2002, sedangkan salah satu kota di Swiss, Jenewa, merupakan lokasi markas PBB sejak tahun 1945. Keputusan bergabung di PBB baru bisa dilaksanakan setelah hasil referendum melalui pemilu langsung oleh warga negara Swiss di tahun 2002.
ADVERTISEMENT
Sama halnya dengan status Swiss yang hingga saat ini bukan merupakan negara anggota Uni Eropa (UE). Pada tahun 2001, warga Swiss meminta referendum terkait keputusan Swiss untuk bergabung dengan UE. Pada tahun 2001, rakyat Swiss secara jelas memilih agar Swiss tidak menjadi negara anggota UE.
Di sinilah kita bisa melihat dengan lebih jelas perbedaan antara sistem demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan. Warga negara AS dan Indonesia tidak berpartisipasi secara langsung dalam keputusan bergabunganya negara mereka sebagai anggota PBB, atau sebagai anggota ASEAN dalam kasus Indonesia. Rakyat Indonesia dan AS hanya berpartisipasi langsung dalam pemilu untuk memilih wakil rakyat dan pemimpin negara.
Poster kampanye dalam suatu referendum. Foto: Justin Cormack (Justinc), Creative Commons Generic License

Pro dan Kontra Sistem Demokrasi ala Swiss

Jika kita lihat sekilas, sepertinya model demokrasi Swiss cukup menggiurkan. Lalu mengapa negara-negara demokrasi besar lainnya seperti Indonesia, AS, Prancis, atau Inggris tidak menerapkan sistem demokrasi yang sama? Beberapa alasannya adalah ukuran negara dan jumlah penduduk yang berpengaruh terhadap kompleksitas pengambilan kebijakan serta biaya pelaksanaan pemilu atau referendum.
ADVERTISEMENT
Swiss dapat melaksanakan sistem demokrasi langsung karena ukurannya yang relatif kecil dibandingkan Indonesia atau AS. Dengan total 8 juta penduduk di Swiss, untuk melaksanakan beberapa kali pemilu atau referendum setiap tahun dianggap menghasilkan keuntungan yang lebih banyak dibandingkan biayanya.
Sementara itu, untuk negara seperti Indonesia, dengan 270 juta penduduk, pelaksanaan pemilu membutuhkan proses perencanaan, logistik, dan biaya yang sangat besar. Pemilu di Indonesia tahun 2019 memerlukan anggaran yang mencapai 25 triliun rupiah. Jika untuk setiap keputusan kita harus melaksanakan referendum, kemungkinan keuntungan yang didapat tidak sebanding dari biaya dan upaya yang harus disiapkan.
Namun, kiranya kita ingin berandai-andai saja, jika demokrasi di Indonesia menjalankan sistem demokrasi langsung seperti di Swiss, kira-kira rakyat Indonesia akan meminta referendum untuk UU Cipta Kerja atau tidak?
ADVERTISEMENT