Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Perdagangan Anak, Sisi Gelap Transfer Pemain Bola Dunia
27 Mei 2018 14:24 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:08 WIB
Tulisan dari Irsad Ade Irawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Selain laga klub kesayangan, bursa transfer adalah satu hal yang ditunggu-tunggu oleh para penggemar sepak bola. Perpindahan pemain bola memang seru dan pastinya membuat penasaran. Terlebih jika ada rumor tentang pindahnya pemain bintang ke klub favorit. Selain itu, bursa transfer tentu menjadi salah satu harapan bagi pesepak-bola dari Asia, Afrika, Amerika Latin untuk dapat bermain di liga-liga Eropa.
ADVERTISEMENT
Kolonalisme dan Imperialisme, selain menghambat pembangunan di negara-negara Dunia Ketiga tetapi juga seolah membuat adanya kasta-kasta dalam persepak-bolaan dunia, di mana liga di Benua Eropa menempati kasta yang paling tinggi. Di sanalah harapan dan impian! Maka tak heran banyak pemain bola muda yang ingin bermain di liga-liga Eropa.
Namun di balik gemerlapnya liga-liga Eropa, ada sisi gelap yang bertentangan dengan rasa kemanusiaan. Sisi gelap itu adalah perdagangan pemain, terutama pemain muda dalam liga Eropa. Perdagangan atlit muda tetap menjadi masalah besar bagi sepak-bola profesional namun sebagian besar diabaikan oleh mereka yang memiliki kekuasaan untuk menghentikannya terjadi.
Pada 2014, the Telegraph pernah memuat liputan tentang pemain muda asal Afrika yang menjadi korban “perdagangan manusia” di Eropa. Dalam liputannya, the Telegraph menceritakan sosok Souleymane Oeudraogo.
ADVERTISEMENT
Oeudraogo adalah potret pesepak-bola dari keluarga kelas bawah di Dunia Ketiga yang bermimpi bermain di liga paling bergengsi di dunia. Namun Oeudraogo tidak sendirian, banyak pemain muda yang termakan janji palsu dari agen-agen pemain yang tersebar di Afrika Barat, Amerika Latin, dan Asia yang berangkat ke Eropa. Akan tetapi, mereka kemudian melewati mimpi-mimpi buruk di Benua Biru Eropa.
Oeudraogo sendiri akhirnya terdampar di Paris sebagai korban perdagangan manusia dalam sepakbola. Dia tidak memiliki kontrak, tidak ada koneksi, dan hidup berpindah-pindah tempat di antara apartemen Paris.
Mengikuti perjalanan nasib yang hampir sama dengan Oeudrago, sejumlah pesepak bola muda berbakat diundang untuk bergabung dengan sebuah tim, dan kemudian melakukan perjalan dari Afrika ke Eropa.
ADVERTISEMENT
Di Eropa, mereka diperjanjikan akan bermain dalam pertandingan uji coba yang akan mengarah pada kontrak profesional. Untuk kesempatan yang dianggap dapat mengubah nasib ini, para pemain muda harus membayar pelatih, agen, atau pencari bakat sekitar $ 5.000 (£ 3.500) bahkan lebih.
Ketika para pemain muda tiba di Eropa, ternyata tidak ada pencari bakat dari klub profesional yang menunggu untuk menonton laga mereka dan tidak ada laga uji coba untuk mengarah pada kontrak dengan klub profesional.
Juga tidak ada hotel ketika oknum yang mengaku pelatih atau agen menghilang bersama uang setoran. Mereka meninggalkan para pemuda Afrika di Eropa, ditinggalkan dan sendirian sangat jauh dari rumah.
ADVERTISEMENT
Cerita seperti ini juga dialami oleh Matthew Edafe, seorang pemain muda asal Nigeria. Ia ditinggalkan oleh timnya di Spanyol dan akhirnya dibuang di Cape Verde, di mana ia terjebak selama setahun sebelum ia akhirnya menemukan jalan kembali ke rumah.
Hakim, seorang pemain muda asal Afrika Barat, terdampar di Istanbul. Untungnya, ia menemukan komunitas orang Afrika Barat yang mengalami nasib dan situasi yang situasi serupa.
Pada malam hari, komunitas ini bermain bola di taman. Pada siang hari mereka berusaha mendapatkan pekerjaan, perkerjaan apa saja yang dapat mereka temukan tanpa dokumen yang memadai.
Tidak ada banyak pilihan bagi para pemain muda ini. Pilihan bagi mereka adalah tetap tinggal tanpa dokumen yang memadai atau pulang ke keluarganya, bahwa mereka telah menjadi korban penipuan dan tidak ada gebyar sepak bola Eropa, sementara keluarga mereka telah berhutang untuk membiayai keberangkatan mereka.
ADVERTISEMENT
Perdagangan pemain muda Afika—termasuk Asia—ke Eropa adalah sisip gelap dan rahasia kotor industri sepak-bola dunia. Keberadaannya sudah diketahui namun jarang didiskusikan dan kurang dipahami.
Pergerakan pemuda Asia-Afrika ke Eropa ini digerakkan oleh pelatih dan agen nakal, yang terkadang berbagi keuntungan dengan akademi sepak-bola. Hal ini tentu saja merupakan suatu bentuk terkeji perdagangan manusia dan suatu bentuk eksploitasi yang meningkatkan kerentanan sosial dan ekonomi.
Masalah perdagangan anak rupanya belum menjadi salah satu isu paling penting di dunia. Patut disangka, para pihak yang berkuasa dalam industri sepak-bola pergerakan ilegal pemain dari Afrika ke Eropa.
Padahal telah ada UN Convention on the Rights of the Child (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Anak) 1989, instrumen HAM yang salah satunya bertujuan untuk memerangi transfer ilegal dan tidak kembalinya anak-anak di luar negeri dan Pasal 19 FIFA yang menyatakan transfer pemain internasional hanya diizinkan jika pemain berusia di atas 18 tahun.
ADVERTISEMENT
“Ada idealita dan realita”, terdapat aturan dan pedoman dan realitas yang menantang, terutama ketika ambisi, aspirasi, globalisme, dan uang terlibat. Para pemain muda sering tidak sadar akan legitismasi dan jalan yang terjal untuk bisa menjadi pemain profesional di liga-liga Eropa.
Terkadang juga tidak disadari, dalam beberapa kasus, hanya pemain “elit” yang pernah bergabung dengan Tim Nasional pada level internasional yang bisa mendapatkan izin kerja di Eropa, meskipun ada klub sepak-bola yang menidentifikasi bakat mereka.
Perdagangan manusia adalah salah satu kejahatan kemanusiaan yang paling cepat perkembangannya. Daya tarik untuk berkarier di liga-liga Eropa sering dimanfaatkan untuk mengeksploitasi para pemuda dan menjerumuskan masa depan mereka.
Menciptakan jalan yang aman bagi pengembangan dan pergerakan pemain muda dalam rangka mencari peluang di sepak-bola profesional perlu dilakukan, demi rakyat Dunia Ketiga khususnya dan sepak-bola itu sendiri.
ADVERTISEMENT