Konten dari Pengguna

Wacana Sultanah Perempuan dan Keistimewaan Yogya

Irsad Ade Irawan
Cendekia Muda dari GP Ansor-Banser dan FPPI, Wakil Sekjend Aliansi Buruh Yogyakarta, Peneliti di Yayasan Satunama dan YLBH SIKAP
29 Agustus 2017 21:36 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Irsad Ade Irawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Wacana Sultanah Perempuan dan Keistimewaan Yogya
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Peringatan 5 tahun Keistimewaan Yogyakarta pada 31 Agustus ini kembali membuka polemik panas terkait Sabda Raja, Dhawuh Rojo, dan Sabdatama yang berbarengan dengan kemunculan wacana Sultanah Perempuan di Kasultanan Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
Ada kepentingan yang lebih besar yakni kepentingan rakyat Yogya atas harmoni kraton –sulit bagi rakyat untuk lepas dari bayang-bayang friksi kraton Solo-, persoalan tanah kasultanan, dan keberlanjutan nilai-nilai budaya Jawa sebagai basis identitas rakyat maupun Jogja sebagai kota wisata.
Menyelesaikan problem besar tersebut sebagai PR, namun tulisan ini akan bergerak di aras normatif/ideal bagaimana suksesi raja di Jawa berlangsung.
Cermin sejarah memantulkan episode panjang pro dan kontra tentang kepemimpinan perempuan dalam sebuah negeri/wilayah muslim, tidak terkecuali dengan Kasultanan Yogyakarta/Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Pro dan kontra pemimpin perempuan di Yogyakarta mulai muncul ke permukaan ketika Sri Sultan HB X mengeluarkan “Sabdo Rojo” pada 30 April 2015, “Dhawuh Rojo” pada 5 Mei 2015, dan “Sabdatama” pada 6 Maret 2015.
ADVERTISEMENT
Rangkaian Sabda dan Perintah Raja tersebut sering diartikan Sultan yang bertahta sedang mempersiapkan ‘putri mahkota’ yang kelak akan menggantikannya sebagai Sultan. Hal itu kemudian menjadi polemik dan mungkin saja menjadi konflik jika seandainya ada oknum-oknum yang berkepentingan di sekitar Keraton mulai mendekat, mencari patron masing-masing, serta merapatkan barisan demi perjuangan untuk kekuasaan. Isu suksesi Keraton dan Sultan perempuan kian menghangat setelah adannya upaya uji materi pasal 18 Undang-Undang Keistimewaan DIY (UUK DIY) yang mengunci kata “istri”, untuk syarat jabatann Gubernur DIY.
Untuk membahas masalah Keistimewaan, suksesi Kraton dan wacana Sultanah/Raja Perempuan, penulis mendekatinya dengan beberapa sudut pandang.
Pertama, melalui sudut pandang Islam. Sudut pandang Islam diperlukan lantaran Kasultanan Yogyakarta merupakan Kerajaan Islam. Tidak ada pendapat yang seragam terkait kepemimpinan perempuan dalam Islam. Terjadinya pro dan kontra dalam soal pemimpin wanita dalam Islam berasal dari perbedaan ulama dalam menafsiri sejumlah teks baik dari Al-Quran maupun hadits. Beberapa nash yang menjadi ajang perbedaan penafsiran antara lain: QS An Nisa 4:34, Allah berfirman “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita).
ADVERTISEMENT
Mengenai ayat tersebut di atas, Gus Dur (Alm) mengatakan bahwa, sebetulnya ayat itu dapat diartikan dua macam. (i) lelaki bertaggung jawab secara fisik atas keselamatan wanita; (ii) lelaki lebih pantas menjadi pemimpin negara. Terkait dengan tafsir lelaki lebih pantas memimpin dalam negara, hal ini perlu dikaji lagi. Sejarah mencatat terdapat banyak pemimpin hebat di dunia yang berasal dari kaum perempuan. Kaum perempuan seperti Cleopatra, Corie Aquino, Margareth Theacher, Benazir Butho, dan jauh lebih hebat lagi yaitu Ratu Balqis yang bisa membawa kemakmuran bagi negaranya sehingga hampir menandingi kerajaan Nabi Sulaiman AS. Kehebatan Ratu Balqis telah diabadikan di dalam Al-Qur’an (al-An’am: 23-44). Istri Rasulllah SAW, Siti Aisyah, beliau adalah salah satu muslimat yang paling banyak meriwayatkan Hadits Nabi. Tingkat kecerdasannya diakui oleh para sahabat. Sehingga, banyak dari para sahabat yang sering meminta pendapat beliau ketika hendak memecahkan permasalahan. Lebih dari itu, dikisahkan juga bahwa Aisyah merupakan tokoh yang menjadi pemimpin pada saat perang Jamal (perang unta). Yaitu perang antara Ali bin Abi Thalib dengan kelompok Aisyah. Begitu besarnya keberanian tokoh perempuan itu sehingga mampu memimpin kelompoknya saat perang tersebut.
ADVERTISEMENT
Selain itu, juga terdapat pandangan yang memperbolehkan perempuan menjadi pemimpin. Dr. Muhammad Sayid Thanthawi, Syaikh Al-Azhar dan Mufti Besar Mesir, menyatakan bahwa kepemimpinan wanita dalam posisi jabatan apapun tidak bertentangan dengan syariah. Baik sebagai kepala negara (al-wilayah al-udzma) maupun posisi jabatan di bawahnya. Dalam fatwanya yang dikutip majalah Ad-Din wal Hayat, Tantawi menegaskan:
Wanita yang menduduki posisi jabatan kepala negara tidaklah bertentangan dengan syariah karena Al-Quran memuji wanita yang menempati posisi ini dalam sejumlah ayat tentang Ratu Balqis dari Saba. Dan bahwasanya apabila hal itu bertentangan dengan syariah, maka niscaya Al-Quran akan menjelaskan hal tersebut dalam kisah ini.
Adapun tentang sabda Nabi bahwa “Suatu kaum tidak akan berjaya apabila diperintah oleh wanita” Tantawi berkata: bahwa hadits ini khusus untuk peristiwa tertentu yakni kerajaan Farsi dan Nabi tidak menyebutnya secara umum. Oleh karena itu, maka wanita boleh menduduki jabatan sebagai kepala negara, hakim, menteri, duta besar, dan menjadi anggota lembaga legislatif. Hanya saja perempuan tidak boleh menduduki jabatan Syaikh Al-Azhar karena jabatan ini khusus bagi laki-laki saja karena ia berkewajiban menjadi imam shalat yang secara syariah tidak boleh bagi wanita
ADVERTISEMENT
Dalam sejarah peradaban Islam di Nusantara, juga terdapat pemimpin perempuan. Setidaknya terdapat 4 Sultanah (Raja Perempuan) di Aceh, yaitu Sri Ratu Safiatuddin Tajul Alam (1641-1675), Sri Ratu Naqiatuddin Nurul Alam (1675-1678), Sri Ratu Zaqiatuddin Inayat Syah (1678-1688), dan Sri Ratu Zainatuddin Kamalat Syah (1688-1699).
Dengan demikian, point yang penting; (i) terdapat tafsir yang tidak seragam terkait kepemimpinan dalam Islam; (ii) kepemimpinan perempuan dalam Islam sebagai persoalan yang masih dalam tataran khilafiyah (debatable), (iii) namun sepanjang sejarah peradaban Islam, telah terdapat banyak pemimpin dari kalangan kaum perempuan.
Oleh karena itu, wacana Sultanah untuk Kasultanan Yoyakarta adalah hal yang wajar karena tidak bertentangan dengan syariat dan bersesuaian dengan sejarah kepemimpinan perempuan.
ADVERTISEMENT
Kedua, melalui sudut pandang sejarah. Sejarah selalu menyediakan pembelajaran melalui kejadian-kejadian di masa lampau yang dapat dijadikan pegangan maupun alternatif dalam melihat permasalahan kontemporer. Terkait dengan suksesi raja Kasultanan Yogya, memang belum pernah tercatat seorang Rani (raja perempuan) di kerajaan Islam pendahulu di tanah Jawa seperti Kasultanan Mataram dan Kasultanan Demak. Kasunanan Surakarta sebagai kerajaan saudara dari Kesultanan Yogyakarta juga belum pernah tercatat Rani. Namun keberadaan Rani dalam kerajaan di Jawa terdapat pada kerajaan pra-Islam seperti yang terdapat pada Kerajaan Janggala dengan Maharani Shima, Kerajaan Medang dengan Rani Sri Isyanatunggadewi dan Kemaharajaan Majapahit yang memiliki dua rani, Rani Tribhuwana Tunggadewi dan Rani Suhita.
Selain itu, suksesi di Kasultanan Jawa tidak selalu bersifat kaku. Di Kasultanan Yogyakarta sendiri terdapat suksesi yang juga tidak bersifat kaku, ada Sultan yan memerintah beberapa periode. Misalnya Sultan HB II memerintah sebanyak tiga periode, periode pertama 1792-1892, naik tahta menggantikan ayahnya Sultan HB I, diturunkan oleh Belanda setelah Daendels berhasil menduduki Yogyakarta dan digantikan anaknya Sulta HB III. Sultan HB II kembali naik tahta untuk kedua kalinya pada tahun 1811-1812 setelah Inggris menguasai Nusantara, namun kembali diturunkan setelah diketahui surat-menyuratnya dengan Pakubuowono VI dan ingin menyerang Inggris.
ADVERTISEMENT
Sri Sultan HB V digantikan oleh adiknya RM Mustojo ditengah ketidakstabilan politik pada masa itu, RM Mustojo menjadi Sultan HB VI. Sri Sultan HB X naik tahta setelah melalui musyarawarah internal para keturunan Sri Sultan HB IX yang menunjuknya sebagai Sultan yang bertahta lantaran Sri Sultan HB IX tidak mengangkat putra mahkota. Dari rangkaian peristiwa sejarah ini, hal yang perlu digarisbawahi adalah (i) pernah terdapat Rani di tanah Jawa; (ii) suksesi di Kasultanan Yogyakarta tidak bersifat kaku dan tidak ada paugeran yang bersifat abadi. Paugeran terkait suksesi Raja Kasultanan Yogyakarta dalam catatan sejarah pernah mengalami perubahan sesuai dengan situasi dan kebutuhan. “Paugeran” dianggap merupakan produk ide manusia yang tidak sakral, sehingga bisa diubah dan disesuaikan dengan zamannya. Sehingga demikian, perubahan paugeran dan kemunculan wacana Sultanah/Raja perempuan adalah hal yang lumrah.
ADVERTISEMENT
Ketiga, terkait dengan kewenangan Sultan yang bertahta. Masalah pembuatan, pembaruan, dan penghapusan Paugeran Keraton tentu merupakan kewenangan Sultan atau Raja selaku pemimpin Keraton dan salah satu sumber Paugeran itu sendiri. Dalam sejarahnya, Kraton Ngayogyakarta Hadinigrat menggunakan sistem pemerintahan Monarki. Monarki adalah bentuk pemerintahan yang kekuasaannya dipegang oleh seorang raja atau kaisar. Ada beberapa jenis bentuk pemerintahan monarki yaitu monarki absolut, monarki konstitusional, dan monarki parlementer. Monarki absolut adalah bentuk pemerintahan yang dipimpin oleh raja, syah, ratu atau kaisar. Kekuasaan penguasa tidak terbatas. Dari sisi sejarah, Kraton Ngayogyakarta cenderung bersifat monarki absolut. Oleh karena itu, Sultan yang bertahta memiliki kekuasaan mutlak dalam hal pembuatan, pembaruan, dan penghapusan paugeran.
Langkah untuk maksud suksesi diawali keluarnya Sabda dan Dawuh Raja oleh Sultan Hamengku Buwono X pada 30 April 2015 yang intinya sesuai berdasarkan “wahyu” antara lain:
ADVERTISEMENT
1. Mengubah gelar raja, jadi tidak lagi disebut “Buwono” melainkan diganti menjadi “Bawono”. Gelar Khalifatullah dalam gelar lengkap Sultan dihilangkan. Lengkapnya, Sayidin Panatagama Khalifatullah yang diartikan pemipin umat Muslim, pemimpin agama dan pelindung umat menjalankan kehidupan rohani. Penyebutan Kaping Sedasa juga diganti Kaping Sepuluh. Gelar baru Sultan sebagai penguasa kraton: Ngarsa Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng Kasepuluh Suryaning Mataram Senapati Ing Ngalaga Langgeng Ing Bawono Langgeng Ing Panoto Gomo.
2. Mengubah (tidak mengikuti lagi) perjanjian pendiri Mataram Islam. Mataram Islam dimulai setelah perjanjian antara dua pendiri Kerajaan yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Giring, yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Kerajaan Mataram. Tepatnya pada 1577 Ki Ageng Pemanahan mendirikan kerajaan dengan pusat pemerintahan di Kota Gede.
ADVERTISEMENT
3. “Menyempurnakan” 2 (dua) keris pusaka legitimasi Raja Yogyakarta, yaitu Kanjeng Kyai Kopek dengan Kanjeng Kyai Joko Piturun. Dalam dunia spiritual Jawa makna “sempurna” sering dikiaskan dengan kata “menyudahi”. Diperkirakan kedua keris yang ingin disempurnakan sebagai keris baru agar cocok disandingkan dengan seorang wanita yaitu Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi yang disiapkan menjadi pimpinan kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
4. Selanjutnya pada 5 Mei 2015 dikeluarkan titah raja tentang pemberian gelar kepada putri sulung Sultan, yang berarti menjadi Putri Mahkota calon pengganti raja. Gelar baru putri Sultan adalah, Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng Ing Mataram.
Sabda Raja, Sabda Tama dan masalah suksesi di dalam Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang dianggap hendak memperbarui “paugeran”, tampaknya dengan atau tanpa dukungan adik tiri Sultan dan beberapa kerabat kraton Ngayogyakarta dalam soal penunjukkan Putri Mahkota, Sultan yang telah mengeluarkan sabda raja sebenarnya tetap berhasil mewujudkan titahnya yang berdasarkan “wahyu” dan kewenangannya sebagai Sultan atau Raja yang bertahta dan berkuasa penuh atas Kraton.
ADVERTISEMENT
Keempat, dari sudut Pandang Hak Asasi Manusia dan Konstitusi Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 tahun 1984, tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Formsof Discrimination Againts Women), mempunyai arti bahwa Indonesia, melaksanakan perbuatan hukum mengikat diri pada perjanjian internasional, menciptakan kewajiban dan akuntabilitas Negara untuk memberikan penghormatan, pemenuhan, perlindungan hak asasi perempuan, dan penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
Konvensi yang telah disahkan oleh undang-undang menjadi sumber hukum dalam arti formal, di samping peraturan perundang-undangan, kebiasaan, yurisprudensi dan doktrin. Hal ini dijamin dalam undang-undang RI No. 39 tahun 1999, tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 7 ayat (2) yang menetukan: “Ketentuan hukum internasional yang telah diterima Negara Republik Indonesia yang menyangkut hak azasi manusia menjadi hukum nasional”.
ADVERTISEMENT
Pada Oktober 2005, Indonesia meratifikasi dua kovenan Internasional dengan UU No. 11 tahun 2005 tentang pengesahan International Convention on Economic and Sosial Right (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya), dan UU No. 12 tahun 2005 Tentang Pengesahan International Convenant on Civil and Political Right (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik), yang pada intinya memuat asas, prinsip dan ketentuan Hak Asasi Manusia (HAM), khususnya HAM Perempuan.
Kedudukan laki-laki dan perempuan juga tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pasal 27 ayat (1); “Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjujung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”, dan ayat (2); “Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
ADVERTISEMENT
Pancasila sebagai landasan negara mennyatakan dalam sila kelima “Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” yang juga merupakan manifestasi dari kesetaran dan keadilan antara perempuan dan laki-laki. Dengan demikian, seyogyanya Keistimewaan Yogyakarta juga harus bisa mempromosikan, melindungi, dan menjamin hak politik perempuan.
Sejumlah “warga negara” telah mengajukan gugatan tentang syarat jadi Gubernur di Mahkamah Konstitusi (MK). Persyaratan yang harus dipenuhi calon gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta digugat ke Mahkamah Konstitusi, Kamis (13/10). Pasal 18 ayat (1) huruf m pada UU 13/2012 tentang Keistimewaan DIY dipersoalkan karena dinilai diskriminatif terhadap perempuan. Pasal 18 ayat (1) huruf m secara tidak langsung hanya memberikan peluang menjadi gubernur DIY kepada laki-laki. Kata istri inilah yang dianggap memiliki persoalan konstitusional.
ADVERTISEMENT
Jika gugatan ini dikabulkan MK, maka hendaknya Pemerintah segera merevisi UU Keistimewaan DIY. Jika terdapat suatu realitas politik interen Kraton Ngayogyakata terkait masalah suksesi yaitu kemunculan Sultanah (Raja Perempuan), maka seyogyanya pemerintah mengeluarkan Perppu Keistimewaan Yogyakarta. Hal ini telah diatur dalam Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi:
“Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”
Setelah menimbang dari berbagai sudut pandang tersebut, maka penulis berkesimpulan bahwa Keistimewaan Yogyakarta seyogyannya bisa mengakomodasi dan menyeleraskan dirinya dengan hak politik perempuan, proses suksesi yang tidak pernah seragam, kewenangan Sultan yan bertahta, dan kemungkinan adanya Sultanah pertama di Kraton Ngayogyakarta. Hal ini akan bersejarah apabila wacana Sultanah Perempuan menjadi kenyataan di Kasultanan/Kraton Yogyakarta. Karena akan memunculkan Rani dan atau Raja Perempuan pertama di Jawa pasca bubarnya Majapahit; “Sirna Ilang Kertaning Bhumi”.
ADVERTISEMENT