Konten dari Pengguna

Carut Marut Pengelolaan Sampah di Yogyakarta

Erwika Dhora Jati
berprofesi sebagai akademisi di salah satu universitas swasta di Bekasi program studi Teknik Lingkungan dan konsultan Amdal di Jakarta
24 Desember 2024 17:42 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Erwika Dhora Jati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi tumpukan berbagai jenis sampah yang tidak terkelola (https://pixabay.com/illustrations/ai-generated-trash-waste-pollution-8223705/)
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi tumpukan berbagai jenis sampah yang tidak terkelola (https://pixabay.com/illustrations/ai-generated-trash-waste-pollution-8223705/)
ADVERTISEMENT
Sampah, adalah persoalan yang semakin tidak terkendali di berbagai kota di Indonesia. Terutama kota dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi. Yogyakarta menjadi salah satu kota padat penduduk yang memiliki persoalan sampah yang tak kunjung selesai. Masalah ini semakin tak karuan akibat keputusan penutupan TPA Piyungan akibat buangan sampah yang telah overload. TPA Piyungan yang merupakan tempat pembuangan akhir seluruh sampah dari Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman, dan Kota Yogyakarta sendiri. Akibat dari semua itu, banyak sampah menjadi berserakan di sudut-sudut kota, khususnya di Kota Yogyakarta. Sebenarnya, isu tentang sampah di Yogyakarta telah menjadi polemik lama yang tak pernah benar-benar diselesaikan. Pemecahan masalah yang ditawarkan hanya berupa penutupan sementara TPA Piyungan, yang mana kebijakan ini jauh dari kata solutif. Pasalnya, satu manusia rata-rata dapat menghasilkan sampah domestik hingga 0,7 kg per hari. Sementara TPA Piyungan menjadi tempat pembuangan dari tiga wilayah terpadat di provinsi DIY yang mencapai lebih dari 2,7 juta penduduk, tentu saja solusi pragmatis menutup sementara TPA Piyungan bukan menjadi keputusan yang bijak. Apalagi saat ini penutupan telah dilakukan secara permanen akibat overload.
ADVERTISEMENT
Menilik lebih jauh tentang pengelolaan sampah yang diterapkan di Yogyakarta, kota ini sebenarnya tak kekurangan "orang pintar", mengingat banyaknya perguruan tinggi ternama yang tersebar di Yogyakarta. Sudah banyak riset yang dilakukan demi mendapatkan solusi yang implementatif terkait persoalan sampah yang ada di Yogyakarta. Riset tak hanya melalui pendekatan teknis, namun juga telah banyak studi yang dilakukan melalui pendekatan sosial ekonomi. Artinya, upaya “orang pintar” untuk berkontribusi dengan ilmunya dan menawarkan solusi sudah mencakup multidisipliner. Idealnya, hal ini bisa memberikan alternatif dalam menyelesaikan masalah yang kian hari kian kompleks tersebut.
Salah satu kendala besar terkait pengelolaan sampah di Yogyakarta adalah bahwa semua kembali lagi kepada para pembuat kebijakan. Bahwa semua yang terjadi di wilayah kenegaraan, pemerintah lah yang punya andil besar atas kesejahteraan dan hajat hidup warganya. Semua kebijakan yang diberlakukan seharusnya bersifat holistik dan mengedepankan keberlanjutan. Sayangnya, notaben pembuat kebijakan di negara ini saja, memang terkesan kuno, nir inovatif, dan terbelakang. Mengabaikan perkembangan, malas berfikir kompleks, mengesampingkan banyaknya “orang pintar” yang menawarkan alternatif kebijakan yang bisa jadi akan lebih efektif. Lagipula, peraturan tentang sampah telah banyak dibuat. Mulai dari Undang-undang hingga Peraturan Daerah. Dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, hingga PERDA DIY Nomor 3 Tahun 2013 yang secara spesifik mengatur tentang pengelolaan sampah rumah tangga. Artinya, sudah ada pedoman atau acuan untuk melaksanakan pengelolaan sampah dari aspek kelembagaan. Namun permasalahan utama bukan dari peraturan yang sudah ada. Tapi implementasinya. Karena sepertinya sudah menjadi rahasia umum, tolok ukur keberhasilan pemerintah dalam "menyelesaikan" masalah adalah mengeluarkan peraturan, bukan efektifitas dan pemberlakuan peraturan tersebut di lapangan. Sistem pengelolaan sampah di Indonesia masih jauh tertinggal dengan negara lain. Padahal jumlah penduduk terus meningkat dimana Indonesia menjadi negara ke-empat dengan kepadatan penduduk tertinggi di dunia. Dengan populasi yang terus meningkat, jenis kegiatan yang dilakukan semakin beragam, maka akan menjadi sebuah keniscayaan timbulan sampah semakin meningkat dan mungkin pengolahan akan lebih sulit dilakukan. Sementara pengelolaan yang dilakukan masih itu-itu saja.
ADVERTISEMENT
Lalu, persoalan lain yang ternyata perlu dipahami juga bahwa masalah tentang sampah yang ada di negara ini, terjadi secara resiprokal, yaitu antara pemerintah dengan warganya. Bahwa perilaku warga dalam urusan sampah sangat mempengaruhi kondisi yang tejadi saat ini. Seorang Profesor dari Universitas Gadjah Mada mengatakan bahwa untuk mengatasi persoalan sampah, dasarnya dilakukan melalui edukasi masyarakat tentang pemilahan sampah. Sebab perilaku warga negara Indonesia termasuk sulit diatur, antipati, dan individualis untuk urusan sampah. Mungkin di kebanyakan mindset warga Indonesia, "yang penting sudah tak terlihat di depan mata" adalah hal yang paling sulit diubah. Pengelolaan sampah yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia pun masih menggunakan paradigma end-of-pipe, dimana sampah rumah tangga dikumpulkan, diangkut, dan dibuang ke tempat pemrosesan akhir sampah tanpa melihat potensi nilai ekonomis dari sampah yang diciptakan. Tidak adanya pemahaman dan kesadaran tentang "darimana dan akan kemana sampahku" mengeskalasi masalah sampah yang tak akan pernah selesai. Kebiasaan masyarakat yang apa-apa harus "dilayani" membuat negara ini sulit maju dan jauh dari berdikari. Seharusnya masyarakat diajarkan melihat sampah melalui paradigma baru. Bahwa sampah perlu dipilah dan didaur ulang sehingga bisa memiliki nilai ekonomis baru. Contohnya pemanfaatan sampah menjadi energi baru, kompos, bahan baku industri atau bahkan bahan bangunan alternatif. Persoalan tentang sampah di negara ini akan lebih cepat terselesaikan dengan menanamkan kesadaran mengolah sampah di setiap individu. Solusi paling sederhana dan mendasar namun akan berdampak sangat besar terhadap perubahan kualitas lingkungan akibat sampah.
ADVERTISEMENT