Islam Politik dan Pilpres 2019

Irsad Ade Irawan
Cendekia Muda dari GP Ansor-Banser dan FPPI, Wakil Sekjend Aliansi Buruh Yogyakarta, Peneliti di Yayasan Satunama dan YLBH SIKAP
Konten dari Pengguna
26 April 2018 10:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Irsad Ade Irawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Islam Politik dan Pilpres 2019
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Meski Pemilu Presiden (Pilpres) masih digelar tahun depan, tensi politik di Indonesia sudah meningkat. Para “Kandidat Presiden” telah bermanuver dan beberapa partai politik telah menyatakan dukungannya kepada kandidat tertentu.
ADVERTISEMENT
Presiden Joko Widodo (Jokowi) nampaknya juga sudah mulai bersiasat agar dapat terpilih kembali sebagai Presiden. Jokowi telah mendapatkan dukungan dari beberapa partai politik (parpol), yang terpenting adalah PDI Perjuangan dan Golkar. Kedua partai itu menguasai 36% kursi di DPR.
Ada yang membedakan Pilpres 2019 dan Pilpres sebelumnya (2014), yaitu semua kandidat Presiden berusaha mencitrakan dirinya dekat dengan umat Islam. Jokowi telah menemui banyak tokoh Islam dari Majelis Dzikir Hubbul Wathon hingga tokoh-tokoh Islam yang menamakan dirinya “Alumni 212”. Sedangkan Prabowo sedari 2014 banyak didukung oleh kelompok-kelompok yang terlibat dalam Aksi 411 dan Aksi 212.
Tekanan untuk mengakomodasi kelompok-kelompok Islam semakin menguat pasca Pilkada DKI 2016/2017. Karena bagaimanapun kelompok Islam telah mampu mengorganisir dua aksi besar dalam kurun waktu yang berdekatan. Aksi yang bertemakan “Bela Islam” yang digerakkan oleh FPI dan kelompok Islam konservatif lainnya pantas disangka sebagai salah satu faktor penyebab kekalahan Ahok dalam Pilkada DKI. Ahok sendiri bisa dibillang “Sekutu” bagi Jokowi, karena mereka pasangan Gubernur-Wakil Gubernu DKI sebelum Jokowi menjadi Presiden.
ADVERTISEMENT
Banyak orang yang terlibat dalam Aksi 212 membentuk kelompok “Alumni 212” yang beraneka ragam. Kapitra Ampera, Penasehat Hukum Rizieq Shihab dan tokoh alumni 212 pernah mengatakan gerakan Alumni 212 dibentuk dalam rangka untuk memilih muslim yang taat untuk setiap jabatan yang dipilih langsung, mulai dari DPR dan DPRD, Bupati/Walikota dan Gubernur, hingga Presiden dan Wakil Presiden.
Sebagian anggota Alumni 212 bercita-cita untuk mengalahkan Jokowi pada Pilpres 2019. Mereka beranggapan Jokowi mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang merugikan umat Islam di Indonesia. Biasanya mereka mencontohkan UU Ormas untuk menguatkan anggapan mereka. Mereka juga menuduh Jokowi mengkriminalisasi Ulama dengan kasus Rizieq Shihab sebagai contohnya.
Meskipun memiliki cita-cita bersama untuk mengalahkan Jokowi atau “2019: Ganti Presiden”, para Alumni 212 belum mempunyai kejelasan atau konsesus bersama tentang tokoh mana yang akan didukung untuk melawan Jokowi pada Pilpres 2019. Ada kelompok yang mengatakan Rizieq Shihab siap menjadi Capres. Bahkan Novel Bamukmin pernah mengklaim beberapa parpol mendukung Rizieq seperti PKS, PBB, PAN, dan Gerindra (Serambi News, 20 Maret 2018).
ADVERTISEMENT
Banyak kelompok-kelompok Islam yang kemungkinan lebih memilih mendukung kandidat yang berlatar belakang mainstream/mempunyai dukungan Parpol yang mapan. Tokoh-tokoh yang mungkin mendapatkan dukungan dari kelompok Islam di antaranya Prabowo Subiato yang siap "Nyapres" jika ditugaskan Gerindra, Anies Bawesdan, Gubernur DKI Jakarta yang berhasil mengalahkan Ahok. Kemudian juga ada Gatot Nurmantyo mantan Panglima TNI, yang konon juga ingin Nyapres.
Tokoh-tokoh ini bisa jadi bermanuver untuk mendapatkan dukungan dari kelompok Islam konvervatif. Misalnya Gatot memuji Rizieq Shihab yang dikatakannya memiliki pemahaman yang baik atas Pancasila. Gatot tidak percaya jika pemimpin FPI ingin menerapkan Syariat Islam di Indonesia.
Namun di luar tiga tokoh itu, ada pula kelompok politik Islam yang cenderung mendukung tokoh yang lain. Mereka mencari tokoh muslim yang memiliki latar belakang ulama dan pejabat publik sekaligus. Tuan Guru Bajang (TGB) dipercaya sebagai kandidat yang memenuhi dua kriteria itu. TGB adalah Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) saat ini.
ADVERTISEMENT
TGB digambarkan oleh para pendukungnya sebagai altenatif yang sempurna selain Jokowi. Selain berhasil menjabat Gubernur selama dua periode, TGB mempunyai latar belakang Muslim yang kuat. TGB adalah seorang alumni Universitas Al Azhar di Kairo, Mesir. Universitas Al Azhar dianggap oleh banyak kaum muslim sebagai salah satu institusi pendidikian paling penting di dunia.
Selain latar belakang pendidikan, TGB juga mempunyai latar belakang keluarga dari keluarga ulama. Dia adalah cucu Tuan Guru Pancor, pendiri Nahdlatul Wathan, organisasi Islam tebesar di NTB. Latar belakang keluarga itu jugalah yang menguatkan posisinya sebagai “Alim”.
Pendukung TGB pernah mengorganisasikan kampanye di Twitter pada 11 Maret 2018, yang meminta kepada Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) agar mempertimbangkan TGB sebagai Capres atau Cawapres yang diusung oleh Partai Demokrat. Petisi Twitter diulang ribuan kali secara online, untuk melambungkan nama TGB, yang sebelumnya belum terlalu dijagokan untuk Pilpres 2019. Kampanye itu tentunya bertujuan agar TGB diperhitungkan sebagai kandidat yang potensial dalam Pilpres tahun depan.
ADVERTISEMENT
Menghadapi tekanan yang kuat dari kelompok Islam konservatif agar memilih kandidat yang memiliki afiliasi yang kuat dengan Islam, Jowoki nampaknya sedang menjajaki calon pasangan yang dapat dianggap merupakan representasi Islam. Muhaimin Iskandar, Ketum PKB, Muhammad Romahurmuzy, Ketum PPP, dan Mahfud MD, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi barangkali menjadi pilihan bagi Jokowi untuk bertarung di Pilpres 2019.
Pilpres masih akan dihelat satu tahun lagi dan banyak permasalahan yang belum terselesaikan. Tapi, satu hal yang pasti Islam akan memainkan peran yang penting dalam perpolitikan Indonesia. Jokowi dan para pesaingnya akan memperhatikan tingkat popularitas mereka di kalangan muslim Indonesia. Mereka akan berusaha dianggap sebagai representasi umat muslim dan kebijakan mereka bersahabat kepada Islam, dalam rangka meraup dukungan umat muslim yang mencapai 87 persen dari total penduduk Indonesia.
ADVERTISEMENT
Tentunya kita berharap simbol-simbol Islam dalam kampanye Pemilu digunakan secara damai bukan untuk kampanye hitam, serta diharapkan tidak dijadikan alat untuk mobilisasi massa seperti “Aksi Bela Islam” untuk melawan kandidat yang lain.