news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Komnas HAM dan FPI: Suatu Ironi

Irsad Ade Irawan
Cendekia Muda dari GP Ansor-Banser dan FPPI, Wakil Sekjend Aliansi Buruh Yogyakarta, Peneliti di Yayasan Satunama dan YLBH SIKAP
Konten dari Pengguna
16 Mei 2017 17:23 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Irsad Ade Irawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Komnas HAM dan FPI: Suatu Ironi
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Front Pembela Islam (FPI) adalah organisasi Islam yang dideklarasikan pada 25 Robi’uts Tsani 1419 Hijriyyah atau tanggal 17 Agustus 1998. Dalam lintasan sejarahnya, organisasi ini kerap terlibat dalam kekerasan, intoleransi, bahkan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aktor Non-Negara. Ironisnya, organisasi semacam ini justru lahir seiring dengan tumbangnnya Suharto dan setelah demokrasi dibuka dengan Reformasi 1998. Meskipun secara formal baru terbentuk pada 17 Agustus 1998, tetapi FPI sebelumnya telah merintis kemunculannya di publik lewat pengajian, tabligh akbar, audiensi dengan unsur-unsur pemerintahan, serta silaturahmi dengan tokoh-tokoh agama terkemuka.
ADVERTISEMENT
Rizieq Shihab bersama sejumlah aktivits Islam, ulama, habaib adalah para pendiri FPI. Rizieq Shihab yang keturunan Hadramani ini memainkan peran sentral dalam pendirian FPI setelah sebelumnya berhasil mengumpulkan 20 sesepuh, yang beberapa di antaranya terkenal sebagai mubalik yang keras semenjak masa Orde Baru (Orba) seperti misalnya; Habib Idrus Jamalullail, KH Cecep Bustomi, KH Misbahul Anam, dan KH Fathoni.
FPI hadir sebagai suatu organisasi Islam yang memanfaatkan ruang gerak politik yang lebih luas setelah keruntuhan rezim Orde Baru Soeharto. Pasca Reformasi 1998, Indonesia diwarnai maraknya perkembangan berbagai partai, lembaga swadaya masyarakat, organisasi massa, dan lain sebagainya. FPI adalah salah satu kelompok yang turut mengambil untung dari gelombang demokratisasi ini. Dalam dokumen Risalah Historis dan Garis Perjuangan FPI, disebutkan tujuan awal pembentukan FPI adalah sebagai berikut: (1) adanya penderitaan panjang yang dialami umat Islam Indonesia akibat adanya pelanggaran HAM yang dilakukan oleh oknum penguasa, (2) adanya kewajiban bagi setiap muslim untuk menjaga dan mempertahankan harkat dan martabat Islam serta umat Islam, serta (3) adanya kewajiban bagi setiap muslim untuk dapat menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.
ADVERTISEMENT
Menurut Verena Beittinger-Lee, dalam bukunya Civil Society and Political Change in Indonesia: A contested arena, FPI pada mulanya dibentuk sebagai kelompok pendukung Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dalam perjalanan, FPI memodel ulang dirinya sendiri menjadi sebuah gerakan anti-perwakilan jalanan (street-level anti-vice movement). Bahkan menurut Lee, sebagian besar anggota FPI adalah masyarakat muda urban yang miskin dan tertarik dengan agenda organisasi serta dilengkapi seragam putih bertuliskan FPI.
Sementara itu, pada Juli 2008, the International Crisis Group (ICG) melaporkan, dari awal berdiri, FPI telah diasosiasikan dengan pejabat militer dan polisi, yaitu mantan Panglima ABRI Jenderal (Purn) Wiranto, dan sekutunya, mantan Pangkostrad Letnan Jenderal (Purn) Djadja Suparman. Lahirya FPI tak dapat dilepaskan dari pembentukan organ paramiliter Pengamanan (Pam) Swakarsa pada 1998. Dalam sebuah riset yang dilakukan Institut Studi Arus Informasi (ISAI) dalam buku Premanisme Politik (2000) mengungkapkan pembentukan FPI tak dapat dilepaskan dari tiga peristiwa: Kerusuhan Ketapang, Sidang Istimewa MPR, dan pembentukan organ paramiliter Pengamanan (Pam) Swakarsa. Ketiga peristiwa ini merupakan lanjutan gelombang demonstrasi Reformasi 1998 yang bergulir sejak Mei 1998.
ADVERTISEMENT
Berdasar riset ISAI, FPI turut aktif terlibat dalam penggalangan Pam Swakarsa menjelang Sidang Istimewa 10-13 November 1998 yang melantik B.J Habibie sebagai presiden; mengamankan Sidang Umum MPR pada Oktober 1999; serta membantu aparat membendung demonstrasi mahasiswa yang menolak RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya. Saat itu, FPI masih bergabung dalam Pam Swakarsa, sebuah organ paramiliter yang dibentuk militer untuk membendung aksi demonstrasi mahasiswa.
Dalam kubu Politik Syari’at Islam: Dari Indonesia ke Nigeria (2004), FPI dinilai dekat dengan orang-orang di sekitar Soeharto, khususnya Prabowo Subianto yang merupakan menantunya sekaligus seorang perwira tinggi militer pada tahun 1998. Setelah Prabowo diberhentikan dari TNI terkait penculikan aktivis, FPI mengalihkan dukungannya kepada Jenderal Wiranto.
Dukungan FPI terhadap Wiranto terlihat dalam aksi ratusan milisi FPI ketika menggeruduk kantor Komnas HAM, memprotes pemeriksaan Jenderal Wiranto dalam keterkaitannnya dengan kasus Mei 1998. Sementara kedekatan dengan ABRI/TNI dengan FPI dapat dilihat dalam aksi demonstrasi tandingan yang dilakukan FPI melawan mahasiswa penentang RUU Keadaan Darurat/RUU PKB yang diajukan Mabes TNI kepada DPR pada tanggal 24 Oktober 1999. Beberapa tokoh yang diduga turut memberikan dukungannya terhadap FPI adalah Kapolda Metro Jaya tahun 1998-1999 Mayjen (Pol) Nugroho Djayoesman dan Pangdam Jaya (selanjutnya diangkat menjadi Pangkostrad) Mayjen TNI Djaja Suparman. Riset ISAI mencatat FPI sempat mendatangi Polda Metro Jaya untuk meminta aparat Polda tidak ragu memberantas narkoba.
ADVERTISEMENT
FPI ditengarai kerap mengadakan pertemuan informal dengan para petinggi militer, seperti yang pernah dilakukan dengan Mayjen Djaja Suparman di Hotel Milenium Jakarta, menjelang pelaksanaan Sidang Umum MPR 1999. Para petinggi militer dan kepolisian, khususnya di tingkat Daerah Khusus Ibukota Jakarta, beberapa kali menghadiri apel siaga yang dilakukan FPI maupun ormas-ormas lain yang menyandang nama “PAM Swakarsa”.
Pelanggaran HAM Oleh FPI
Dalam perkembangannya, selain dituding dekat dengan dan menjadi alat aparat keamanan, FPI tercatat sering terlibat dalam kekerasan dan tindakan intoleransi, dan pelanggaran HAM. Namun, berkat “kedekatan” TNI membuat sulit penanganan aksi-aksi FPI yang bertentangan HAM bahkan melanggar hukum. Telah bannyak aksi-aksi intoleransi yang dilakukan oleh FPI. Bahkan berdasarkan riset oleh The Wahid Institute pada 2011, FPI dinobatkan sebagai pelaku tindakan intoleran yang paling tinggi.
ADVERTISEMENT
Aksi intoleransi FPI ini biasannya ditujukan kepada umat beragama lain, penghayat keyakinan, dan umat satu agama yang berbeda penafsiran dan atau mahzab dengan FPI. Satu contoh tindakan intoleransi FPI kepada umat beragama dan berkeyakinan adalah pembubaran kegiatan Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia di Tangerang Selatan, Banten, oleh anggota FPI pada 2016. Ada terlalu banyak aksi intoleransi atau pelanggaran atas kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dilakukan oleh FPI.
Tentunya aksi intoleransi dan sekaligus kekerasan yang paling monumental yang dilakukan oleh FPI adalah “Insiden Monas 2008”. FPI menyerang dan membuarkan dengan kekerasan terhadap aksi yang dilakukan oleh "Aliansi Kebangsaan Untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan" (AKKBB) di Monas pada 1 Juni 2008, tepat pada hari kelahiran Pancasila. Insiden ini bermula ketika AKKBB akan menggelar aksi di Monas, Jakarta, namun belum lama aksi dimulai, AKKBB diserang oleh massa beratribut FPI. Massa FPI memukuli anggota AKKBB, anggota FPI juga menghancurkan peralatan pengeras suara, merusak dan membakar spanduk. Tercatat 14 orang terluka dan sembilan di antaranya dirujuk ke rumah sakit.
ADVERTISEMENT
Aksi intoleransi dan pemberangusan kebebasan beragama oleh FPI ini bisa dikategorikan sebagai Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Aktor Non-negara. Kebebasan berbagama dan berkeyakinan merupakan salah satu HAM yang paling krusial dan utama. Bahkan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, dimasukkan ke dalam kategori non-derogable right, yaitu hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi atau dibatasi dalam keadaan apapun. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia UUD 1945, hak-hak yang termasuk dalam non-derogable right diatur dalam Pasal 28 huruf I ayat 1 yang meliputi Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. Kemudian pada Penjelasan Pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga telah menjelaskan lebih lanjut mengenai yang dimaksud dengan ``dalam keadaan apapun`` termasuk keadaan perang, sengketa bersenjata, dan atau keadaan darurat.
ADVERTISEMENT
Hak kebebasan beragama dinyatakan pula secara lebih rinci dalam Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (Sipol) pasal 18. Kovenan ini telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005. Isinya sebagai berikut: (1) Setiap orang berhak atas kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain, di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran; (2) Tidak seorang pun boleh dipaksa sehingga menggangu kebebasannya untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan sesuai dengan pilihannya.
Karena Indonesia Indonesia telah meratiikasi Kovenan Sipol, maka kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan hak hukum (legal rights) dan hak konstitusional (constitutional rights). Sedangkan setiap tindakan yang memberangus kebebasan beragama dan berkeyakinan, dapat dikategorikan sebagai kejahatan atas HAM. Aksi kekerasan dan intoleransi FPI sudah melanggar HAM dan sudah sangat banyak sekali terjadi.
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini, FPI adalah aktor Non-negara yang telah melakuka pelanggaran HAM. Pemerintah sebagai pihak yang berkewajiban untuk mempromosika, melindungi, dan memenuhi kebebasan beragama dan keyakinan, harus mampu menjamin rasa aman dan kenyamanan dalam hal beragama dan berkeyakinan, serta menjamin kebebasan beragama dari ancaman FPI.
Komnas HAM dan Ironisnya FPI
Meski memiliki catatan buruk dalam pelangggaran HAM, ironisnya Ketua Front Pembela FPI Rizieq Shihab meminta bantuan Komnas HAM terkait apa yang disebutnya sebagai 'kriminalisasi, teror dan intimidasi' yang ia hadapi. Namun lebih ironisnya lagi, ia menginginkan pertemuannya berlangsung di Arab Saudi atau di sebuah negara Eropa. Riziq Shihab yang begitu garang mengecam para Presiden (Gus Dur, SBY, dan Jokowi), menghina Pancasila, dan mendemo Mabes Polri, sekarang nyatanya takut untuk memenuhi panggilan Polisi, dan bahkan meminta bantuan Komnas HAM yang pernah ia hujat dan jelek-jelekkan. Hingga saat inni Rizieq Shihab belum berani pulang ke Tanah Air.
ADVERTISEMENT
Terkait dengan Komnas HAM, FPI justru sering dilaporkan ke lembaga tersebut atas pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukannya. Ribka Tjiptaning, anggota DPR melaporkan Font Pembela Islam, FPI, ke Komnas HAM dan Mabes Polri menyusul pembubaran paksa pertemuan anggota DPR dan masyarakat di Banyuwangi, Jawa Timur, pada 2010. Sebelumnya pada 2007, anggota dan simpatisan Partai Persatuan Pembebasan Nasional (Papernas) mengadukan kasus penyerangan oleh FPI) kepada Komnas HAM.
Selain dilaporkan ke Komnas HAM, sesungguhnya terdapat nuansa permusuhan dari FPI kepada lembaga tersebut. Dulu, FPI kerap berseberangan dengan Komnas HAM. Misalnya pada 20 Januari 2000, saat sekitar 200 anggota FPI melakukan unjuk rasa di depan kantor Komnas HAM. FPI meminta agar Komnas HAM dibubarkan karena dinilai bersikap diskriminatif dalam menangani kasus pelanggaran HAM. Beberapa bulan berselang, pada 23 Juni 2000, FPI menyerbu kantor Komnas HAM. Sekitar 500 massa FPI menyerbu Kantor Komnas HAM di Jalan Latuharhari, Jakarta Pusat dan menghancurkan kaca-kaca jendela lantai satu dan dua, lampu-lampu taman, serta pos pengamanan.
ADVERTISEMENT
FPI menyerukan pembubaran Komnas HAM dan menuntut anggota Komnas HAM untuk membubarkan diri, karena FPI menunduh Komnas HAM telah melakukan praktik diskriminasi dan tidak memperjuangkan hak-hak umat Islam yang terlanggar, baik pada kasus Maluku, Poso, Aceh, maupun Tanjungpriok. Saat itu FPI juga memprotes pemeriksaan terhadap Wiranto oleh Komnas HAM atas dugaan keterlibatan dalam pelanggaran HAM di kasus Mei 1998 dan kekerasan di Timor Leste. Kala itu FPI datang ke Kantor Komnas HAM untuk membela Wiranto. Mereka datang membawa pedang dan golok dan menuntut Komnas HAM dibubarkan lantaran memeriksa manta Panglima ABRI/TNI itu.
Peristiwa pembelaan FPI atas Wiranto dan penyerbuannya terhadap kantor Komnas HAM bisa ditemukan dalam beberapa buku, di antaraya Islam, Militancy, and the Quest for Identity in Post-New Order Indonesia dan Genealogi Islam radikal di Indonesia: Gerakan, Pemikiran.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, menjadi hal yang sangat ironis jika sekarang Rizieq Shihab meminta bantuan Komnas HAM atas perkara yang sedang menimpanya. Menjadi lebih ironis, CNN, Selasa, 16 Mei 2017 melansir berita bahwasannnya anak buah Rizieq Shihab lolos seleksi tahap awal anggota Komnas HAM. Salah satu petinggi FPI di Jawa Tengah, Zainal Abidin atau dikenal dengan Zainal Petir mendaftar sebagai calon Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Zainal telah lolos proses seleksi administrasi dan tertulis. Akan menjadi preseden buruk bagi perlindungan dan penegakan HAM jika sampai ada petingggi FPI yang menjadi komisioner Komnas HAM.
Dapat diambil kesimpulan, langkah Ketua FPI Rizieq Shihab yang meminta bantuan Komnnas HAM dan Zainal Petir mendaftar komisioner lembaga tersebut adalah suatu ironi. FPI yang banyak melakukan pelanggaran HAM, bermusuhan bahkan sampai menyerbu Kantor Komnas HAM, kini ia meminta bantuan dan bahkan mendatar komisioner. Sungguh ironis, tidak masuk akal, tapi nyata, itulah FPI.
ADVERTISEMENT