Roda Pergerakan Kota Jogja Menjadi 'Gotham City'

Ervina Preticia Aryanti
Mahasiswi Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta Jurusan Ilmu Komunikasi
Konten dari Pengguna
20 April 2022 15:28 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ervina Preticia Aryanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pelaku Klitih (Sumber gambar : pixabay.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pelaku Klitih (Sumber gambar : pixabay.com)
ADVERTISEMENT
Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan sebuah provinsi dengan segala kearifan yang tersedia di dalamnya membuat daya tarik sendiri bagi kalangan masyarakat luas. Suguhan berbagai macam kebudayaan kemudian sektor pariwisatanya tentu menjadikan wilayah ini sebagai komoditi tujuan dan labuhan masyarakat untuk menghabiskan waktunya.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya itu, Yogyakarta terkenal pula sebagai tempat di mana para pelajar dari berbagai kalangan menuntut ilmu karena memang begitu banyaknya sarana pendidikan mulai dari yang dasar seperti SD, SMP, SMA sampai perguruan tinggi banyak tersedia di Yogyakarta. Namun, stigma baik yang selama ini disandang oleh Kota Jogja nampaknya kian luntur dimata masyarakat khususnya para pendatang.
Mengapa hal ini terjadi? semua ketakutan baru akan Jogja bukan tanpa alasan, merebaknya kasus koboi kota atau gaulnya kita kenal dengan istilah klitih yang makin hari makin kejam faktanya. Terbaru kasus mengenai tindak pidana klitih yang menjadi highlight diberbagai kalangan masyarakat yaitu tentang meninggalnya salah satu siswa SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta di daerah Gedongkuning.
ADVERTISEMENT
Mengutip dari SuaraJogja.id, kronologi kejadian tersebut Dirreskrimum Polda DIY Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi membeberkan kronologi lengkap kasus kejahatan jalanan di sekitar Jalan Gedongkuning, Kotagede, Kota Yogyakarta yang menewaskan Daffa Adzin Albazith (17) pada Minggu (3/4/2022) dini hari. "Beberapa waktu yang lalu tepatnya hari Minggu 3 April 2022 sekira jam 02.10 dini hari di Jalan Gedongkuning daerah Kotagede masuk wilayah hukum Polresta Yogyakarta terjadi kasus penganiayaan yang mengakibatkan seorang laki-laki meninggal dunia di rumah sakit," kata Ade kepada awak media di Mapolda DIY, Senin (4/4/2022).
Sebenarnya fenomena klitih bukan sebuah kejahatan baru di kalangan para bandit-bandit remaja Yogyakarta. Dahulu kala, kenakalan remaja ini bermuara dari gangster antar sekolah yang pada akhirnya karena ada beberapa yang mulai redup maka ada inisiasi pergerakan baru yaitu bukan hanya menyasar para anggota geng lain namun pelaku mulai secara acak dalam memilih sasarannya.
ADVERTISEMENT
Klitih dalam bahasa Jawa, bermakna suatu aktivitas mencari angin di luar rumah atau keluyuran. Namun, dalam dunia kekerasan remaja Jogja, pemaknaan klitih kemudian berkembang sebagai aksi kekerasan dengan senjata tajam atau tindak tanduk kriminal anak di bawah umur di luar kelaziman. Dimulai dari keributan satu remaja beda sekolah dengan remaja yang lain, lalu berlanjut dengan melibatkan komunitasnya masing-masing. Aksi saling membalas pun terus terjadi, berulang, dan sengaja dipelihara turun temurun.
Persoalan motif klitih amat beragam dan yang mengerikannya lagi, korban mereka bisa jadi amat random. Permusuhan antar geng hanyalah salah satunya. Aksi ini lebih cenderung bermakna konotatif, karena aktivitas yang dilakukan oleh oknum remaja yang nglithih tidak lepas dari aksi vandalisme dan kekerasan yang memancing keresahan publik di Yogyakarta. Biasanya aksi ini terjadi pada malam hari sehingga meresahkan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Dengan sajian peristiwa demi peristiwa kejahatan terutama berandalan remaja yang mulai menjadi trend di Yogyakarta mungkin tidak dapat ditampik lagi bahwasanya kota ini sekarang mulai berevolusi seperti 'Gotham City'. Pengibaratan seperti karut marutnya kota fantasi di komik Batman itu mungkin cocok dengan kondisi Yogyakarta saat ini karena memang kelam dan penuh ancaman teror kejahatan jalanan pada malam hari.
Sudah selayaknya beberapa kejadian klitih ini mendapat perhatian lebih serta menjadi sebuah urgensi bagi para pihak penegak hukum juga pemerintah terkait. Pasalnya, jika memang ingin mengembalikan citra baik Daerah Istimewa Yogyakarta seperti dahulu kala sebelum munculnya aktivitas tersebut.
Perlu sebuah tindakan nyata akan pemberantasan kenakalan klitih tersebut. Bukan karena hanya dianggap sepele justru malah pelaku merasa lebih hebat dan memiliki prestasi tersendiri jika tertangkap dan dapat lolos dari jeratan hukum. Alasannya karena rata-rata pelaku ini masih dalam usia di bawah umur menjadikan keputusan hukuman dari pengadilan hanya mendapat rehabilitasi saja, tidak ada punishment sebagai hukum yang jelas dan membuat jera pada pelaku.
ADVERTISEMENT
Apakah Yogyakarta masih dapat dikatakan istimewa? Atau malah menuju warna monokrom sesuai apa yang ditulis dalam tulisan karya Muhidin M. Dahlan “Jogja (Menuju) Kota Bandit”. Mungkin hukum rimba jalanan malah dianggap lebih tepat untuk memberantas tindak pidana klitih ini.