Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Pergeseran Orientasi Terorisme di Indonesia 2000-2018
17 Mei 2018 13:18 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:08 WIB
Tulisan dari Irsad Ade Irawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Jika melihat lintasan sejarah terorisme dari zaman Yunani hingga ISIS, terorisme tidak bisa dihubungkan dengan etnis dan agama tertentu. Terorisme telah mewarnai sejarah perkembangan umat manusia, terutama pada abad 18 Masehi, isu terorisme menyebar ke Eropa, ketika pemerintah transisi hasil Revolusi Perancis yang melakukan pembunuhan massal terhadap penentang pemerintahan hasil revolusi yang baru terbentuk antara tahun 1793–1794. Pemerintahan tersebut kemudian dikenal sebagai régime de la terreur (Hoffman, 2006:3). Terorisme juga terjadi di wilayah-wilayah lain Eropa, antara lain terjadi di Rusia pada 1870 yang bernama People’s Retribution (Crenshaw, 1995), kemudian pembajakan pesawat El Al airliner rute Tel Aviv, Israel menuju Roma, Italia yang dilakukan oleh Popular Front for the Liberation of Palestine (PFLP) tahun 1968 yang menandai munculnya terorisme modern atau dikenal dengan the Age of Modern Terrorism.
ADVERTISEMENT
Peristiwa 9/11 bisa dianggap sebagai peristiwa yang mengubah sejarah. Sejak 9/11, pandangan dunia berubah terhadap terorisme, yang diidentikkan dengan dengan salah satu agama, yaitu Islam. Hal itu disebabkan karena dalang dari 9/11 adalah kelompok Islam Al Qaeda, pimpinan Osama Bin Laden. Walaupun sesungguhnya, berdasar kajian Gerard Chalian dan Arnaud Blind dalam The History of Terrorism: from Antiquity to Al Qaeda, disebutkan terorisme yang menggunakan justifikasi Islam mulai muncul sekitar tahun 1968.
Jika melihat pada agama-agama lain, juga terdapat kelompok garis keras yang melakukan aksi-aksi teror. Contohnya adalah pembunuhan yang dilakukan kepada Perdana Menteri Israel, Yitzak Rabin pada tahun 1995 yang dilakukan oleh Yigal Amir. Dalam pengakuannya, Yigal mengatakan bahwa tindakan yang dilakukan adalah atas perintah Tuhan (Hoffman, 2006:82). Di Jepang, ada kelompok Aum Shinrikyo, kelompok yang mengkombinasikan ajaran Buddha, Hindu, dan Kristen, menyebar gas sarin di kereta bawah tanah Tokyo (1995), menewaskan 12 orang dan melukai 3.000 (Rapoport, 2006:61).
ADVERTISEMENT
Setahun pasca 9/11, serangan teror terjadi di Indonesia. Pada 12 Oktober 2002, terjadi pengeboman oleh teroris di Sari Club dan Paddy’s Cafe di Jalan Legian, Kuta, Bali yang mengakibatkan 202 orang tewas, 164 orang warga asing dari 24 negara, dan 38 orang lainnya warga Indonesia, serta 209 orang mengalami luka-luka.
Dari penangkapan-penangkapan yang dilakukan terhadap para pelaku, memunculkan organisasi Jamaah Islamiyah (JI) yang disebut sebagai dalang dibalik bom Bali tersebut. JI berafiliasi denga Al-Qaeda, dengan munculnya keterlibatan Hambali, Komandan Operasi Militer JI, dengan Khalid Sheikh Mohammed, anggota Al Qaeda dan juga otak pelaku bom 11 September (Hoffman, 2006:274).
Selain bom Bali, selama periode tahun 2000-2009 terjadi aksi-aksi teror yang mencerminkan motivasi agama dan dilakukan oleh anggota jaringan Jamaah Islamiyah, antara lain:
ADVERTISEMENT
Pertama, 1 Agustus 2000, bom meledak di depan rumah Duta Besar Filipina. Menteng, Jakarta Pusat. Ledakan tersebut mengakibatkan 2 orang tewas dan 21 orang terluka. Duta Besar Filipina Leonides T. Caday juga ikut terluka. Aksi ini dilakukan oleh Abdul Jabar bin Ahmad Kandai, Fatur Rahman AlGhozi, dan Edi Setiono.
Kedua, 24 Desember 2000, bom malam natal di 38 gereja di malam natal di 38 gereja di berbagai daerah, antara lain Jakarta, Pekanbaru, Medan, Bandung, Batam, Mojokerto, Mataram, dan Sukabumi serta beberapa kota lain. Rangkaian peristiwa tersebut menyebabkan 19 jiwa tewas dan 120 terluka (International Crisis Group, 2002). Pelaku serangan ini adalah Hambali, Zoefri, Abdul Jabar, Edi Setiono, Asep, Musa, dan Dani.
ADVERTISEMENT
Ketiga, 12 Oktober 2002, bom diledakkan di Sari Club dan Paddy’s Cafe di Jalan Legian, Kuta, Bali. Peristiwa tersebut mengakibatkan sebanyak 202 orang tewas, 164 orang di antaranya warga asing dari 24 negara, 38 orang lainnya warga Indonesia 209 orang mengalami luka-luka. Bom Bali I dilakukan oleh Amrozi, Ali Imron, Imam Samudra, dan Ali Gufron.
Keempat, 5 Agustus 2003, bom meledak di Hotel JW Marriot Jakarta yang mengakibatkan 11 orang tewas, dan 152 orang luka-luka. Serangan ini merupakan bom bunuh diri yang dilakukan oleh Asmar Latin Sani.
Kelima, 9 September 2004, bom meledak di Kedutaan Besar Australia yang mengakibatkan 5 orang tewas dan ratusan luka-luka. Serangan bom bunuh diri dilakukan oleh Heri Kurniawan alias Heri Golun yang dibantu oleh Rois, Ahmad Hasan, Apuy, dan Sogir alias Abdul Fatah.
ADVERTISEMENT
Keenam, 1 Oktober 2005, bom kembali meledak di Bali, tepatnya di Jimbaran Beach Resort, Kuta. Kurang lebih 22 orang tewas dan 102 luka-luka. Serangan ini dilakukan oleh Anif Solchanudin alias Pendek bin Suyadi.
Ketujuh, 17 Juli 2009, bom bunuh diri meledak di Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton menyebabkan 7 orang tewas, 3 diantaranya adalah warga asing dan 50 orang terluka. Serangan ini dilakukan oleh Dani Dwi Permana (Bogor) dan Nana Ikhwan Maulana (Pandeglang) anak buah dari Noordin M. Top, anggota Jamaah Islamiyah.
Rangkaian aksi pengeboman di atas dilakukan oleh satu jaringan yang sama, yakni alumni jihad Afghanistan dan anggota Jamaah Islamiyah. Fathur Rahman Al Ghozi, Zulkarnaen, Hambali, Mukhlas, Ali Imron, Imam Samudra, dan Dr. Azahari adalah alumni perang Afghanistan yang telah mendapatkan pendidikan militer dan strategi perang (Solahudin, 2011:213-216). Selain para alumni Afghanistan, ada juga nama Noordin M. Top, seorang akuntan Warga Negara Malaysia yang merupakan anggota Jamaah Islamiyah dan perekrut ulung. Dari merekalah kemudian jaringan-jaringan teroris terbentuk melalui kaderisasi dan doktrinasi hingga memunculkan para “pengantin” siap mati, sebutan untuk bomber bunuh diri seperti Asmar Latin Sani, Dani Dwi Permana, dan Nana Ikhwan Maulana.
ADVERTISEMENT
Aksi-aksi teroris JI selalu menargetkan target-target yang menjadi simbol Barat dan karena memiliki pengalaman bertempur di berbagai negara, serangan JI sangat mematikan karena mampu merakit bom dengan daya ledak yang luar biasa tinggi.
Aksi terorisme di Indonesia pada periode itu mendapatkan reaksi kontra-terorisme dari Pemerintah Indonesia. Pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror merupakan bentuk riil dari pemberantasan terorisme di Indonesia. Banyak atau bahkan seluruh pemimpin teras JI berhasil ditembak mati, dipenjarakan, dan dihukum mati.
Praktis, kematian dan ditangkapnya tokoh-tokoh yang dianggap sebagai gembong teroris yang terlibat dalam serangkaian bom di Indonesia, menyebabkan melemahnya gerakan terorisme di Indonesia. Hal itu terbukti dengan mulai surutnya aksi-aksi terorisme pada 2009 dan 2010 sejak kematian Noordin M. Top.
ADVERTISEMENT
Pasca kematian Nurdin M. Top pada 2010, terorisme belum bisa diberantas dari Indonesia. Tercatat sepanjang tahun 2011 saja terjadi tiga serangan teroris di berbagai daerah, antara lain di Jakarta, Cirebon dan Solo serta Poso. Namun, terorisme yang terjadi pada tahun 2010 hingga 2018 berbeda dari aksi-aksi terorisme pada tahun 2000 hingga 2009.
Perbedaan ini dilihat dari sasaran-sasaran terorisme yang terjadi tahun 2010 hingga 2018 yang merupakan masyarakat sipil dan aparat penegak hukum khususnya Polisi. Berbeda dari terorisme pada tahun 2000 hingga 2009 yang mengarahkan aksi teror ke obyek-obyek yang merupakan simbol Barat. Sebagai contoh adalah pengeboman terhadap polisi di Solo dan Poso serta penembakan terhadap polisi di Kebumen dan Purworejo. Selain itu, hal yang mengejutkan terjadi ketika bom bunuh diri diledakkan di masjid di Cirebon pada saat ibadah salat Jum'ad
ADVERTISEMENT
Sesungguhya telah terjadi pergeseran orientasi pada gerakan terorisme yang menggunakan justifikaasi agama di Indonesia. Pergeseran yang dimaksud adalah mulai ditinggalkannya tanzhim atau organisasi sebagai wadah gerakan dengan mulai munculnya terorisme individu atau Lone Wolf Terrorism. Merebaknya paham takfiri (mengkafirkan orang lain) yang didukung dengan munculnya simpatisan Islamic State in Iraq and Syria (ISIS) di Indonesia, justru tidak membuat gerakan teror mendapat banyak dukungan dari kalangan kelompok pergerakan Islam (NU dan Muhammadiyah misalnya) di Indonesia. Akibatnya, aksi-aksi terorisme yang terjadi di Indonesia mengalami perubahan menjadi sporadis, tidak jelas, dan berbeda dari periode sebelumnya dari segi jumlah dan intensitas serangan teror, modus operandi, sasaran aksi teror, dan pelaku-pelaku yang terlibat dalam kancah gerakan terorisme. Hal itu dilihat pada kasus-kasus terorisme tahun 2010-2018 antara lain:
ADVERTISEMENT
Pertama, 15 Maret 2010, penembakan terhadap seorang anggota polisi, Briptu Yona Anton Setiawan, yang tewas dengan luka tembak di bagian kepala di Markas Polsek Prembun, Kabupaten Kebumen. Penembakan ini dilakukan oleh Yuli Harsono (International Crisis Group, 2011:10).
Kedua, 10 April 2010, Sekitar pukul 08.30 WIB, terjadi kasus penembakan terhadap dua anggota Polisi, yakni Bripka Wagino dan Briptu Iwan Eko Nugroho yang ditemukan tewas dengan luka tembak di Pos Polisi Kentengrejo Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Penembakan ini juga dilakukan oleh Yuli Harsono (International Crisis Group, 2011:10).
Ketiga, 15 Maret 2011, serangan bom buku terhadap aktivis Jaringan Islam Liberal, Ulil Abshar Abdala di Utan Kayu, Gories Mere di Badan Narkotika Nasional, dan Yapto Suryosumarno di Ciganjur Jakarta Selatan. Selain itu musisi Ahmad Dhani juga mendapat kiriman bom pada hari yang sama di kantor Republik Cinta Manajemen Pondok Pinang, Jakarta Selatan. Pengiriman Bom Buku dilakukan oleh Pepi Fernando, Hendi, Mugiono, Watono, Ade Guntur, dan Febri.
ADVERTISEMENT
Keempat, 15 April 2011, bom bunuh diri diledakkan di Masjid Mapolresta Cirebon saat Salat Jumat yang menewaskan pelaku dan melukai 25 orang lainnya. Serangan om bunuh diri dilakukan oleh Muhammad Syarif.
Kelima, 19 Agustus 2012, sebuah granat meledak di Pos Pengamanan (Pospam) Gladak, Solo, Jawa Tengah. Ledakan ini hanya mengakibatkan kerusakan kursi di Pospam Gladak. Pelaku penyerangan tidak dapat dikenali.
Keenam, 3 Juni 2013, sebuah bom bunuh diri diledakkan di depan Masjid Mapolresta Poso, Sulawesi Tengah. Tidak ada korban jiwa selain pelakunya. Serangan ini dilakukan oleh Zaenul Arifin alias Arif Petak dari Lamongan, Jawa Timur.
Ketujuh, 20 Agustus 2015, terjadi baku tembak antara kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Santoso melawan Densus 88 Polri dan TNI di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. MIT ini berbaiat kepada ISIS. Perlu waktu yang lama bagi TNI dan Polri untuk menghancurkan kelompok ini. Santosos tewas pada 18 Juli 2016.
ADVERTISEMENT
Kedelapan, 14 Januari 2016, terjadi serentetan peristiwa terorisme berupa sedikitnya enam ledakan, dan juga penembakan di daerah sekitar Plaza Sarinah, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, DKI Jakarta. Ledakan terjadi di dua tempat, yakni daerah tempat parkir Menara Cakrawala, gedung sebelah utara Sarinah, dan sebuah pos polisi di depan gedung tersebut. Sedikitnya delapan orang (empat pelaku penyerangan dan empat warga sipil) dilaporkan tewas dan 24 lainnya luka-luka akibat serangan ini. Lima orang terlibat sebagai pelaku penyerangan, dan ISIS mengklaim bertanggung jawab sebagai pelaku penyerangan. Keempat pelaku yang sudah berhasil diidentifikasi bernama Dian Juni Kurniadi, Muhammad Ali, Afif atau Sunakin dan Ahmad Muhazan. Pelaku Ahmad Muhazan merupakan bomber bunuh diri di dalam kedai kopi Starbuck. Aman Abdurrahman diduga sebagai dalang dari Peristiwa ini. Ia diduga kuat juga sebagai tokoh penting Jamaah Ansharut Daulah (JAD).
ADVERTISEMENT
Kesembilan, terjadi berbagai serangan yang menargetkan polisi sepanjang 2017, mulai dari kasus bom Kampung Melayu, penyerangan Polda Sumatera Utara, penikaman polisi di Blok M, penyerangan Polres Banyumas, hingga pembakaran kantor polisi di Sumatera Barat.
Kesepuluh, serangan teroris di tiga gereja dan Mapolresta Surbaya 2018. Pelaku bom bunuh diri yang menyerang tiga gereja di Surabaya, Jawa timur pada Minggu 13 Mei 2018 semuanya merupakan anggota dari satu keluarga. Sedikitnya 11 orang tewas dan lebih dari 40 orang luka-luka ketika kelompok itu menargetkan sidang Misa Minggu di kota terbesar kedua di Indonesia. Identitas keluarga itu adalah pasangan suami-istri Dita Oepriyanto dan Puji Kuswati, dan anak-anak mereka adalah Fadhila Sari, Pamela Riskita, Yusuf Fadil, Firman, Halim. Selang satu hari pengeboman tiga gereja di Surabaya, terjadi serangan bom bunuh diri di Mapolresta Surabaya. Serangan ini juga dilakukan oleh satu keluarga. Mereka adalah suami istri pengebom dan tiga anaknya yaitu Tri Murtiono, sebagai kepala keluarga, istri pelaku Tri Ernawati, dan anak-anak mereka AAP (masih hidup), MDS, dan MDA. Sesunguhnya juga terjadi ledakan di apartemen Wonocolo, tetapi lebih disebabkan karena faktor kecelakaan daripada serangan teroris. Bom itu terdapat dalam ruangan yang disewa oleh satu keluarga yang patut diduga juga akan melakukan aksi serangan di Surabaya.
ADVERTISEMENT
Kesebelas, serangan teroris di Mapolda Riau, 16 Mei 2018. Para pelaku nekat menabrak dan menyabet polisi menggunakan senjata tajam jenis pedang yang dibawanya. Pelaku yang mengendarai mobil toyota avanza warna putih bernomor polisi BM 1192 RQ itu tiba-tiba menerobos masuk ke dalam Mapolda Riau dari Jalan Sudirman. Dalam serangan itu seorang polisi tewas ditabrak oleh pelaku yang membawa mobil. Dua orang petugas yang berjaga disabet menggunakan senjata oleh terduga teroris. Para pelaku pun langsung ditembak mati oleh polisi sesaat setelah melakukan penyerangan ke Mapolda Riau. Menurut keterangan polisi, serangan teror yang dilakukan di Mapolda Riau adalah berasal dari Negara Islam Indonesia (NII) yang sudah berbaiat kepada ISIS. Keempat pelaku adalah Daud, Adi Sufiya, Ical, dan Suwardi.
ADVERTISEMENT
Melihat kasus-kasus terorisme tahun 2010-2018 di atas, yang terjadi justru banyak terjadi aksi-aksi terorisme individual atau lone wolf terrorism. Ramon Spaaij merumuskan ciri-ciri Lone Wolf Terrorism antara lain: (1) dilakukan secara individu; (2) bukan merupakan bagian dari kelompok atau jaringan teroris; (3) modus operandi dipahami dan diatur oleh individu tanpa adanya komando (Spaaij, 2012:16). Ketiga ciri tersebut sangat berbeda dengan terorisme yang dikendalikan melalui organisasi yang terdiri dari banyak anggota, jaringan yang besar dan didukung dengan sarana serta dilaksanakan dengan terencana.
Berdasarkan ciri-ciri tersebut, bisa dikatakan di Indonesia telah muncul Lone Wolf Terrorism. Hal itu dapat dibuktikan dengan kasus-kasus terorisme yang terjadi pada periode tahun 2010 hingga 2015. Kemunculan JAD yang konon dipimpin oleh Aman Abdurrahman adalah pengecualian (mulai terkenal pasca Bom Sarinah 2016). Meski JAD kini mendominasi pemberitaan serangan terorisme, namun garis komando atau sistem sel mandiri untuk inisiatif serangan perlu ditelusuri lebih lanjut.
ADVERTISEMENT
Selain munculnya lone wolf terrorism, perubahan yang terjadi pada terorisme tahun 2010-2018 adalah perubahan sasaran teror. Sasaran aksi terorisme tidak lagi simbol-simbol Barat, melainkan justru masyarakat sipil, aparat keamanan, terutama kepolisian. Kemunculan JAD tidak merubah fenomena ini. JAD tetap menyasar masyarakat sipil dan polisi.
Patut disangka perubahan atau pergeseran ini disebabkan merebaknya paham takfiri atau paham yang memberikan vonis kafir atau keluar dari Islam secara sah karena melakukan perbuatan yang membatalkan keislaman. Takfir sendiri terbagi menjadi dua, yaitu takfir ‘am dan takfir mu’ayyan. Takfir ‘am adalah menilai sebuah keyakinan ucapan atau perbuatan yang telah tampak membatalkan status keIslaman tanpa memerlukan kajian syarat-syarat. Sedangkan takfir mu’ayyan, adalah menjatuhkan vonis kafir terhadap seorang Muslim yang terbukti secara sah mengucapkan ucapan atau melakukan perbuatan yang dianggap membatalkan keislaman, tetapi dengan kajian-kajian tentang syarat-syarat tertentu
ADVERTISEMENT
Perbedaan pemaknaan takfiri dan kehadiran ISIS pada tahun 2014 lalu berakibat terpecahnya kelompok militan di Indonesia. Perselisihan dalam perdebatan antara penganut paham takfir ‘am dan takfir mu’ayyan dalam permukaan diwakili oleh Al Qaeda dan pendukungnya yang menganut paham takfir ‘am dan takfir mu’ayyan dimotori oleh Aman Abdurrahman dan simpatisan ISIS di Indonesia.
Perdebatan antara kedua kubu teroris itu bisa disebut sebagai “jihad vs jihad”, karena baik Al Qaeda maupun ISIS adalah kelompok yang sama-sama mengampanyekan ajaran jihad melaui terorisme, tetapi keduanya berselisih karena memperdebatkan masalah takfir. Hal ini mengindikasikan tidak semua kelompok teroris itu sepaham. Sehingga, anggapan semua teroris itu sama tidak terbukti dengan adanya perselisihan tersebut. Terlebih dalam teori Four Waves of Terrorism, terorisme dibagi berdasarkan gelombang-gelombang, yaitu Anarchist Wave, Anti-Colonial Wave, Left-Wings Wave, dan Religion Wave berdasarkan periode dan kecenderungan motivasi yang melatar-belakanginya
ADVERTISEMENT
Dari analisa di atas dapat diambil kesimpulan telah terjadi pergeseran orientasi terorisme di Indonesia. Pergeseran yang dimaksud adalah mulai ditinggalkannya tanzhim atau organisasi sebagai wadah gerakan dengan mulai munculnya terorisme individu atau Lone Wolf Terrorism dan merebaknya paham takfiri yang dimotori pendukung ISIS di Indonesia. Akibatnya, aksi-aksi terorisme yang terjadi di Indonesia pada periode tahun 2010-2015 mengalami perubahan menjadi sporadis, tidak jelas, dan berbeda dari periode sebelumnya dari segi jumlah dan intensitas serangan teror, modus operandi, sasaran aksi teror, dan pelaku-pelaku yang terlibat. Mencuatnya nama Aman Adurrahman dan JAD pasca bom Sarinah dan Surabaya, bisa sedikit menipis Lone Wolf Terroism. Namun kemunculan mereka tetap tidak merubah pergeseran pada pola serangan yang sporadis tetapi kurang mematikan dibanding 2000-2009, modus operandi, dan sasaran teror.
ADVERTISEMENT