Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Milenial dan Pilpres 2019
2 Agustus 2018 16:26 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Irsad Ade Irawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Generasi Milenial, yaitu mereka yang lahir di antara 1980 dan 2000, merupakan target kelompok yang strategis pada Pemilu Presiden (Pilpres) 2019. Milenial menjadi kelompok yang strategis karena jumlahnya yang mencapai 80 juta pemilih yang usianya di bawah 40 tahun.
ADVERTISEMENT
Menurut data dari Saiful Munjani Research and Consulting (SMRC), setidaknya 34,4 persen masyarakat Indonesia berada dalam rentang “usia emas”, yaitu rentang umur 17-34 tahun. Sebagai tambahan, sekitar 10 juta milenial akan menjadi pemilih pemula atau pertama (first-time voter) pada Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pilpres 2019.
Namun sesungguhnya, akan ke manakah suara generasi milenial ini? Berdasarkan hasil survei SMRC yang melibatkan 1.059 responden di 34 provinsi pada Desember 2017 lalu, kecenderungan pemilih muda, yakni rentang umur di bawah 21 tahun hingga 25 tahun, lebih memilih Jokowi ketimbang Prabowo.
Dari 4,7 persen responden berumur di bawah 21 tahun, 45 persennya memilih Jokowi, 29 persen memilih Prabowo. Sementara 21 persen memilih nama di luar kedua nama tersebut, dan 6 persen belum tahu memilih siapa.
ADVERTISEMENT
Naik ke tingkat umur yang lebih tua, yakni 22-25 tahun, dari 5,2 persen responden pada usia tersebut, 40 persen memilih Jokowi, 18 persen memilih Prabowo, 36 persen memilih nama di luar dua nama tersebut, dan 5 persen belum tahu akan memilih siapa.
Sementara di tingkat umur 26-40 tahun, dari 33,9 persen responden di usia tersebut, 58 persen memilih Jokowi, 19 persen pilih Prabowo, 15 persen memilih calon lainnya, dan 8 persen belum tahu. Dari ketiga kelompok umur itu, suara responden generasi milenial jelas arahnya lebih mengarah ke Jokowi.
Jokowi sendiri menyadari pentingnya generasi milenial ini. Sebagai salah satu contoh, pada 8 April 2018 lalu, Jokowi tampil beda di Sukabumi, Jawa Barat. Mengendarai sepeda motor chopper, Jokowi mengenakan celana, dan jaket jeans. Pada bagian depan jaket itu tergambar peta wilayah Indonesia berwarna merah putih, sementara pada bagian belakang bertuliskan kata Indonesia dalam ukuran besar.
ADVERTISEMENT
Hal ini dapat dipahami bahwa Jokowi sedang membangun keterikatan dengan pemilih generasi milenial. Salah satu kunci dalam pola komunikasi ini adalah ketika seorang politisi tampil dan melakukan apa yang umum dilakukan para pemilihnya.
Untuk mengetahui pentingnya peran generasi milenial dalam Pilpres 2019, bisa dilihat dalam Pilkada Jawa Timur (Jatim) 2018 yang baru saja selesai dihelat. Selama masa kampanye Pilkada Jatim 2018, Calon Wakil Gubernur (Cawagub), Puti Guntur Soekarno dibantu oleh putra-putrinya selama berkampanye di Surabaya dan Malang.
Putra-putri Puti diajak berkampanye yang dimaksudkan sebagai representasi dari generasi milenial. Sementara itu, kandidat Wagub yang lain dan juga pemenang Pilkada Jatim 2018, Emil Dardak, seorang ikon untuk politisi milenial, merayakan hari ulang tahun yag ke-34 bersama anak-anak muda lainnya.
Meski menyadari pentingnya suara generasi milenial dan menggunakan “media lama” dan “media baru” dalam kampanye, kedua kandidat Cagub-Cawagub Pilkada Jatim 2018 tidak mempunyai “program-program” yang langsung menyasar kepentingan generasi milenial.
ADVERTISEMENT
Pada umumnya kedua pasangan kandidat mengusung program “umum” seperti pemberantasan kemiskinan, jaminan kesehatan, dan peningkatan kesejahteraan sosial. Sementara program-program yang akan memberikan dampak positif bagi generasi milenial dalam jangka panjang, sayangnya, hanya ada beberapa program yang menyasar kepentingan spesifik generasi milenial.
Situasi ini barangkali merefleksikan kurangnya pemahaman yang memadai di antara para kandidat tentang aspirasi dan kepentingan generasi milenial. Penyebabnya bisa jadi karena minimnya riset sebagai basis untuk menyusun program kampanye. Sebagai hasilnya, kebanyakan program yang diusung oleh para kandidat cenderung kurang inovatif dan kreatif satu sama lain.
Faktor kunci lainnya adalah struktur oligarki yang menghinggapi partai-partai politik di Indonesia, di mana partai politik seringkali dikendalikan “politisi senior”. Hal ini telah banyak menyebabkan hambatan bagi politisi muda untuk berpartisipasi dalam politik lokal. Dibandingkan dengan prinsip meritokrasi, nampaknya “Kekerabatan Politik” masih menjadi faktor berpengaruh bagi politisi muda untuk mengembangkan karir politik mereka.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, hanya terdapat sedikit politisi dan birokrat yang dianggap bersih dan kredibel untuk menjadi panutan atau “role model”. Maka tidak heran, generasi milenial menyumbang jumlah besar angka “Golput” dalam Pilkada yang lalu. Tanpa langkah strategis untuk memecahkan masalah ini, Golput di kalangan milenial akan memengaruhi tingkat partisipasi politik dan kualitas kontestasi politik di Indonesia.
Oleh karena itu, para kandidat Capres dan Cawapres serta partai pengusungnya pada Pilpres 2019 perlu mengakomadasi kepentingan dan aspirasi generasi milenial, bukan hanya menjadikan mereka sebagai “gimmicks” dalam retorika kampanye politik.
ADVERTISEMENT
Para kandidat dan partai politik yang akan berkontestasi dalam Pilpres 2019 harus mengakomodasi generasi milenial ke dalam kebijakan dan menyiapkan landscape politik masa depan yang lebih baik.
Pileg dan Pilpres 2019 harus menunjukkan bukti-bukti lebih lanjut bagaimana milenial telah ditransformasikan sebagai subjek politik yang penting bukan sekadar angka statistik pemilih. Jika ini bisa menjadi kenyataan tahun depan, terdapat harapan bagi pembaruan kultur politik di masa yang akan datang.